Tautan-tautan Akses

Menkeu RI: Minimum 'Corporate Tax' Bukan Satu-Satunya Cara untuk Membuat Pasar Indonesia Menarik


Gedung pencakar langit milik bank terlihat dari Stadion Senayan yang terlihat sepi dari aktivitas setelah jam kantor di tengah pandemi COVID-19 di Jakarta pada 27 Agustus 2021. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)
Gedung pencakar langit milik bank terlihat dari Stadion Senayan yang terlihat sepi dari aktivitas setelah jam kantor di tengah pandemi COVID-19 di Jakarta pada 27 Agustus 2021. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)

Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang beranggotakan 136 negara pekan lalu menyetujui perombakan aturan perpajakan dunia. Dua perubahan penting adalah penetapan pajak minimum perusahaan global menjadi 15 persen bagi perusahaan yang memiliki pendapatan tahunan lebih dari $870 juta dan ketentuan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional harus membayar pajak di mana mereka beroperasi, bukan saja di mana markas utama mereka berada.

Menteri Keuangan Janet Yellen selama pertemuan dengan para pemimpin bisnis tentang batas utang di South Court Auditorium di kampus Gedung Putih, 6 Oktober 2021, di Washington. (Foto: AP)
Menteri Keuangan Janet Yellen selama pertemuan dengan para pemimpin bisnis tentang batas utang di South Court Auditorium di kampus Gedung Putih, 6 Oktober 2021, di Washington. (Foto: AP)

Menteri Keuangan Amerika Janet Yellen akhir pekan lalu menyampaikan keyakinannya bahwa Kongres akan menyetujui perombakan aturan tentang pajak minimum perusahaan itu.

Yellen, dalam konteks kerja sama G20, kembali menyampaikan hal itu ketika bertemu puluhan menteri keuangan, termasuk Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani di sela-sela Pertemuan Tahunan Kelompok Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional IMF di Washington DC hari Selasa (12/10). Para menteri keuangan dunia ini membahas berbagai hal, terutama upaya mengatasi pengalihan pembayaran pajak perusahaan ke negara dengan tingkat pajak lebih rendah demi meraup keuntungan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani saat sesi wawancara dengan VOA di Washington DC, AS. (Foto: Courtesy/Kementerian Keuangan)
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat sesi wawancara dengan VOA di Washington DC, AS. (Foto: Courtesy/Kementerian Keuangan)

Diwawancarai VOA seusai mengikuti serangkaian pertemuan itu, Sri Mulyani mengatakan perilaku ini “tidak sehat” karena akhirnya “banyak negara mengalami pengurangan atau penurunan potensi penerimaan pajak karena adanya peralihan profit perusahaan dari satu negara ke negara lain dengan pajak lebih rendah.” Juga soal pembayaran pajak hanya di mana markas perusahaan berada, atau hanya di mana perusahaan memasarkan produk, atau di kedua lokasi atau negara.

Indonesia Turunkan Pajak Pendapatan Jadi 22 Persen

Indonesia, ujar Sri Mulyani, saat ini menurunkan pajak pendapatan perusahaan dari 25 persen menjadi 22 persen. Semula pajak ini akan terus diturunkan menjadi 20 persen. Namun dengan persetujuan Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang baru oleh DPR pekan lalu dan dukungan sejumlah peraturan lain sebelumnya, seperti UU Cipta Kerja dan UU No.2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Virus Corona, maka disepakati untuk mempertahankan pajak pendapatan perusahaan menjadi 22 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani saat sesi wawancara dengan VOA di Washington DC, AS. (Foto: Courtesy/Kementerian Keuangan)
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat sesi wawancara dengan VOA di Washington DC, AS. (Foto: Courtesy/Kementerian Keuangan)

Indonesia belum mengikuti OECD yang menetapkan pajak minimum perusahaan menjadi 15 persen karena menurut Sri Mulyani, Indonesia “telah memberikan banyak sekali fasilitas insentif, baik di kawasan ekonomi khusus, kawasan berikat, kawasan impor untuk tujuan ekspor yang tujuannya adalah untuk menciptakan competitiveness.

Ditambahkannya, Indonesia juga telah memberikan tunjangan pajak dalam bentuk insentif pajak (tax incentives) dan pembebasan pajak (tax holiday).

