Presiden Mesir terguling, Mohamed Morsi, dan sejumlah pimpinan tinggi organisasi Ikhwanul Muslimin yang kini dilarang, dijatuhi hukuman mati untuk satu dari beberapa kasus yang didakwakan kepada mereka.
Kasus itu dirujuk ke Mufti Agung Mesir, pemimpin agama tertinggi, yang akan menyetujui atau mengurangi hukuman tersebut.
Pengadilan pidana Kairo hari Sabtu (16/5) menetapkan hukuman mati terhadap Morsi dan 105 terdakwa lain, dalam kasus yang dikenal sebagai pembobolan penjara Wadi Natroun. Morsi dan tahanan lain kabur dari penjara tersebut, diduga dengan bantuan dari kelompok luar, selama terjadi pemberontakan terhadap presiden ketika itu, Hosni Mubarak, Januari 2011.
Pengadilan Kairo juga mengeluarkan putusan terpisah untuk beberapa pimpinan tinggi Ikhwanul Muslimin, termasuk wakil pembimbing organisasi itu, Khairat Shater, dan tokoh Ikhwanul, Mohamed Baltagy, karena bersekongkol dengan kelompok Hamas dan Hizbullah dalam mengatur pembobolan penjara.
Media Mesir melaporkan, tiga hakim tewas di kota El Arish, Sinai utara, hari Sabtu setelah minibus yang mereka tumpangi ditembaki. Serangan itu terjadi segera setelah penetapan vonis terhadap mantan presiden Morsi dan rekannya sesama terdakwa.
Vonis yang diumumkan hari Sabtu itu akan ditinjau oleh Mufti Agung Mesir, ulama tertinggi di negara itu, dan keputusannya akan diumumkan 2 Juni. Putusan itu juga bisa digugat banding, membuka proses pengkajian yang panjang sebelum dicapai putusan akhir.
Said Sadek, sosiolog politik Mesir terkenal, berpendapat putusan hari Sabtu itu hanya awal dan sistem peradilan Mesir menganut sistem check and balance yang lama sebelum sampai pada putusan akhir.
"Semua putusan pengadilan pidana adalah awal dan ada pengajuan banding secara otomatis oleh terdakwa. Jadi, akan ada banding dari pihak Morsi dan terdakwa lain. Jadi, kasus ini belum berakhir. Ini akan memakan waktu lama, tetapi putusan pengadilan adalah putusan pengadilan. Harus ada proses hukum untuk membatalkannya."
Paul Sullivan, dosen Georgetown University, berpendapat, tarik-menarik politik antara Ikhwanul Muslimin dan pemerintah Mesir meracuni iklim di negara itu dan bahwa kini "waktunya bagi Ikhwanul mundur, dan membiarkan Mesir bergerak maju menuju perdamaian dan kemakmuran."
Meskipun proses peradilan akan panjang dan tidak pasti, para terdakwa yang dihukum mati, termasuk Morsi, kini harus mengenakan pakaian penjara berwarna merah, melambangkan status mereka sebagai terpidana mati.