Tautan-tautan Akses

Masyarakat Adat Punya Pandangan Berbeda Soal Wabah Corona


Masyarakat Desa Plosokuning, Yogyakarta menggelar ritual adat tolak balak corona, 30 Maret 2020. (Foto courtesy: Sudaryono)
Masyarakat Desa Plosokuning, Yogyakarta menggelar ritual adat tolak balak corona, 30 Maret 2020. (Foto courtesy: Sudaryono)

Bagi mayoritas masyarakat, pandemi seperti virus corona saat ini adalah sebatas kondisi darurat kesehatan. Penyikapannya disesuaikan dengan protokol sektor ini, yang sepenuhnya ditetapkan berdasar ilmu pengetahuan modern.

Namun, ada sebagian masyarakat di Indonesia yang melihat pandemi dari sudut pandang yang berbeda. Di Bali misalnya, desa-desa adat berperan menggelar kegiatan yang bisa dikelompokkan dalam dua bidang, yaitu sekala dan niskala. Sekala adalah yang terlihat, dan niskala berkaitan dengan apa yang tidak terlihat. Konsep ini dijelaskan Guru Besar Hukum Adat Universitas Udayana, Bali, Prof Wayan P. Windia.

Wayan P Windia (Foto courtesy)
Wayan P Windia (Foto courtesy)

“Untuk melaksanakan aktivitas niskala berupa upacara agama tertentu, bukan upacara adat. Upacara yang dilaksanakan serangkaian dengan wabah Covid-19 ini mirip upacara Nyepi, dilaksanakan 8 April, kedua 22 April dan terakhir pada 7 Mei, mirip suasananya seperti itu. Jadi, apa yang dilakukan, nyambung antara aktivitas sekala, yang nyata dan aktivitas niskala-nya,” papar Windia.

Windia menjelaskan hal itu dalam diskusi "Melihat Covid-19 dari Perspektif Hukum Adat". Diskusi daring ini diselenggarakan Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia pada Selasa, 12 Mei 2020.

Dua Konsep Keseimbangan

Aktivitas niskala, kata Windia, bertujuan untuk menghormati alam. Umat Hindu di Bali percaya, tubuh manusia dan alam disusun berdasar unsur yang sama, yaitu tanah (padat), air (cair), udara, api dan ruang kosong. Jika terjadi tubuh manusia mengalami sakit, maka kemungkinan ketika itu alam juga sedang terganggu. Karena itulah, untuk mencegah penularan virus corona, tidak cukup melakukan pendekatan sekala, masyarakat Bali merasa penting melakukan aktivitas niskala.

Sewaktu terjadi tragedi Bom Bali, masyarakat Bali menggelar upacara Karipubaya. Jika Densus 88 mengejar teroris itu termasuk aktivitas sekala, kata Windia, masyarakat melakukan upacara untuk mengembalikan keseimbangan alam sebagai niskala.

Sesaji selalu ada di masyarakat Bali sebagai bagian hidup selaras dengan alam. (Foto: VOA/Nurhadi)
Sesaji selalu ada di masyarakat Bali sebagai bagian hidup selaras dengan alam. (Foto: VOA/Nurhadi)

Kali ini, desa-desa adat di Bali juga tetap menjalankan aktivitas sekala terkait pandemi virus corona.

“Aktivitas sekala yang dilakukan desa adat persis seperti apa yang diarahkan oleh gugus tugas penanganan Covid-19 dari tingkat pusat sampai ke desa adat. Sama persis,” kata Windia.

Kegiatan itu antara lain lebih banyak di rumah, menjaga jarak, memakai masker, rajin cuci tangan da sebagainya. Sebagai tambahan, kata Windia, desa adat di Bali juga memberikan dukungan ekonomi kepada warga. Hal ini dilakukan karena desa adat di Bali memiliki lembaga usaha yang menggerakkan kekayaan adat mereka.

Ahli hukum adat dari Universitas Sahid, Dr Laksanto Utomo juga memaparkan bagaimana cara pandang masyarakat adat Samin terhadap pandemi virus corona. Samin adalah kelompok masyarakat di sekitar Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Mereka menganut ajaran kepercayaan sendiri, dan saat ini terus menolak pembangunan pabrik semen yang dikhawatirkan merusak lingkungan adat mereka.

