Para demonstran datang dari 73 organisasi keagamaan, mahasiswa, buruh dan Pekerja migran Indonesia (PMI) di NTT. Mereka menuntut keadilan untuk Adelina Sau, yang meninggal karena disiksa majikannya di Penang, Malaysia.
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, kata para demonstan, harus mengambil tindakan terkait proses peradilan Adelina Sau. Menurut Ardi Milik, salah satu aktivis peserta aksi, ini adalah upaya menjaga martabat kemanusiaan, khususnya bagi pekerja migran asal NTT yang bekerja di Malaysia. “Solidaritas “Little Soekarno” sangat kami butuhkan saat ini. Karena itu, kami rakyat Indonesia meminta agar PM Mahathir Mohamad tidak berdiam diri melihat ketidakadilan yang sedang terjadi di tanah Tuan,” kata Ardy.
Little Soekarno adalah julukan bagi Mahathir Mohamad. Menyebut julukan terkait salah satu proklamator itu, seolah memberi kesan betapa dekat sebenarnya hubungan Indonesia dan Malaysia.
Kementerian Luar Negeri RI memang sudah bersurat terkait vonis hakim Pengadilan Penang. Namun menurut Ardy Milik, pemerintah perlu mengambil langkah lebih tegas.
“Kita meminta agar pemerintah Indonesia segera mendorong banding terhadap kasus ini yang dibatasi waktu 14 hari setelah putusan dibuat. Kita menuntut pemerintah Indonesia dan Malaysia bekerja sama menyelesaikan persoalan hak-hak buruh migran asal Indonesia, baik dalam kerangka hubungan bilateral maupun kerangka regional ASEAN,” tambah Ardy Milik.
Masyarakat NTT berharap, Jokowi yang kemungkinan akan kembali bekerja di periode keduanya, lebih serius menangani buruh migran dan perdagangan orang di Indonesia. Bagaimanapun, menurut demonstran yang menyebut diri sebagai Rakyat Indonesia Menggugat (RIM) ini, cerita memilukan tentang nasib tragis buruh migran Indonesia di Malaysia bukan berita baru. Menurut RIM, pemerintahan Jokowi hingga saat ini belum menunjukkan kemajuan dalam melindungi buruh migran, baik ketika di Indonesia, maupun di Luar Negeri.
Gereja Tingkatkan Peran
Dihubungi terpisah, Pendeta Emmy Sahertian dari Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) mengaku sangat kaget dengan perkembangan kasus Adelina Sau. Senada dengan para aktivis lain di NTT, Emmy setuju bahwa pemerintah Malaysia juga harus memperjuangan keadilan dalam kasus kejahatan melawan kemanusiaan ini. Sekecil apapun peluangnya, Emmy percaya bahwa masih ada kemungkinan datangnya keadilan.
“Semua upaya yang paling tinggi sudah kami lakukan, termasuk berkoordinasi dengan teman-teman di Malaysia. Tetapi kami masih tetap berupaya, karena bagi kami ini adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa, ketika membebaskan majikan Adelina Sau yang jelas-jelas dalam dakwaan pengadilan, kejahatannya berkualitas kejahatan HAM,” kata Emmy.
Selain berjuang dalam kasus Adelina Sau, gereja di NTT sebenarnya sudah turut aktif membentuk kesadaran masyarakat setidaknya dalam lima tahun terakhir. Menurut Emmy, gereja banyak melakukan pendekatan pribadi kepada pihak berwenang, terutama di imigrasi, kepolisian dan pengadilan.
“Kami mendekati pribadi-pribadi yang notabene adalah umat kami, untuk berperan di dalamnya. Ini menjadi titik lobi kami secara pribadi, karena ketika pendeta datang berhadapan dengan mereka, paling tidak ada titik pertobatan,” tambah Emmy.
Gereja mendekati hati nurani pejabat berwenang, ujar Emmy. Mereka yakin, bahwa yang paling berbahaya sebenarnya adalah keterlibatan mafia dari dalam lembaga-lembaga berwenang. Tantangan terbesar gereja, lanjutnya, adalah ketika umat mereka dalam lembaga-lembaga itu, tergiur rayuan kerja sama dari perekrut pekerja migran jalur nonformal.
