Pada tahun 2013 ini, warga Mesir turun ke jalan-jalan untuk menggulingkan pemimpin mereka dan merupakan pergolakan massal kedua dalam dua tahun terakhir.
Mereka mendapat bantuan dari militer yang sebelumnya telah memenjarakan Mohammed Morsi, presiden pertama yang dipilih secara bebas di negara itu, dan menumpas para pendukungnya.
Pemerintah sementara yang didukung militer telah menyampaikan “peta jalan” menuju stabilitas, yaitu konstitusi baru yang akan disahkan lewat referendum, setelah sebelumnya disetujui presiden dan parlemen lewat pemungutan suara.
Awalnya banyak warga Mesir mendukung kepemimpinan baru yang berjanji akan melarang kelompok Ikhwanul Muslimin pimpinan Mohammed Morsi dalam dunia politik Mesir. Tetapi aktivis dan blogger Wael Khalil mengatakan sikap ini akan berubah. “Membuat Morsi kembali berkuasa bukanlah hasil akhir, bukan pula kemungkinan, jadi kini kita mengamati dengan lebih cermat orang-orang yang berkuasa.”
Demonstran anti pemerintah kini mengikutsertakan lebih banyak kelompok daripada pendukung Morsi di mana ada kelompok sekuler dan aktivis-aktivis lain yang menentang strategi tangan besi yang mereka kira sudah lenyap tahun 2011 lalu.
“Lebih banyak orang yang mulai melihat kembalinya negara polisi dan bagaimana polisi benar-benar kembali dengan tindakan lebih ganas” tambah Khalil.
Ketidakpuasan ekonomi, pengangguran, anjloknya pariwisata dan investasi, serta inflasi, terutama di sektor pangan dan komoditas-komoditas dasar lainnya, mulai berdampak besar.
Slogan revolusi tahun 2011 adalah “makanan, kebebasan, kedaulatan,” sesuatu yang menurut analis politik Hisham Kassem masih relevan hingga kini.
“Mesir adalah negara yang telah didorong ke tepi jurang dan selama isu-isu ini tidak diselesaikan, akan terjadi pergolakan ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Ini tidak akan berhenti, siapapun yang menjadi pemimpin, militer atau Islamis, harus menyelesaikan isu-isu ini” ujarnya.
Tetapi tidak semua orang mendukung upaya pemerintah Mesir memajukan negara. Saad Eddin Ibrahim, salah seorang pendiri Ibnu Khaldun Center for Development Studies mengatakan, “Selalu ada masa sekitar 10 tahun atau lebih dalam tiap revolusi sebelum kondisi stabil dan masalah-masalah terselesaikan.”
Mesir, tambah Ibrahim, tidak akan terlalu lama bergolak, mungkin hanya satu atau dua tahun. Ia yakin “kelelahan revolusi” ini akan segera terasa, meskipun jalan-jalan di Mesir belum menunjukkan pertanda demikian.
Mereka mendapat bantuan dari militer yang sebelumnya telah memenjarakan Mohammed Morsi, presiden pertama yang dipilih secara bebas di negara itu, dan menumpas para pendukungnya.
Pemerintah sementara yang didukung militer telah menyampaikan “peta jalan” menuju stabilitas, yaitu konstitusi baru yang akan disahkan lewat referendum, setelah sebelumnya disetujui presiden dan parlemen lewat pemungutan suara.
Awalnya banyak warga Mesir mendukung kepemimpinan baru yang berjanji akan melarang kelompok Ikhwanul Muslimin pimpinan Mohammed Morsi dalam dunia politik Mesir. Tetapi aktivis dan blogger Wael Khalil mengatakan sikap ini akan berubah. “Membuat Morsi kembali berkuasa bukanlah hasil akhir, bukan pula kemungkinan, jadi kini kita mengamati dengan lebih cermat orang-orang yang berkuasa.”
Demonstran anti pemerintah kini mengikutsertakan lebih banyak kelompok daripada pendukung Morsi di mana ada kelompok sekuler dan aktivis-aktivis lain yang menentang strategi tangan besi yang mereka kira sudah lenyap tahun 2011 lalu.
“Lebih banyak orang yang mulai melihat kembalinya negara polisi dan bagaimana polisi benar-benar kembali dengan tindakan lebih ganas” tambah Khalil.
Ketidakpuasan ekonomi, pengangguran, anjloknya pariwisata dan investasi, serta inflasi, terutama di sektor pangan dan komoditas-komoditas dasar lainnya, mulai berdampak besar.
Slogan revolusi tahun 2011 adalah “makanan, kebebasan, kedaulatan,” sesuatu yang menurut analis politik Hisham Kassem masih relevan hingga kini.
“Mesir adalah negara yang telah didorong ke tepi jurang dan selama isu-isu ini tidak diselesaikan, akan terjadi pergolakan ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Ini tidak akan berhenti, siapapun yang menjadi pemimpin, militer atau Islamis, harus menyelesaikan isu-isu ini” ujarnya.
Tetapi tidak semua orang mendukung upaya pemerintah Mesir memajukan negara. Saad Eddin Ibrahim, salah seorang pendiri Ibnu Khaldun Center for Development Studies mengatakan, “Selalu ada masa sekitar 10 tahun atau lebih dalam tiap revolusi sebelum kondisi stabil dan masalah-masalah terselesaikan.”
Mesir, tambah Ibrahim, tidak akan terlalu lama bergolak, mungkin hanya satu atau dua tahun. Ia yakin “kelelahan revolusi” ini akan segera terasa, meskipun jalan-jalan di Mesir belum menunjukkan pertanda demikian.