Meski masih tiga tahun lagi, kontestasi politik tahun 2024 sudah terasa gaungnya saat ini. Politisi mulai bergerak, pendukung di bawah berkonsolidasi.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bertamu selama satu jam di kediaman Buya Ahmad Syafii Maarif di Yogyakarta, Sabtu (19/6).
“Hanya silaturahmi..., hanya silaturahmi..” ujarnya ketika ditanya terkait agenda itu.
Ketua Umum Partai Golkar itu didampingi Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, yang juga kader Partai Golkar, dalam pertemuan tertutup itu.
Buya Syafii Maarif sendiri tidak mau mengungkapkan tentang isi pertemuan. Namun dia menyebut soal amanah Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 5 Pancasila, yang keduanya berisi soal kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat. Selain itu, Buya menyebut soal krisis dalam politik kebangsaan.
“Kita krisis negarawan, yang banyak politisi. Itu terus muncul sebab politisi itu yang menyebabkan negara terponta-pontal,” kata Buya.
Ketika ditanya, apakah Airlangga termasuk negarawan, Buya menjawab penilaiannya tergantung pada masyarakat. Namun dia mengingatkan, Indonesia masih menghadapi tantangan berat saat ini, seperti pandemi COVID-19, kasus korupsi dan pelemahan KPK. Karena melihat inilah, Buya meyakini, Indonesia membutuhkan lebih banyak negarawan daripada politisi.
Sebagian politisi Partai Golkar telah menyatakan akan menetapkan Airlangga sebagai Calon Presiden 2024. Kunjungan Airlangga ke Solo dan Yogyakarta sepanjang akhir pekan lalu, tidak hanya berisi agenda sebagai Menko Perekonomian.
Sebagian waktunya digunakan untuk konsolidasi dengan pengurus di daerah. Dia juga sempat nyekar ke makam leluhurnya di Astana Oetara, kompleks pemakaman Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara VI. Langkah seperti itu juga diambil politisi lain untuk menegaskan garis keturunan mereka dari raja-raja di Jawa.
Anies Baswedan, Ridwal Kamil hingga Ganjar Pranowo juga melakukan sejumlah manuver, meski terkesan masih kecil dan malu-malu.
Organisasi Relawan Muncul
Hari Minggu (20/6), Sahabat Ganjar dideklarasikan di Yogyakarta. Sesuai namanya, organisasi ini didirikan untuk mendukung Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo maju ke ajang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Ketua Umum Sahabat Ganjar, Lenny Handayani menyebut, dukungan mereka berikan karena Ganjar dinilai berpihak pada rakyat.
Munculnya Ganjar dalam bursa Capres sempat menjadi bola panas dua pekan lalu. Sejumlah petinggi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berbeda pendapat terkait manuver Ganjar. Sebagian terus terang menilai Gubernur Jawa Tengah itu melewati batas wajar karena partai belum bersikap. Bahkan, ada kecenderungan, PDIP mendukung Ketua DPR Puan Maharani untuk berlaga di 2024.
Namun, bagi Lenny, polemik Ganjar dan Puan tidak akan menjadi persoalan.
“Mbak Puan punya kapabilitas sebagai Ketua MPR, Pak Ganjar sebagai pemimpin daerah. Mereka punya tugas masing-masing sebagai pemimpin, meskipun mereka sama-sama satu partai. Jadi, bagi saya itu bukan suatu tantangan,” kata Lenny.
Lenny memastikan Sahabat Ganjar tidak hanya di Yogyakarta, tetapi juga akan dideklarasikan dan didirikan di seluruh Indonesia. Dia juga mengklaim, gerakan ini tidak terkait dengan partai politik, terutama PDIP di mana Ganjar berlabuh.
“Kita dukung sosok Pak Ganjar. Pak Ganjar memang PDIP, cuma kita terlepas dari itu, tidak ada embel-embel Parpol,” ujarnya.
