Tautan-tautan Akses

Membuka Akses Keadilan Bagi Kelompok Rentan


Mereka yang terlibat dalam Aliansi Masyarakat untuk Akses Keadilan DI Yogyakarta.(Foto: alamak)
Mereka yang terlibat dalam Aliansi Masyarakat untuk Akses Keadilan DI Yogyakarta.(Foto: alamak)

Hingga saat ini, kelompok rentan seperti perempuan, lansia dan difabel tidak bisa memperoleh layanan gratis dari lembaga bantuan hukum. Sejumlah lembaga di Yogyakarta merintis upaya ini, dengan memperjuangkan hadirnya sebuah Peraturan Daerah (Perda). 

Seorang perempuan nampak kebingungan di gedung pengadilan. Rina Imawati, pengacara dari LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) Yogyakarta menghampirinya, dan menanyakan masalah yang dihadapi. Perempuan itu datang dari pelosok, dan sedang menjalani proses cerai dengan suaminya.

“Suami perempuan ini istrinya lima, dia istri sah dan yang empat siri. Sudah enam bulan perkaranya tidak putus di pengadilan karena dia kesulitan menghadirkan saksi dan tidak tahu apa yang harus dilakukan,” kata Rina kepada VOA.

Membuka Akses Keadilan Bagi Kelompok Rentan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:51 0:00

Rina menawarkann bantuan hukum kepada perempuan itu. Dia datang ke rumahnya dan bertemu dengan aparat desa setempat. Karena memahami aturan hukumnya, Rina bisa mendesak aparat desa agar memberikan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) bagi perempuan tersebut. Surat itu menjadi syarat agar perempuan tersebut dapat mengakses bantuan akses keadilan dengan biaya ditanggung negara. Kasus itu akhirnya selesai.

Kelompok Rentan Tak Selalu Miskin

Bukan hanya satu, Rina menemui banyak sekali kasus semacam itu. Di mana perempuan tidak dapat mengakses bantuan hukum karena negara hanya menanggung biaya bagi masyarakat miskin. Padahal, banyak kasus di mana perempuan sangat membutuhkan bantuan hukum, bagi kasus-kasus yang mereka hadapi di pengadilan.

“Kemudian yang diberi bantuan hanya pelaku, di dalam kasus pidana. Sementara korban tidak ada dana pendampingan, padahal korban prempuan itu banyak sekali. Ada kasus-kasus di mana istri yang suaminya mampu, kemudian dicerai oleh suaminya. Nah, perempuan ini mendadak menjadi miskin. Mintalah SKTM. Tidak akan diberi oleh aparat, karena dianggap kaya. Padahal dia waktu itu sudah miskin, karena disuruh pergi oleh suaminya,” papar Rina.

Anggota ALAMAK di DPRD DIY.(Foto: alamak)
Anggota ALAMAK di DPRD DIY.(Foto: alamak)

Berbagai kasus itu mendorong LBH Apik, bersama 16 lembaga lain di Yogyakarta kini mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin dan Rentan di Yogyakarta. Mereka terdiri dari Forum Organisasi Bantuan Hukum DIY, aktivis LSM perempuan, anak, disabilitas dan lanjut usia dan tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Akses Keadilan (ALAMAK) di Yogyakarta.

Rina menjelaskan, Indonesia sebenarnya telah memiliki UU No 16 tahun 2011 yang memberi jaminan bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Namun dalam praktiknya, bukan hanya masyarakat miskin yang memiliki SKTM saja yang membutuhkan bantuan hukum. Negara juga harus hadir untuk kelompok rentan, seperti perempuan, anak, lansia, dan kelompok difabel. Kelompok rentan tidak harus miskin atau memiliki SKTM untuk bisa mengakses bantuan hukum.

Kelompok rentan lain yang diusulkan memperoleh akses keadilan lebih adalah anak dan lansia. Menurut juru bicara ALAMAK, Julian Duwi Prasetia, ada banyak kasus penelantaran anak yang butuh penyelesaian hukum.

“Dalam audiensi dengan Dinas Sosial, ada kasus di mana Lansia ditelantarkan oleh menantu dan anaknya karena rebutan harta. Lansia ini sebenarnya memiliki harta yang cukup, tetapi tidak berada dalam penguasaannya. Dia sebenarnya berhak memperoleh akses keadilan,” kata Julian kepada VOA.

Proses Perda Telah Berjalan

Sebagai tindak lanjut, pada Selasa 29 Oktober 2019 lalu, ALAMAK telah memberikan rekomendasi kebijakan dan rekomendasi naskah akademik kepada DPRD DIY. Aliansi berharap bahan-bahan ini segera dikaji dan dimasukkan Program Pembentukan Perda 2020 dan direalisasikan sesegera mungkin.

“Kami tidak bisa memastikan, itu tergantung kepekaan dari DPRD melihat realitas sosial yang ada. Kalau misalnya anggota DPRD memandang ini perlu akan dengan cepat jadi. Makanya teman-teman Aliansi Masyarakat untuk Akses Keadilan DIY mengawal itu, supaya mereka bahwa ini adalah kebutuhan yang mendesak,” kata Julian.

Yogyakarta sendiri, lanjut Julian, sudah memiliki Perda tentang Perempuan dan Anak, serta Perda Difabel. Di dalamnya terdapat bagian yang mengatur tentang pelayanan hukum bagi kelompok ini. Namun implementasinya tidak jelas sampai saat ini karena petunjuk teknis belum tersedia. Pada kasus-kasus hukum, kelompok ini tetap harus menunjukkan SKTM untuk memperoleh akses keadilan.

Dialog tentang akses keadilan di Dinas Sosial DI Yogyakarta. (Foto:alamak)
Dialog tentang akses keadilan di Dinas Sosial DI Yogyakarta. (Foto:alamak)

Di sejumlah daerah, membuat SKTM bukan perkara yang mudah. Bahkan, ada kebijakan tertentu yang dimaksudkan untuk menghentikan keluarnya surat tersebut dari aparat pemerintah setempat. Syarat utama untuk memperoleh SKTM adalah membuat surat pernyataan yang menerangkan bahwa dirinya benar-benar miskin. Surat pernyataan inilah yang menyusahkan bagi kelompok rentan, karena tidak semua memenuhi syarat sebagai warga miskin sesuai ketentuan pemerintah.

DPRD DIY sendiri menyambut baik inisiatif dari berbagai lembaga yang peduli terhadap kelompok rentan tersebut. Meski belum memastikan apakah tahun depan Perda tersebut akan jadi, setidaknya niat baik muncul dalam pertemuan antara ALAMAK dan DPRD DIY.

“Kami akan menerima naskah akademik ini, nanti kami akan serahkan ke pimpinan dan akan dikaji bersama dengan Komisi D yang membidangi kesejahteraan masyarakat. Memang benar hal seperti ini harus kita perhatikan, karena kelompok rentan dan miskin masih menjadi tanggungan negara,” kata salah satu anggota DPRD DIY, Suwardi. [ns/uh]

Recommended

XS
SM
MD
LG