Kontroversi mengenai Livi Zheng berlanjut ketika dikatakan filmnya menembus festival film internasional yang namanya terdengar asing di telinga.
Selain itu, dua film arahannya berhasil “masuk seleksi nominasi piala Oscar,” salah satunya bersaing dengan film “Avengers: Infinity Wars.”
Publik pun mempertanyakan apakah benar ini merupakan sebuah prestasi?
Kontroversi tidak berhenti di situ saja. Berbagai berita yang bermunculan mengenai dirinya, dianggap Livi tidak akurat. Dia pun mengadu kepada Dewan Pers.
Berikut fakta yang berhasil diperoleh VOA dari beberapa pakar film dan sineas di Amerika, serta Indonesia, juga penjelasan langsung dari Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakkan Etika untuk Dewan Pers, Arif Zulkifli, seputar hal ini.
Bersaing di Festival Film Internasional
“Film saya sudah masuk sekitar 400 film festival sejak tahun 2005,” ujar sutradara Joko Anwar kepada VOA.
Mendaftarkan film ke puluhan bahkan ratusan festival film internasional adalah hal yang biasa dilakukan oleh para sineas. Pasalnya inilah cara agar karya mereka ditonton publik dunia, jika tidak punya distributor di luar negeri.
Tahun 2014, film bertajuk “Legend of the East” dimana Livi ikut terlibat sebagai pemain, stunt woman, sekaligus produser, tetapi bukan sutradara, berhasil menembus Madrid International Film Festival di Madrid, Spanyol dan juga Boston International Film Festival, di Boston, Massachusetts. Kedua festival itu jarang kita dengar.
Lantas, apa alasan Livi memilih Madrid International Film Festival?
“Madrid, karena pengen ke Eropa,” ujar Livi.
Menurut situs Film Freeway, yang memuat informasi mengenai lebih dari delapan ribu festival film di seluruh dunia, Madrid International Film Festival adalah salah satu festival film yang populer di Eropa dan sudah berlangsung selama delapan tahun.
Seperti festival film internasional pada umumnya, Madrid International Film Festival memungut biaya sekitar 60 hingga 75 dolar Amerika atau setara dengan 840 ribu hingga 1 juta rupiah untuk setiap film yang didaftarkan.
Sementara, Boston International Film Festival sudah berjalan 18 tahun. Festival ini juga memungut biaya, yaitu sebesar 45 hingga 105 dolar Amerika atau setara dengan 633 ribu hingga 1,4 juta rupiah untuk setiap film yang didaftarkan.
Kebanyakan orang mungkin hanya mengenal beberapa festival film international yang terkenal di dunia: seperti Cannes Film Festival, Berlin International Film Festival (Berlinale), Venice International Film Festival, Toronto International Film Festival, dan Sundance International Film Festival.
Film “Gundala” misalnya, yang telah menembus satu juta penonton, terpilih untuk ditayanglan di program Midnight Madness di ajang “Toronto International Film Festival” di Kanada. Tahun 2011, film “the Raid” juga diputar di acara yang sama.
Namun, sineas Indonesia lulusan New York Film Academy di Los Angeles, Cheverly Amalia mengatakan, festival yang namanya tidak terkenal belum tentu tidak bagus.
“Ada banyak sekali festival yang mungkin masih banyak filmmaker lainnya yang masih bingung-bingung ya, seperti Dublin (International) Film Festival, Munich (International Film Festival. Itu kan mereka (running years) nya sudah cukup lama," ujar Cheverly kepada VOA.
Sebagai contoh, tahun 2016, Cheverly mendaftarkan film karyanya “Blackout Experiment” ke lebih dari 10 festival film internasional, salah satunya adalah Hollywood Reel Independent Film Festival, dimana filmnya berhasil menjadi salah satu film resmi yang diputar di teater Laemmle Music Hall di Los Angeles, California, bersamaan dengan film “F for Franco” yang dibintangi oleh aktor James Franco.
