Gelombang penolakan kehadiran pengungsi etnis Muslim-Rohingya terus terjadi di sejumlah wilayah di Aceh. Penolakan itu terjadi seiring dengan meningkatnya arus kedatangan pengungsi Rohingya di provinsi tersebut mulai pertengahan November, tak terkecuali di Pulau Weh.
Satu kapal reyot yang membawa 139 pengungsi Rohingya berlabuh di pesisir Pantai Le Meulee, Kota Sabang, Aceh, pada 2 Desember. Semula mereka ditampung di Balohan. Namun, setelah muncul penolakan warga, untuk sementara waktu para pengungsi ini ditampung di sebuah lokasi di kawasan Dermaga CT-1 milik Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS), di Kota Sabang.
Wak Dolah adalah salah satu masyarakat yang menolak kedatangan di Pulau Weh lantaran mendaratnya para pengungsi etnis Rohinga di Pulau Weh memiliki unsur kesengajaan.
“Kalau terdampar itu lima sampai tujuh orang. Ini bukan terdampar lagi. Sudah banyak masuk ke Aceh, termasuk ke Sabang dua kali (November-Desember). Ini yang paling lama (masih di Sabang) yang kemarin mendarat di Le Meulee yang sebelumnya dibawa keluar dari sini,” katanya kepada VOA, Jumat (15/12).
Menurut Wak Dolah saat ini seluruh warga Pulau Weh menolak kedatangan pengungsi etnis Rohingya karena beragam alasan. Namun, yang paling utama adalah karena mereka kesal dengan perilaku para pengungsi Rohingya.
“Mereka bukan lagi cari suaka, misalnya sudah masuk satu kapal. Bakal ada yang masuk lagi nanti. Sudah enak soalnya makan dikasih, semuanya dikasih. Kadang-kadang makanan itu mereka bilang sedikit dan dibuang. Itu di Sabang sudah lebih dari 10 hari. Buang air besar sembarangan jadi semua orang di Sabang complain,” jelas Wak Dolah.
Tak Suka Perilaku Pengungsi Rohingya
Hal senada juga disampaikan warga Kota Sabang lainnya, Nedi. Ia berpendapat pemerintah harus segera mengeluarkan pengungsi Rohingya dari Pulau Weh. “Kalau bisa secepat mungkin. Kami khususnya Kota Sabang enggak terima,” ujarnya kepada VOA, Jumat (15/12) malam.
Nedi mengatakan kehadiran pengungsi Rohingya di Pulau Weh bakal memiliki efek buruk bagi masyarakat lokal. “Alasannya efek ke belakang nanti anak cucu. Nanti mereka yang ribut. Karena sudah ada contoh di Malaysia. Jadi mereka datang bukan lagi untuk suaka. Kalau beberapa tahun sebelumnya itu oke mereka suaka. Tapi sekarang mereka bukan lagi suaka, namun mencari tanah di negara orang, terutama di Aceh,” katanya.
Belum lagi faktor kecemburuan sosial, tambahnya. “Ada rasa kecemburuan masyarakat Sabang. Di Sabang banyak anak yatim dan orang susah. Kenapa enggak ada dibantu? Kenapa Rohingya yang enggak punya identitas tanpa dokumen tapi langsung diterima,” kata Nedi.
Menurutnya diperlukan kerja sama lintas kelompok seperti nelayan, TNI, dan polisi di Pulau Weh untuk mencegah berlabuhnya pengungsi Rohingya ke Aceh. “Namun saya heran kemarin tiba-tiba Rohingya datang dan tidur di pantai. Keesokannya atau pas kejadian itu tiba-tiba UNHCR (organisasi PBB untuk urusan pengungsi) sudah di tempat, berarti ada apa sebenarnya?” katanya.
Seakan mewakili warga Pulau Weh, Nedi meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk segera mengambil tindakan tegas terkait maraknya pendaratan pengungsi Rohingya di Aceh.
“Saya mohon ke Pak Jokowi tegas menghadapi Rohingya, jangan sampai seperti Malaysia, itu contoh. Jadi kalau bisa secepat mungkin, Pak Jokowi itu langsung ambil tindakan tegas. Pesan saya kepada Presiden Jokowi untuk tegas dan secepat mungkin mengeluarkan Rohingya dari Sabang. Harus segera dipulangkan,” ujarnya.
