Naufal, seorang guru di Sebatik, Kalimantan Utara, menceritakan kisahnya sebagai guru honorer sejak dua tahun lalu di kampung halamannya itu. Termasuk bagaimana banyak guru yang pindah ke daerah lain dan enggan mengajar di pelosok pedalaman Kalimantan begitu mereka diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN).
“Awalnya ditempatkan di daerah terpencil. Begitu diangkat menjadi pegawai negeri, mereka kembali ke Jawa atau Sulawesi. Rata-rata guru PNS (pegawai negeri sipil) tidak mau tinggal di pedalaman, karena lokasi ke sekolah melewati sungai dan hutan belantara,” papar Naufal.
Tak hanya Naufal, Mursalin seorang guru di Aceh, secara blak-blakan mengatakan ketimpangan ekonomi antara guru honorer dan guru tetap di daerahnya sangat besar. Kesejahteraan juga tidak dirasakan merata.
“Di wilayah kami, Lhokseumawe, ada tiga perguruan tinggi keguruan. Guru sertifikasi kan aturannya jam mengajar sekitar 24 jam. Istri saya hanya dapat 4 jam saja, per jam sekitar 15 ribu. Kalau guru honorer protes pada kepala sekolah, kami diminta cari sekolah lain yang masih banyak jam kosong mengajarnya. Ini miris bagi kami,” jelas Mursalin.
Lain lagi cerita Novalina, guru kelas enam sebuah sekolah dasar di Balikpapan, yang kerap menghadapi tuntutan orang tua agar anak-anak mereka mendapat nilai bagus.
Misalnya, pemerintah menghapus ujian nasional (UN) beberapa waktu lalu. Sekolah sudah menginformasikan kepada orang tua siswa bahwa UN akan diganti dengan ujian sekolah yang tidak berpengaruh pada kenaikan kelas atau mendaftar di sekolah lain.
"Tapi pola pikir orang tua siswa di sini masih yang namanya ujian, ujian, ujian. Guru setiap hari didesak selalu memberi latihan soal. Pola pikir orang tua di sini, supaya anaknya bisa masuk ke sekolah negeri favorit, nilai ujian nanti harus bagus,” ujar Novalina.
Kisah Naufal, Mursalin dan Novalina menjadi catatan penting nasib para guru saat ini.
Filosofi Ki Hadjar Dewantara
Pakar pendidikan dari Universitas HAMKA Jakarta, Itje Chodidjah, dalam diskusi daring bertema "Merdeka Belajar" dalam merayakan hari Pendidikan Nasional, Senin lalu (3/5) mengatakan konsep Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan masih relevan hingga saat ini, yaitu mendidik sebagai proses mengolah olah rasa, raga, pikir, dan karsa.
"Olahrasa sebagai pendidik harus terus dibangun. Secara orang dewasa memilih profesi ini sebagai pendidik, guru, ya harus all out jiwanya sebagai pendidik. Ketika kita menyadari hal itu, passion kita sebagai pendidik harus terus dibangun,” ujar Itje.
Ketua Dewan Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo, sepakat dengan Itje.
“Seorang guru memiliki arti pada setiap kata yang diucapkan, bukan saja pada apa yang kita lihat. Setiap kata dari seorang guru selalu memiliki makna. Guru memberi contoh pada anak didiknya,” ujar Henny.
Pengembangan Karakter Anak
Mursalin, yang sudah malang-melintang mengajar di Aceh, mengungkapkan bagaimana langkah pembentukan karakter anak didik seringkali justru disalahartikan. Tak jarang hal ini berujung pada kasus hukum.
"Kalau kita menegur anak didik yang bandel, zaman dulu bolehlah dengan menjewer telinga. Kalau sekarang anak jadi manja, ditegur dengan sedikit keras akan melapor ke orang tua dan mereka akan datang ke sekolah melaporkan ke pihak berwajib,” ujar Mursalin.
Itje Chodidjah, pakar pendidikan dari Universitas Hamka Jakarta, mengakui paradigma pembelajaran masa lalu sangat berbeda dengan yang terjadi sekarang dan di masa depan. Termasuk dalam hal mendisiplinkan anak didik.
"Ketika anak diberi punishment (hukuman) sejenak, ia akan mengikuti. Itu temponya pendek. Kita pakai mengarahkan anak dengan pola komunikasi. Kalau kekerasan yang ditampilkan, itu akan menempel di jiwa dan ingatan anak dalam jangka waktu lama,” tambahnya.
Itje yakin mereka yang menjadi guru karena panggilan hati nurani akan menemukan cara-cara kreatif untuk mendidik generasi baru, baik ketika mengikuti kurikulum pendidikan, maupun ketika mendidik karakter anak didik. Ini yang membuat pahlawan tanpa tanda jasa ini disegani dan dihormati, tambahnya. [ys/em]