Contoh lainnya, tahun 2018, film Joko Anwar “Pengabdi Setan” (red: Satan’s Slaves) diberitakan telah memenangkan top jury prize di sebuah ajang yang bernama, the Overlook Film Festival di New Orleans, Louisiana, sebuah festival yang ternyata baru berjalan tiga tahun.
Joko Anwar sendiri mengaku bahwa dirinya juga harus membayar ketika mendaftarkan filmnya masuk ke festival tersebut.
Nama festival tersebut mungkin akan tetap asing di telinga publik jika tidak diumumkan atau dijelaskan sendiri oleh Joko Anwar melalui Twitter.
Mengenai pemilihan festival film, Joko Anwar mengatakan semua tergantung dari tipe atau genre filmnya.
“Tergantung film yang kita buat dulu, setelah itu kita cari festival yang paling selektif di genre tersebut,” tambah Joko Anwar.
Selain kualitas juri yang menilai sebuah festival, menurut Cheverly ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan ketika mau mendaftarkan sebuah film ke festival film internasional.
“Genre, harga, terus udah gitu (running years) nya terus qualification-nya untuk ke step berikutnya,” kata Cheverly.
Jika dilihat di situs Oscars.org, ternyata banyak juga festival-festival yang namanya masih asing menjadi salah satu persyaratan yang harus diikuti oleh sebuah film sebelum menuju ke kompetisi di tingkat berikutnya, seperti Academy Awards atau Oscars.
Sebagai contoh, untuk kategori film dokumenter terbaik Oscar, sebuah film harus memenuhi persyaratan tayang di bioskop di kota New York dan Los Angeles selama tujuh hari atau sudah pernah menang di salah satu festival film yang masuk ke dalam daftar yang diajukan oleh pihak penyelenggara OSCARS, seperti Krakow Film Festival di Polandia dan Sydney Film Festival di Australia.
Kalau anda pernah mendengar tentang festival yang disebut palsu atau pseudo, pada kenyataannya, Nell Minow mengatakan, tidak ada peraturan yang bisa menentukan apakah sebuah festival itu resmi atau tidak. Namun, di antara festival-festival ini tentu saja ada yang bisa dikatakan besar dan signifikan, jika tiketnya laris terjual dan banyak dihadiri para sineasnya.
“Dan yang terpenting adalah festival dimana para distributor datang untuk melihat film-film yang ingin mereka beli dan tayangkan di bioskop.”
Lantas, apakah tembus di festival film internasional bisa dikatakan sebagai prestasi? Atau hanya sebuah sensasi? Tentu saja jika tembus, para sineas lalu bisa memajang dengan bangga logo-logo festivalnya di poster film-film mereka atau mengumumkan kemenangan mereka di awal film, yang bisa menarik lebih banyak lagi penonton.
“Masuk Seleksi Nominasi Piala OSCAR”
Livi mengatakan bahwa, “Film Bali: Beats of Paradise masuk seleksi nominasi piala Oscar untuk kategori Best Picture.”
Apa sebenarnya makna dibalik kalimat “masuk seleksi nominasi piala Oscar” yang dikatakan oleh Livi?
Kilas balik sedikit, VOA menelusuri bahwa tahun 2014, situs Oscars.org mencatat film “Brush with Danger” sebagai salah satu di antara 323 film yang memenuhi syarat untuk dipertimbangkan mendapat nominasi di kategori film terbaik Oscars atau Academy Awards ke-87 yang berlangsung bulan Februari 2015. Di tahun yang sama film the Raid 2 (red: The Raid: Redemption) yang dibintangi aktor Iko Uwais juga masuk ke dalam daftar yang sama.
Tahun 2018, film dokumenter Livi, “Bali: Beats of Paradise” tercatat sebagai salah satu di antara 347 film yang memenuhi syarat untuk dipertimbangkan mendapat nominasi untuk kategori film terbaik dan juga dokumenter di ajang Oscars atau Academy Awards ke-91 yang diselenggarakan bulan Februari 2019.