Relawan adalah fenomena lama dalam ajang Pilpres di Indonesia. Dahulu, organisasi semacam ini menjadi pergerakan di luar struktur partai, tetapi lebih banyak digerakkan oleh politisi. Belakangan, ketika Jokowi muncul ke panggung politik nasional, organisasi relawan lebih banyak digerakkan oleh aktivis nonpolitisi.
Seperti Ganjar, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga memiliki organisasi relawan. Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya 63 simpul yang dikoordinasikan oleh Relawan Ridwan Kamil. Mereka aktif dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat 2018, dan kemungkinan akan melanjutkan dukungan jika Ridwan Kamil berlaga di 2024.
Begitu pula dengan Anies Baswedan yang memiliki organisasi relawan cukup solid dalam Pilkada DKI Jakarta. Salah satu organisasi relawan ini, Jaringan Nasional Mileanis 24, akan segera mendeklarasikan dukungan di belasan provinsi untuk ajang 2024.
Waktu Panjang Kerek Elektabilitas
Gerakan politisi dan organisasi relawan tiga tahun sebelum Pemilu, dinilai analis politik Arif Nurul Iman adalah sesuatu yang biasa.
“Di politik praktis, membangun ketokohan, elektabilitas dan popularitas itu tidak bisa bekerja instan, sehingga durasi 3 tahun juga bukan terlalu cepat. Saya kira sudah saatnya memang, para calon potensial ini untuk muncul dan membangun kepercayaan publik dan akan berbuah pada elektabilitas,” kata Arif ketika dihubungi VOA, Senin (21/6).
Karena itulah, Direktur IndoStrategi Research and Consulting ini memahami pergerakan petinggi partai yang sudah mulai turun ke bawah. Namun dia mengingatkan, agar berpengaruh pada elektabilitas atau tingkat keterpilihan, mereka harus bisa melakukan komunikasi politik dengan baik. Jika sedang mengampu jabatan publik, pengelolaan program yang lebih masif akan membantu mengerek elektabilitas.
“Kalau ketua umum partai politik, tapi kegiatannya turun hanya seremonial dan memobilisasi mesin kader partai mereka, saya kira juga tidak akan signifikan dalam mendongkrak elektabilitas,” kata Arif.
Partai memang memegang peranan, karena untuk mencalonkan diri dukungan partai sangat dibutuhkan. Namun ujung dari proses ini tetaplah elektabilitas, karena Pilpres adalah tentang siapa yang memperoleh dukungan suara masyarakat. Karena itulah, bisa dipahami juga jika kemudian tumbuh organisasi relawan untuk membantu kandidat menaikkan elektabilitas.
Tidak mengherankan apabila mereka yang ingin maju sebagai kandidat di 2024 sudah bergerak, begitupun dengan organisasi relawan pendukungnya yang mulai menjamur.
Arif mengatakan, organisasi relawan bisa diinisiasi oleh kandidat atau tokoh, tim sukses atau tumbuh murni dari masyarakat. Jenis organisasi relawan ketiga ini didirikan oleh mereka yang mungkin tidak kenal dekat dengan kandidat, tetapi memiliki simpati dan menilai tokoh pilihannya layak menjadi calon presiden.
Bagaimanapun sebuah organisasi relawan muncul, menurut Arif, kehadirannya sah-sah saja dalam dunia politik. Bahkan jika ternyata organisasi relawan itu dibentuk sendiri oleh para politisi dari belakang layar. Namun langkah itu juga memiliki syarat, antara lain seyogyanya tidak menabrak etika dan aturan bagi keberlangsungan demokratisasi.
Arif mengakui, tidak mudah untuk mengukur apakah sebuah organisasi relawan murni tumbuh dari bawah atau merupakan desain dari kandidat atau tim suksesnya.
“Meskipun, bisa dilihat dari gejala relasi politik dan sinyal-sinyalnya. Itu bisa dilihat. Tetapi kalau memverifikasi langsung, saya kira kalau kita bilang itu hasil desain, mereka akan menyatakan bahwa relawan itu dukungan dari bawah,” tambah Arif. [ns/ka]