Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memprediksi puncak kenaikan kasus COVID-19 yang disebabkan oleh subvarian omicron BA.4 dan BA.5 akan terjadi pada Juli mendatang.
“Pengamatan kami ini gelombang BA.4 dan BA.5 itu biasanya puncaknya tercapai satu bulan sesudah penemuan kasus pertama. Jadi, seharusnya di minggu kedua atau minggu ketiga Juli kita akan melihat puncak kasus dari BA.4 dan BA.5 ini,” ungkap Budi dalam telekonferensi pers usai Ratas Evaluasi PPKM, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/6).
Walaupun dihadapkan pada potensi terjadinya gelombang baru, berdasarkan hasil pengamatan dari Kementerian Kesehatan, subvarian siluman omicron tersebut diperkirakan tidak akan berdampak lebih buruk dari varian delta baik dari segi tingkat perawatan bagi pasien corona di rumah sakit maupun dari segi tingkat kematian.
“Kami juga mengamati khususnya di Afrika Selatan, di mana varian BA.4 dan BA.5 ini pertama kali teridentifikasi dan hasil pengamatan kami bahwa puncak dari penularan varian BA.4 dan BA.5 ini sekitar 1/3 dari puncak delta dan omicron, kasus hospitalisasinya juga 1/3 dari kasus delta dan omicron, sedangkan kasus kematiannya 1/10 dari kasus kematian di delta dan omicron,” tuturnya.
Dalam kesempatan ini, Budi juga mengumumkan bahwa sudah terdapat delapan kasus dari kedua subvarian omicron ini di tanah air. Ia menjelaskan, tiga kasus diantaranya adalah imported cases yang berasal dari Maurisius, Amerika Serikat dan Brazil. Ketiga pasien tersebut, katanya merupakan delegasi dari acara Global Platform for Disaster Risk Reduction yang berlangsung di Bali.
Sedangkan lima kasus lainnya merupakan kasus transmisi lokal yang terdeteksi di Jakarta dan Bali. Budi mengakui bahwa pasca cuti bersama untuk libur lebaran, kenaikan kasus di Indonesia mulai terlihat di beberapa daerah yakni Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Bali.
Meski begitu, ia cukup yakin sampai saat ini situasi pandemi di tanah air masih lebih baik jika dibandingkan dengan di negara lain. Apalagi, berdasar indikator pandemi yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), situasi COVID di Indonesia masih tergolong aman.
“WHO kasih standar untuk kasus konfirmasi level satu itu adalah maksimal 20 kasus per minggu per 100 ribu penduduk. Kondisi Indonesia sekarang masih di level satu. Jadi walaupun ada kenaikan, itu masih di level satu. Positivity rate juga WHO kasih standar lima persen, kita masih di angka 1,36 persen. Reproduction rate atau reproduksi efektif itu juga dikasih standar di atas satu yang relatif perlu dimonitor, kita masih di angka satu sehingga dari tiga indikator transmisi, kondisi Indonesia masih baik,” tegasnya.
Lebih jauh, Budi mengungkapkan Presiden Jokowi mengimbau agar semua pihak tetap waspada dengan munculnya varian baru COVID-19. Menurutnya, prinsip kehatian-hatian dan kewaspadaan dapat membantu menyeimbangkan antara kondisi penanganan pandemi dengan kegiatan sosial dan ekonomi.
Pemerintah, ujar Budi, akan terus mempercepat pelaksanaan vaksinasi dosis lengkap dan dosis penguat atau booster. Apabila modal imunitas masyarakat memadai, besar kemungkinan tidak akan terjadi kenaikan kasus yang cukup signifikan. Budi meminta kesadaran masyarakat untuk turut membantu menyukseskan program vaksinasi COVID-19.
Selain akselerasi vaksinasi, pemerintah ujar Budi, tetap mengimbau masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan utamanya dalam pemakaian masker.
“Jadi kalau kita ditanya masker tetap kalau di luar ruangan kita bisa buka tapi kalau di luar ruangan kerumunannya padat sekali atau ada yang batuk-batuk atau kita sendiri merasa tidak sehat silahkan memakai masker. Kalau di dalam ruangan yang ada AC sirkulasinya tertutup disarankan sebaiknya memakai masker. Tidak ada ruginya kita bersikap hati-hati dan waspada malah itu benar-benar bisa melindungi diri kita dan orang lain dan bisa menjaga kesinambungan dari pertumbuhan ekonomi kita.
Dalam kesempatan yang sama, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah meminta kepada penyelenggara acara yang melibatkan massa besar untuk memfasilitasi vaksin penguat atau booster. Dengan begitu, ia berharap cakupan vaksinasi dosis ketiga untuk masyarakat dapat terus meningkat.
“Secara prinsip untuk berbagai kegiatan apa itu venue olahraga maupun venue lain atau musik atau kesenian yang melibatkan banyak anggota masyarakat diharapkan dosis ketiga bisa difasilitasi sehingga untuk kegiatan-kegiatan yang menuai atau membuat kerumunan vaksinasi ketiga itu akan terus didorong,” ungkap Airlangga.
Sampai saat ini, ujarnya, masih ada wilayah di Indonesia yang cakupan vaksinasi dosis pertamanya masih di bawah 70 persen yakni Papua dan Papua Barat. Sementara itu, ada 10 provinsi yang cakupan vaksinasi dosis keduanya juga di bawah 70 persen.
Airlangga menambahkan, meskipun terjadi kenaikan kasus COVID-19 yang mencapai 500-an kasus per hari, hal tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan di negara lain. Ia merinci kenaikan kasus di Australia sudah mencapai 16.000, India 8.500, Singapura 3.100, Thailand 2.400 dan Malaysia 1.700.
Karakter Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5
Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menjelaskan karakter dari kedua subvarian omicron tersebut masuk kategori variant of concern (VOC) karena merupakan turunan dari varian omicron sebelumnya. Selain itu, BA.4 dan BA5 juga memiliki mutasi yang berasal dari varian delta L452.
“Nah L452 ini sebagaimana delta, membuat mutasi BA.4 dan BA.5 ini mudah sekali menginfeksi orang yang bukan hanya yang belum divakksinasi, bahkan yang sudah divaksinasi, bahkan yang sudah dapat dua dosis, atau yang sudah terinfeksi oleh BA.1, BA.2, BA.3 itu bisa terinfeksi oleh dua subvarian ini,” ungkapnya kepada VOA.
Lebih lanjut, Dicky menjelaskan, sama halnya dengan mutasi dari varian delta L452, kedua subvarian omicron tersebut sangat mudah terikat dalam sel organ tubuh manusia, khususnya sel paru. Selain itu, keduanya memiliki kemampuan menghindar dari antibodi, baik yang dihasilkan dari infeksi alamiah maupun dari vaksinasi COVID-19. Dicky pun memprediksi kenaikan kasus COVID-19 yang disebabkan oleh BA.4 dan BA.5 tersebut bisa mencapai 12-13 persen.
“Dan umumnya kalau tidak ada upaya yang memadai misalnya PPKM-nya dicabut, (cakupan) vaksinasinya buruk, perilaku dari masyarakat yakni dalam hal pemakaian masker juga buruk, itu dalam dua minggu bisa dominan, dan bisa menyebabkan peningkatan atau gelombang baru,” pungkasnya. [gi/ka]