Selain memenuhi syarat untuk bisa berkesempatan mendapatkan nominasi di kategori film terbaik Oscars, film “Bali: Beats of Paradise” juga menjadi salah satu dari 166 film yang memenuhi syarat dan didaftarkan untuk dipertimbangkan mendapat nominasi di kategori film dokumenter panjang terbaik di ajang Academy Awards ke-91. Untuk sebuah film dokumenter bisa dipertimbangkan mendapat nominasi di kategori film terbaik, film tersebut harus memenuhi durasi lebih dari 40 menit.
Di tahun yang sama, Indonesia mendaftarkan film “Marlina the Murderer in Four Acts” (red: Si Pembunuh Dalam Empat Babak) untuk dipertimbangkan mendapat nominasi di kategori film asing terbaik di ajang Academy Awards ke-91, bersaing dengan 86 film dari negara lain.
Kalimat “masuk seleksi nominasi piala Oscar” yang dikatakan oleh Livi tidak berarti bahwa film-filmnya mendapat nominasi Oscars atau lalu filmnya mendapat titel film Oscars. Pada intinya, film-film Livi, beserta ratusan film lain, termasuk salah satunya “Avengers: Infinity War,” telah memenuhi persyaratan untuk dipertimbangkan mendapat nominasi di ajang Oscars.
Dilansir dari situs Oscars.org, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebuah film agar bisa dipertimbangkan untuk mendapat nominasi Oscars, khususnya di kategori film terbaik, antara lain adalah film tersebut harus tayang di bioskop komersial di kabupaten Los Angeles selama paling tidak tujuh hari berturut-turut, film tersebut harus memiliki durasi lebih dari 40 menit, dan harus dipertunjukkan di teater dengan menggunakan ukuran film 33mm atau 70 mm, atau format digital yang sesuai dengan kualifikasi.
“Setiap tahun ribuan film dibuat, tapi hanya beberapa ratus yang bisa masuk bioskop. Dan dari beberapa ratus yang masuk bioskop, tidak semua bisa memenuhi kriteria Oscar, untuk berkompetisi dalam ajang bergengsi ini,” kata Livi.
Menurut Neal Weisman, ada beberapa teater di kota New York dan Los Angeles yang bisa disewa untuk menayangkan film tanpa harus melalui perusahaan distribusi, hanya agar bisa memenuhi syarat untuk bisa dipertimbangkan mendapat nominasi Oscars.
“Ada teater-teater yang mau bekerja sama dengan produser yang ingin memasukkan filmnya ke teater komersil untuk bisa memenuhi syarat untuk Oscars,” ujar Neal Weisman
Namun, perjuangan agar sebuah film bisa mendapatkan nominasi memang tidak sekedar harus tayang di bioskop selama tujuh hari berturut-turut dan memenuhi segala persyaratan hingga masuk ke dalam daftar puluhan atau ratusan film yang diumumkan oleh pihak Academy of Motion Picture Arts and Sciences setiap tahunnya, tetapi film tersebut juga harus bisa ditonton oleh anggota dari pihak Academy yang akan menilai film tersebut.
“Kalau anda menayangkan film anda di satu teater untuk satu minggu di Los Angeles, kemungkinan tidak akan banyak anggota dari pihak Academy yang menonton film anda, kecuali filmnya tayang di teater selama 12 minggu dan menghasilkan ratusan juta dolar di Box Office,” ujar Neal Weisman.
Tidak salah jika Livi mengatakan bahwa film “Bali: Beats of Paradise” bersaing dengan “Avengers: Infinity War” atau Bohemian Rhapsody, karena sudah ikut tersaring dengan film-film yang telah memenuhi persyaratan. Namun, pada kenyataannya film ini juga masih harus bersaing dengan ratusan film lainnya, baik yang meledak di Box Office atau pun yang tidak, untuk bisa mendapat nominasi Oscars.