Selain itu, para pendeta kini juga mulai terlibat dalam pertanian di pedesaan. Harapan mereka, jika ekonomi desa berjaan, keinginan untuk pergi bekerja ke luar negeri akan berkurang. “Cukup lama kami tidak menyadari, bahwa diam-diam mereka menggerogoti masyarakat, terutama di pedesaan terpencil. Karena itu, mulai 2014 gereja berdiri di garda terdepan. Tiga tahun terakhir kami mulai membangun semacam jaringan untuk pencegahan meskipun belum sempurna,” tambah Emmy.
Jenazah Terus Datang
Hingga Senin, 6 Mei 2019 sudah 41 pekerja migran asal NTT yang pulang dalam peti mati. Direktur Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia, Gabriel Goa mengkonfirmasi itu ketika dihubungi VOA. “ Jenazah ke-41 yang ada atas nama Goris Nito asal Detusoko, Ende. Dengan pesawat GA 438 pukul 12.45 di Bandara El Tari Kupang,” kata Gabriel.
Menurut Gabriel, jenazah yang pulang ke Indonesia dalam peti ini mayoritas adalah PMI ilegal. Sebagai akibatnya, pengiriman peti mati pun harus ditanggung dengan biaya sendiri tanpa bantuan negara.
Menurut Gabriel, jumlah 41 PMI yang meninggal adalah data mulai 1 Januari hingga 6 Mei 2019. Dari jumlah tersebut, seluruhnya adalah PMI ilegal. Karena ilegal, biaya pemulangan jenazah ke Indonesia harus ditanggung dengan biaya sendiri tanpa bantuan negara.
Data Padma Indonesia mencatat, pada 2016 terdapat 46 kasus kematian PMI asal NTT. Jumlahnya meningkat menjadi 62 orang korban meninggal pada 2017. Tahun 2018 terjadi lonjakan, di mana 105 jenazah PMI pulang dalam peti mati. Mayoritas PMI yang meninggal bekerja secara ilegal. Pada 2018 misalnya, dari 105 korban itu, sebanyak 102 orang tercatat bekerja secara ilegal. Sedangkan dari 41 PMI yang meninggal selama Januari-Mei ini, semuanya ilegal.
NTT setiap tahun memegang jumlah kematian tertinggi menurut Padma Indonesia dan Kemenlu. Jaringan Buruh Migran Indonesia mencatat, pada 2016 ada 190 PMI meninggal di negara penempatan. NTT menyumbang 46 korban. Sedangkan pada 2017, ada 217 PMI meninggal, dan 62 korban diantaranya dari NTT
Melihat angkanya yang terus bertambah, menurut Gabriel, sudah waktunya Presiden Jokowi bertindak lebih cepat. Penanganan yang lebih baik, harus diberikan kepada PMI legal maupun ilegal. Secara teknis, Padma Indonesia berharap presiden segera mendesak lembaga terkait berkoordinasi. Lembaga itu antara lain Kementerian Luar Negeri, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Hukum dan HAM, Perhubungan, Kelautan dan Perikanan serta BNP2TKI.
Padma Indonesia juga mendesak presiden dan kementerian terkait urusan PMI, segera mengeluarkan Peraturan presiden dan Peraturan Menteri untuk sektor ini. “Kami juga mendesak Presiden segera membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Human Trafficking mulai dari pusat hingga ke desa-desa, serta menindak tegas mafia perdagangan manusia,” tegas Gabriel.
Pemerintah seyogyanya juga membatasi pengiriman PMI dengan pendidikan minimal SMK/SMA dan Sarjana. Selain itu, PMI juga wajib mengikuti pelatihan di balai latihan yang disediakan pemerintah. Negara tujuan PMI juga harus dipertimbangkan lagi, dengan memprioritaskan negara-negara yang sudah meratifikasi konvensi ILO untuk melindungi hak para pekerja migran. [ns/ab]