Wabah dan Keselarasan Alam

Dijelaskan Laksanto, masyarakat adat Samin percaya pandemi muncul sebagai reaksi alam terhadap apa yang dilakukan manusia.

“Yang dilakukan Ibu Pertiwi, sebagai pertanda bumi telah memulai mengadili. Mereka menyatakan, bahwa wabah corona membuat bingung semua kalangan dan memberikan kesulitan mendapatkan bahan pangan,” kata Laksanto.Dari pernyataan sikap itu, kata Laksanto, sejak awal terbukti bahwa masyarakat Samin percaya pandemi terkait dengan bahan pangan. Jika pandemi ini terus berlanjut, bisa dipastikan masyarakat bawah akan mengalami kesulitan memenuhi kebutuhannya. Karena itulah, masyarakat Samin mendesak semua pihak menjaga keseimbangan alam.

Masyarakat Adat Punya Pandangan Berbeda Soal Wabah Corona
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:31 0:00

Pada 21 April lalu, tambah Laksanto, masyarakat Samin menyampaikan sikap yang menekankan perlunya tindak perusakan alam dihentikan. Seharusnya, proses pembangunan pabrik semen di dekat desa mereka dihentikan. Wabah ini datang, menurut kelompok yang juga dikenal sebagai Sedulur Sikep ini, sebagai bagian dari proses menata kembali alam semesta.

“Pada prinsipnya, Sedulur Sikep dan Jaringan Masyarakat Peduli Gunung Kendeng menginginkan wabah Covid-19 ini menghentikan seluruh operasi dan eksploitasi oleh pabrik semen dan mematuhi aturan terkait kondisi saat ini,” lanjut Laksanto.

Masyarakat Samin, kata Laksanto percaya bahwa bumi memberikan kehidupan. Menjadi tugas manusia menjaga kelestariannya dan menjaga kehidupan untuk masa depan.

Adat Menjaga Kesehatan

Aminuddin Salle. (Foto courtesy)
Aminuddin Salle. (Foto courtesy)

Guru Besar Hukum Adat Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Prof Aminuddin Salle mengungkap kekayaan adat daerah itu terkait kesehatan. Salah satunya adalah budaya gotong royong membersihkan lingkungan, yang juga ada di daerah lain. Di masyarakat pedesaan budaya ini masih kuat, dan kian tersisih di kelompok masyarakat perkotaan.

Aminuddin juga mengingat, di masa lalu rumah adat di daerahnya selalu dilengkapi gentong air di depan rumah. Fungsinya adalah untuk cuci tangan, muka dan kaki bagi tamu atau siapapun yang datang. Kekayaan adat itu membuktikan bahwa menjaga kesehatan dengan budaya cuci tangan sudah ada di masyarakat sejak lama. Masyarakat setempat juga memiliki cairan cuci tangan khusus yang dibuat dari jerami.

Warga Bali berdoa dengan sesaji di depan rumah. (Foto:VOA/ Nurhadi)
Warga Bali berdoa dengan sesaji di depan rumah. (Foto:VOA/ Nurhadi)

“Masyarakat kita memiliki jerami bakar yang digunakan untuk hand sanitizer, nah mungkin ada pengetahuan lain yang juga berfungsi sebagai obat, sekaligus juga menciptakan keseimbangan alam,” ujar Aminuddin.

Sementara Prof Chatarina Dewi Wulansari dari Universitas Parahyangan mengatakan, ada banyak yang bisa dipelajari dari kekayaan masyarakat adat Indonesia di sektor kesehatan.

“Hak pengelolaan kesehatan, apabila itu memang merupakan kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat adat, kenapa tidak digunakan. Kita bisa menggunakan berbagai macam bahan yang bisa kita gunakan untuk kesehatan dan itu dikelola oleh masyarakat adat,” kata Dewi.

Dewi memaparkan tentang konsep community-based natural resource management di sejumlah negara Afrika. Program ini antara lain berupa upaya menjaga kesehatan masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang ada di sekitarnya. Terbukti, konsep tersebut berhasil menciptakan masyarakat adat yang lebih sehat. Dalam situasi wabah, dimana promosi kesehatan menjadi sesuatu yang penting, kekayaan adat ini harus digali kembali jika memang memberikan hasil positif. [ns/ab]

XS
SM
MD
LG