Adukan Hoaks ke Dewan Pers
Terkait dengan pemberitaan miring mengenai dirinya di berbagai media akhir-akhir ini, Livi mengatakan banyak berita yang tidak akurat, seperti yang mengatakan dirinya telah berbicara di 300 kampus, padahal seharusnya hanya 30 kampus.
“Media yang hoaks itu, itu mereka sama sekali nggak cek ke aku gitu lho. Bahkan, mereka menutupi identitas (penulis)nya memakai foto victim murder yang tidak teridentifikasi. Itu mereka nggak ada kroscek sama aku sama sekali, makanya beritanya salah banget,” cerita Livi kepada VOA belum lama ini.
“Jadi terkait dengan hoaks ini, banyak banget berita-berita yang sangat tidak akurat, jadi kita udah melaporkan ke dewan pers,” jelasnya lagi.
Kepada VOA, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakkan Etika untuk Dewan Pers, Arif Zulkifli membenarkan adanya pengaduan yang diajukan oleh Livi terhadap situs Geotimes, Tirto.ID, dan Asumsi.co.
“Tirto dan Asumsi adalah portal berita. Geotimes adalah portal opini. (Livi) menilai ketiga-tiganya membuat artikel yang menghakimi, tidak akurat, penuh prasangka dan tidak cover both sides," jelas Arif Zulkifli.
Dari seluruh dokumen yang diajukan, dewan pers menyimpulkan bahwa Geotimes tidak memiliki kewajiban seperti portal berita yang harus menjabarkan pendapat dari kedua pihak, karena Geotimes adalah portal opini. Namun, Dewan Pers meminta Geotimes untuk memberikan Livi, hak jawab, untuk mengimbangi artikel-artikel yang dipermasalahkan dan menurunkan foto penulis yang dipakai. Menurut Arif, menyembunyikan nama penulis adalah hal yang lazim. Namun, terkait foto, dewan pers menilai hal tersebut merupakan pembohongan terhadap publik.
"Fotonya diambil dari sebuah foto ilustrasi yang diakui sendiri oleh geotimes diambil dari ilustrasi korban pembunuhan oleh atau pengguna atau orang hilang di amerika. Dewan pers menilai itu membohongi publik, seolah-olah ilustrasi itu adalah orang yang menulis,” jelas Arif Zulkifli.
Mengenai Tirto.ID dan Asumsi.co, dewan pers menilai kedua portal tersebut tidak melakukan uji informasi.
"Tidak mengkonfirmasi beritanya kepada pihak-pihak yang tertuduh dan menghakimi. Jadi banyak sekali di dalam artikel, keduanya itu menggunakan kata-kata yang menghakimi. Misalnya, Livi Zheng tidak memahami dunia perfilman, dan seterusnya," ujar Arif.
Arif mengatakan sudah ada mediasi antara Livi Zheng dan Tirto.ID. Tirto.ID sudah meminta maaf kepada Livi dan diharuskan memuat hak jawab. Untuk Geotimes dan Asumsi.co, pihak Livi meminta waktu untuk mempelajari terlebih dahulu. Jika tidak ada respon dari Livi Zheng, dewan pers akan mengeluarkan PPR (Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi) yang sifatnya sepihak dari dewan pers yang bersifat "final dan mengikat." Menurut Arif, pengadu bisa saja membawa PPR tersebut ke penegak hukum atau kepolisian.
"Proses pidana yang terjadi, dengan segala pasal-pasal yang di luar aturan undang-undang 40 tentang pers. Jadi nanti pakai pasal pidana. Kalau kasus ini berlanjut sampai ke persidangan, polisi akan memanggil dewan pers sebagai saksi ahli. Jadi nanti balik lagi prosesnya. Nanti dewan pers akan menyampaikan lagi apa yang sudah disampaikan lewat PPR dan mediasi," jelas Arif.
Namun, Arif berharap kasus ini tidak beralih ke pidana dan bisa diselesaikan di risalah.
"Karena di situlah hakikat-nya. Semua problem dengan pers diselesaikan di dalam komunitas pers itu sendiri, dalam artinya lewat dewan pers," pungkasnya.