Dengan menguatnya putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia seputar pelarangan pernikahan beda agama belum lama ini, melangsungkan pernikahan di luar Indonesia menjadi sebuah alternatif yang trending bagi pasangan yang berbeda agama. Tak jarang bagi kalangan tersebut yang menetapkan Amerika sebagai pilihan tempat bagi mereka untuk menikah karena proses yang sangat mudah dan sederhana, sekaligus tidak dipermasalahkannya perihal perbedaan agama.
Salah satu penyebabnya adalah penerapan prinsip kenegaraan Amerika yang menganut “separation between church and state” atau pemisahan antara urusan legalitas negara dengan urusan kepercayaan. Dengan demikian peraturan pemerintah sehubungan dengan pernikahan lebih bersifat legalitas tanpa adanya unsur keagamaan, sementara urusan agama merupakan hal pribadi yang tidak dipertanyakan maupun berhubungan dengan legalitas warga.
Proses pernikahan di Amerika bervariasi pada setiap negara bagian, tetapi ada sejumlah langkah serupa yang harus ditempuh oleh pasangan yang hendak menikah di Amerika pada umumnya. Proses tersebut termasuk memperoleh surat izin menikah (marriage license) di mana pasangan harus menunjukan identitas sebagai bukti diri dan bukti tidak memiliki pasangan lain, sekaligus penyelesaian urusan biaya administratif.
Langkah selanjutnya adalah melangsungkan upacara pernikahan (marriage ceremony) yang dapat dilakukan dengan adanya saksi dan pengambilan sumpah oleh seorang petugas kantor pernikahan, walau demikian adapula sejumlah kota seperti Washington, D.C. yang tidak mewajibkan adanya saksi atau petugas untuk pengambilan sumpah, cukup pasangan tersebut saling mengucapkan janji. Setelah semua persyaratan telah dipenuhi, pasangan dapat memperoleh sertifikat pernikahan resmi (marriage certificate) sebagai bukti keabsahan pernikahan mereka.
Salah seorang diaspora Indonesia Karina Vollmer misalnya, melangsungkan pernikahannya di negara bagian Wisconsin. Saat ia dan suaminya, Derek, menikah di tahun 2008, mereka memilih sebuah lokasi ikonik di Kota Milwaukee tanpa mengacu ke salah satu dari agama mereka yang berbeda.
“Derek agamanya Katolik, saya agamanya Islam, karena itu kita sudah dikasih tahu bahwa kita tidak bisa menikah di Indonesia. Untuk upacara dan pestanya kita pilih sebuah museum science di Kota Milwaukee untuk lokasi menikah. Beberapa bulan setelah upacara resmi di Milwaukee, kita menikah di Bali. Sebenarnya upacara di Bali itu hanya pesta, karena dari perspektif agama dan syarat resmi, kita tidak bisa menikah di Bali karena berbeda agama," ujarnya.
Walau demikian, saat Karina dan Derek menikah di Amerika, secara resmi upacara mereka dihadiri oleh dua pendeta, seorang pendeta Katolik sebagai penasihat keluarga dan seorang pendeta Episkopal yang meresmikan pernikahan mereka.
Karina kepada VOA menjelaskan bahwa seorang pendeta Katolik tidak bisa melangsungkan upacara pernikahan di luar gereja Katolik. Langkah selanjutnya adalah menyelesaikan surat resmi pernikahan mereka ke kantor pemerintah Kota Milwaukee untuk urusan pernikahan di negara bagian Wisconsin.
“Di Milwaukee agama tidak dipertanyakan sama sekali dalam permohonan untuk surat nikah, selama kita berusia di atas 18 tahun dan tidak memiliki hubungan darah satu sama lain, kita bisa bernikah." katanya.
Sementara Alia Nasir dan suaminya, Brian, menikah kurang lebih empat tahun yang lalu. Ia juga melangsungkan pernikahan di dua tempat, pertama di gedung pengadilan negara bagian Maryland, dan selanjutnya di Indonesia dengan upacara yang lebih tradisional.