“Nah sekarang kalau seandainya dilakukan persetujuan pajak secara internasional, memang itu bisa menetralisir insentif yang diberikan karena sekarang ada minimal tax yang harus dikoleksi," katanya.

"Kalau ada satu negara memberikan insentif lebih rendah yang disebut minimum, maka perusahaan ini walaupun menikmati insentif – katakanlah di negara tujuan investasinya – di tempat asal perusahaan itu dia akan tetap di-charge atau diminta membayar pajak pada level yang minimum tadi. Apakah kita siap? Indonesia harus siap," tegas Sri Mulyani.

Gedung Kantor Pajak di Jakarta. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
Gedung Kantor Pajak di Jakarta. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Urgensi Penyempurnaan Berbagai Instrumen

Indonesia, tambahnya, dapat mempersiapkan diri dengan melakukan penyempurnaan “baik dari sisi kebijakan dan regulasi yang dipermudah dan disimplifikasi, birokrasi kita perbaiki, plus infrastruktur karena kualitas infrastruktur akan mempengaruhi iklim investasi.”

Sri Mulyani menggarisbawahi pentingnya memperbaiki “level playing field sehingga menjadi lebih attractive karena market kita bagus, ekonomi relatif tinggi, daya beli masyarakat meningkat, middle income class-nya growing. Itu semua menjadi daya tarik. Jika di-combine dengan infrastruktur yang relatif makin baik, birokrasi yang melayani dan tidak korupsi, regulasi yang sederhana dan tidak kompleks; maka ini kan menjadi menambah competitiveness dari Indonesia. Jadi kita tidak hanya bergantung pada pajak saja.”

Dilema Negara Berkembang

Diwawancarai secara terpisah Kyle Pomerleau, pengamat di American Enterprise Institute mengatakan “ada trade-off (upaya menyeimbangkan.red) di negara-negara berkembang. Di satu sisi, kesepakatan pajak minimum perusahaan dapat membantu negara-negara berkembang melindungi basis pajaknya, jika mereka bertindak (menetapkan pajak minimum) maka perusahaan multinasional mungkin akan mengalihkan profit ke luar dari negara-negara ini karena bagaimana pun juga aturan ini belum mapan, atau mereka tidak memiliki kapasitas untuk memahami undang-undang pajak seperti di negara maju."

Seorang pekerja berjalan di atas tumpukan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 22 Januari 2021. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)
Seorang pekerja berjalan di atas tumpukan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 22 Januari 2021. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

"Namun di sisi lain, ada juga potensi negatif bagi negara berkembang terkait 'inbound investment' dari negara-negara maju, di mana perusahaan multinasional Amerika misalnya yang berinvestasi di negara berkembang, dapat terkena dampak negatif jika negara seperti Amerika atau Jerman mengenakan pajak tambahan atas keuntungan yang mereka peroleh, dan hal ini berdampak pada investasi di negara-negara berkembang itu," paparnya.

Sementara Didier Jacobs, penasehat kebijakan senior di Oxfam mengatakan “pada akhirnya pajak minimum global sedianya mengurangi penyalahgunaan untuk menyembunyikan pajak dan hal itu akan menguntungkan semua negara. Tetapi dalam jangka pendek, manfaat langsung dan nyata pajak ini hanya akan dirasakan sebagian atau hampir semua negara kaya saja.”

Pemandangan udara dari kawasan bisnis di Jakarta. (Foto: REUTERS/Beawiharta)
Pemandangan udara dari kawasan bisnis di Jakarta. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

"Jalan Menuju Pemulihan yang Inklusif" Jadi Tema Pertemuan Kelompok Bank Dunia dan IMF

Sri Mulyani bersama sejumlah pejabat keuangan lain sedang berada di Ibu Kota Washington DC untuk mengikuti pertemuan tahunan Kelompok Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional yang dimulai Senin (11/10).

“Mengakhiri Pandemi: Jalan Menuju Pemulihan yang Inklusif” menjadi tema besar pertemuan yang dihadiri para menteri keuangan, gubernur bank sentral, eksekutif swasta, perwakilan organisasi masyarakat sipil dan akademisi untuk membahas isu-isu yang menjadi perhatian dunia, termasuk prospek ekonomi, pengentasan kemiskinan, pembangunan ekonomi dan efektifitas skema bantuan. Untuk pertama kalinya sejak pandemi merebak Maret 2020 lalu, dilangsungkan secara semi virtual. [em/hj]

Recommended

XS
SM
MD
LG