Warga Kota Sabang lainnya, Suprati, bahkan mengancam tidak akan berpartisipasi dalam Pemilu 2024 apabila pengungsi Rohingya tidak dikeluarkan dari Pulau Weh. “Kami sudah beri waktu 14 hari. Ini harus keluar mereka. Mau tidak mau harus keluar. Kalau mereka tidak keluar, kami tidak akan ikut pemilu,” kata Suprati kepada VOA.
KontraS: Stigma dan Hoaks Picu Ketidaksukaan Warga Lokal
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, mengatakan penolakan warga itu terjadi karena adanya informasi negatif dan stigma yang terus beredar di masyarakat, baik dari media sosial maupun oknum-oknum yang terus mereproduksi ujaran kebencian terhadap pengungsi Rohingya.
“Sejumlah informasi yang tidak benar itu disampaikan termasuk video-video yang sengaja dibuat untuk memojokkan pengungsi Rohingya. Kebanyakan video itu tidak benar atau hoaks sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang salah,” jelasnya kepada VOA.
Belum lagi lambatnya pemerintah lokal dan pusat mencegah kedatangan mereka sejak awal. “Hal ini tentu saja membuat masyarakat kebingungan. Padahal jika merujuk pada peraturan terkait penanganan pengungsi Rohingya sudah jelas pihak-pihak itu dengan segera bergerak untuk penanganan pengungsi,” kata Husna.
Kepala Badan PBB Urusan Pengungsi UNHCR di Indonesia Ann Maymann pada Minggu (10/12) mengatakan kepada wartawan di Banda Aceh bahwa yang terpenting sekarang adalah “menemukan tempat di mana mereka bisa tinggal, dan kemudian membahas langkah selanjutnya. Jika tidak, kita akan kehilangan sebagian dari mereka. Anak-anak ini misalnya, ada begitu banyak anak yang bahkan tidak makan apapun selama delapan jam ini. Ayo kita berupaya cari tempat penampungan bagi mereka, dan kemudian bicara langkah selanjutnya.”
Polda Aceh Bongkar Kasus Penyelundupan Manusia
Dalam perkembangan lainnya Polda Aceh telah membongkar kasus penyelundupan etnis Rohingya ke Indonesia, yang kebanyakan berasal dari Cox’s Bazar di Bangladesh.
Penyelundupan itu dikendalikan oleh petugas keamanan kamp di Bangladesh dan beberapa kapten kapal. “Para pengungsi Rohingya dipungut biaya sebesar 20.000—100.000 taka atau Rp3-15 juta per orangnya," kata juru bicara Polda Aceh, Kombes Joko Krisdiyanto, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/12).
Joko menjelaskan setelah uang dari pengungsi Rohingya terkumpul, maka koordinator yang terdiri dari kapten kapal, nakhoda, dan operator mesin membeli kapal. Lalu, mereka membeli bahan bakar minyak dan makanan untuk bekal selama pelayaran menuju negara tujuan.
“Setelah dipotong biaya operasional, keuntungannya dibagi untuk kapten kapal, nakhoda, operator mesin, dan koordinator utama yang berada di kamp Cox's Bazar Bangladesh,” jelasnya.
Joko juga menjelaskan sebelum keberangkatan para pengungsi Rohingya terlebih dahulu bisa memilih ke mana akan berlabuh seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Namun karena ketatnya penjagaan perairan Thailand dan Malaysia, mereka umumnya mengalihkan tujuannya ke Indonesia.
"Sedangkan keterlibatan warga negara Indonesia dalam kejahatan penyelundupan manusia ini adalah membantu mengeluarkan para etnis Rohingya dari kamp atau tempat penampungan di Aceh. Lalu, membawanya menuju Malaysia melalui Tanjung Balai di Sumatra Utara atau Dumai, Riau dengan biaya Rp5-10 juta per orang," jelas Joko.
Saat ini Polda Aceh hanya fokus terhadap pengamanan dan pemberian bantuan kemanusian untuk pengungsi Rohingya, sembari menunggu penanganan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan UNHCR.
Menurut Joko, kedatangan imigran Rohingya ke Aceh sudah menjadi momok sehingga menimbulkan reaksi penolakan dari masyarakat setempat. "Kami dari kepolisian, khususnya Polda Aceh dan polres jajaran, hanya fokus pada pengamanan etnis Rohingya yang terdampar agar tidak terjadi konflik dengan warga,” pungkasnya.
Saat ini jumlah pengungsi Rohingya di Aceh sejak pertengahan November 2023 mencapai 1.543 orang, tersebar di Pidie, Sabang, dan Lhokseumawe. [aa/em]
Forum