Ia menceritakan proses pendaftarannya cukup sederhana, cukup menunjukkan identitas berupa SIM atau paspor dan membayar biaya administrasi, lalu mengisi formulir dengan informasi standar seputar identitas, alamat dan memastikan mereka cukup usia serta tidak punya hubungan darah. Sama sekali tidak ada pertanyaan tentang agama
“Pernikahannya sih sangat sederhana ya, dan aku ngundang satu temanku untuk jadi saksi. Di ruang pernikahannya seorang komisaris pengadilan melakukan upacara dengan mengucapkan beberapa kalimat dan meresmikan pernikahannya. Karena ini adalah pernikahan di gedung pengadilan, tidak ada penyebutan agama dan acara sangat singkat ya, hanya sekitar lima menit sudah selesai dan kami resmi menikah," papar Alia.
Berbeda dengan Jeremiah dan istrinya, Pat, yang lebih memilih Hawaii sebagai lokasi pernikahan mereka. Persyaratan nikah di negara bagian tersebut bahkan jauh lebih sederhana tanpa mengharuskan adanya upacara, cukup bikin perjanjian, datang ke kantor pengadilan dan mengisi aplikasi, lalu melakukan wawancara dengan seorang “marriage officer” untuk mendapatkan sertifikat. Apabila mereka menghendaki sebuah upacara pernikahan, maka marriage officer itu pulalah yang akan melangsungkannya. Dalam beberapa hari sertifikat pernikahan akan dikirim ke rumah untuk menandakan mereka resmi menikah.
“Kalo untuk soal agama dan kepercayaan, mereka biasanya tidak mendikriminasi tentang itu, jadi technically siapa saja bisa datang ke courthouse, get married, bahkan mereka yang tidak punya paperworks living in the U.S. masih bisa dinikahkan di courthouse. Nanti tetap dapat marriage certificate-nya dan marriage officer-nya tetap menjadi saksinya," ujarnya.
Hal yang menjadi sebuah catatan bagi pasangan yang ingin menikah, bahwa mereka tidak harus menjadi penduduk resmi untuk dapat dinikahkan di Amerika. Ini jugalah yang menjadi salah satu motivasi bagi Prihadi Dwitomo.
Saat ia dan suaminya, Robby, datang jauh dari Jakarta untuk menikah di kota New York pada 2013, prosesnya sangat mudah, bahkan biaya administrasi saat itu secara keseluruhan tidak mencapai $80 atau sekitar Rp1,2 juta. Pendaftaran bisa dilakukan via email dari mana saja, dan semua perlengkapan pernikahan seperti cincin dan bunga, semua tersedia dan dapat dibeli di sana, bahkan jasa saksi-pun tersedia dengan membayar $30.
Prihadi meyakinkan bahwa saat mendaftarkan diri untuk menikah, mereka sama sekali tidak dipertanyakan mengenai agama, iapun masih menyimpan formulir yang mereka isi untuk kenang-kenangan.
Satu lagi diaspora Indonesia yang menikah di negara bagian New York adalah Asih Schaff, ia dan suami mengikat tali pernikahan mereka pada 2007 di sebuah balai kota, yang menikahkan mereka adalah seorang hakim.
“Syarat yang diminta, seinget saya, waktu itu kami diminta untuk memberikan ID (kartu identitas) masing-masing, lalu kami juga harus membuktikan bahwa status kami berdua masih single. Dan tentunya dari ID kami bisa dilihat bahwa usia kami legal untuk menikah di New York," katanya.
Asih menjelaskan bahwa ia dan suaminya tidak berbeda agama, tetapi seingatnya, status agama mereka berdua bukanlah sesuatu yang ditanyakan saat hendak melangsungkan pernikahan.
“Kami gak pernah ditanya atau diminta bukti tentang agama atau kepercayaan kami masing-masing. Di sertifikat pernikahan kami itu yang dicantumkan adalah nama, alamat, tempat dan tanggal lahir, dan juga tempat dan tanggal pernikahan," ujar Asih.
Sebuah survei yang dilakukan Pew Research Center menunjukkan hanya 69 persen dari pasangan yang menikah di Amerika memeluk agama yang sama dengan pasangannya. Dalam studi perbandingan tersebut juga ditemukan bahwa pasangan yang belum lama menikah lebih tidak mementingkan perbedaan agama dibanding pasangan yang menikah beberapa dekade yang lalu. [aa/ka]
Forum