BUMN Bio Farma baru saja menandatangani kerja sama penyediaan 40 juta vaksin Covid-19 dari perusahaan China, Sinovac. Kesepakatan pada 20 Agustus 2020 ini disaksikan juga oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri BUMN Erick Thohir.
Epidemiolog yang juga kandidat Ph D dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman mengapresiasi langkah cepat pemerintah ini. Dalam kondisi pandemi seperti saat ini, hampir semua negara menerapkan strategi yang sama untuk memastikan ketersediaan vaksin bagi mereka.
Dicky memberi contoh, dalam pandemi H1N1 tahun 2009, vaksin yang ditemukan pada sekitar bulan Oktober, baru dapat disalurkan pada Januari tahun berikutnya. Dalam kasus ini, waktu menjadi faktor yang sangat menentukan, karena selama menunggu ketersediaan itu kasus sakit dan kematian terus bertambah.
Namun, ada strategi yang harus disempurnakan oleh pemerintah, kata Dicky, yaitu tidak hanya tergantung pada satu pihak saja.
“Ini enggak bisa cuma satu, karena ini kan fifty-fifty. Jadi enggak akan menguntungkan kalau kita hanya dengan satu pihak. Harus dengan komponen potensial vaksin lain, misalnya dari UK (Inggris, red) , Amerika, Korea atau Australia. Karena, sekali lagi, kita enggak bisa menggaransi itu,” kata Dicky.
Dicky menyampaikan itu ketika berbicara dalam diskusi Skenario Mengakhiri Pandemi: antara Klaim Obat dan Kluster Baru. Diskusi pada Sabtu (22/8) ini diselenggarakan jaringan pegiat dalam isu ini, yaitu LaporCovid19.
Yang disebut Dicky sebagai fifty-fifty adalah kemungkinan keberhasilan uji klinis vaksin tahap 3. Dia juga mengingatkan, tidak ada riset yang memiliki jaminan keberhasilan 100 persen. Vaksin HIV misalnya, gagal di uji klinis tahap 3. Dicky juga mengingatkan, Rusia pernah mengklaim menemukan vaksin ebola pada 2016, tetapi ternyata tidak efektif sampai saat ini dan kematian akibat penyakit ini terus terjadi.
Sinovac sendiri, melalui mitranya di Indonesia, Bio Farma saat ini sedang melaksanakan uji klinis tahap 3 di Bandung, Jawa Barat.
Lebih jauh, dalam diskusi Dicky juga menekankan bahwa vaksin atau obat bukan solusi tunggal atas pandemi. Dia menyebut ada tiga skenario akhir dari sebuah pandemi.
Skenario pertama adalah keberhasilan penemuan vaksin. Sambil menunggu penggunaannya, pemerintah manapun tetap harus melaksakan tes, tracing, dan isolasi bagi yang positif serta perubahan perilaku. Strategi itu penting untuk melandaikan kurva, yang bermakna menekan angka pasien dan kematian.
Skenario kedua adalah vaksin belum ditemukan, sehingga kasus sakit dan kematian masih terus berlanjut. Masyarakat akan hidup berdampingan dengan pandemi, dan tentu saja strategi tes, tracing, isolasi dan perubahan perilaku tetap harus diterapkan. Sedang yang terakhir adalah pembatasan nasional, yang juga tetap menerapkan tes, tracing, isolasi dan perubahan perilaku.
“Dari semua skenario ini, tidak ada yang meninggalkan tes, tracing, isolasi dan perubahan perilaku,” kata Dicky.
Dihubungi terpisah, dosen di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Agus Widyatmoko, menyebut riset kesehatan adalah sesuatu yang tidak pernah berhenti. Begitupun, dalam menemukan terapi yang tepat bagi penderita infeksi virus corona.
Selama proses pencarian obat khusus infeksi corona, para dokter di seluruh dunia memakai obat-obatan yang sudah ada. Bukan sembarang obat, tentu saja yang dipilih adalah jenis obat yang sudah biasa digunakan untuk mengatasi serangan virus RNA seperti corona. Ketika terapi awal ini diberikan, dokter akan memantau perkembagan pasien, apakah obat tersebut memberikan dampak dan apakah muncul efek samping negatif.
“Di era pandemi ini kita semua diharapkan dengan cepat menemukan suatu terapi pada kasus Covid ini. Yang kita miliki sekarang adalah mencoba melihat semua kemungkinan terapi yang sudah kita punyai," kata Agus kepada VOA.
"Artinya, terapi covid ini sebetulnya menggunakan rejimen obat-obatan yang secara umum sudah kita gunakan, tidak untuk Covid sebelumnya tetapi mampu melawan virus RNA ini,” lanjutnya.
Agus memberi contoh, salah satu obat yang awal dipakai dokter berbagai negara adalah klorokuin. Obat ini sebenarnya obat untuk malaria. Dia memiliki kemampuan mencegah terjadinya inflamasi atau peradangan yang muncul akibat tubuh melawan serangan virus.
Dengan mengonsumsi obat ini, pasien diharapkan tidak menerima dampak terlalu buruk di paru-paru, sebagai lokasi serangan virus. Hasilnya cukup baik, kata Agus, tetapi muncul efek samping gangguan jantung. Apalagi jika dikombinasi dengan pemakaian antibiotik.
Obat lain yang juga pernah digunakan adalah remdesivir. Dokter juga menggunakan obat untuk mengatasi virus RNA seperti obat-obatan hepatitis C dan HIV. Semua itu dilakukan dengan sangat hati-hati, sesuai kaidah dan fase tertentu yang wajib dipenuhi.
Unversitas Airlangga, bekerja sama dengan TNI dan BIN juga menggagas obat baru untuk terapi infeksi virus corona ini. Secara prinsip menurut Agus, temuan ini memanfaatkan obat-obatan lama yang sudah digunakan untuk penyakit lain tadi, dan dikombinasikan.
Agus memberi masukan, agar terapi yang dirintis tersebut dimasukkan dahulu dalam jurnal-jurnal yang terpercaya.
“Kalau masuk dalam jurnal, itu akan dikritisi oleh banyak orang. Akan dilihat banyak orang. Apakah diterima, oke semuanya bagus dari segi penelitian dan segala macam. Tujuannya cuman satu, agar yang nanti menggunakan, yaitu masyarakat itu aman,” kata Agus yang juga dokter spesialis penyakit dalam.
Aman dimaknai Agus sebagai tidak ada resiko terjadinya kerusakan dan tepat sasaran. Dalam infeksi corona ini, harus jelas siapakah yang tepat memperoleh obat tersebut. Jika hanya mereka yang bergejala ringan, Agus mempertanyakan apakah perlu diberikan pengobatan.
Obat baru itu sendiri sudah diujicobakan kepada sekitar 1200 siswa Sekolah Calon Perwira di Bandung yang positif terinfeksi corona. Namun menurut Agus, kelompok ini kurang mewakili sebagai sampel, karena tidak menggambarkan situasi masyarakat secara umum.
Agus mengingatkan, ketika demam tipes muncul pada akhir 1800-an, obatnya baru ditemukan puluhan tahun kemudian. Begitu juga riset obat HIV, hepatitis dan MERSCov yang membutuhkan waktu panjang. Tidak perlu tergesa-gesa untuk menciptakan obat baru khusus bagi virus corona, meskipun dalam suasana pandemi. Prinsipnya, kehati-hatian sangat penting karena yang menjadi tujuan adalah kesembuhan manusia, dan tidak boleh dilihat sebagai kelinci percobaan. [ns/ab]