Bank Indonesia (BI) akan memperketat proses pendaftaran QR Indonesia Standard (QRIS) untuk para merchant. Hal tersebut sebagai buntut dari maraknya pemalsuan QRIS di berbagai tempat ibadah di Jabodetabek belakangan ini.
Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Fitria Ismi Triswati mengatakan pihaknya juga akan berkoordinasi dengan lembaga yang terkait dengan ekosistem QRIS seperti Asosiasi Sistem Pembayaran (ASPI), Penyedia Jasa Pembayaran (PJP), Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran, serta PT Penyelesaian Transaksi Elektronik Nasional (PTEN) untuk terus mendalami adanya modus serupa di merchant lainnya.
Bahkan, dalam jangka pendek BI akan menerbitkan daftar hitam atau black list merchant-merchant yang terindikasi melakukan pelanggaran.
“Jadi BI akan memfasilitasi ASPI dan PTEN, dan PJP untuk mengembangkan daftar hitam merchant. Ini merchant yang masuk tentunya adalah merchant yang sudah terindikasi fraud. Jadi tentunya kita kerja sama dan kita juga melihat bagaimana proses penegakan hukum,” ungkap Fitria dalam telekonferensi pers di Jakarta, Selasa (11/4).
Lebih jauh, ia menjelaskan sebenarnya proses dan mekanisme yang ditetapkan untuk menerbitkan sebuah QRIS bagi para merchant sudah sangat ketat. Sebuah merchant yang ingin memperoleh QRIS harus menyertakan berbagai data penting seperti identitas pemilik perusahaan, profil perusahaan, serta usahanya kepada Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) yang telah ditunjuk oleh BI. Khusus untuk pendaftaran merchant tempat ibadah, atau donasi sosial, PJP bahkan perlu mendapatkan informasi penting tambahan lainnya.
Lalu ketika ditanyakan, apakah ada unsur keterlibatan PJP dalam pemalsuan QRIS tersebut? Ftiria menjawab BI dan aparat hukum masih menyelidiki hal tersebut.
“Kita lihat penindakan terhadap PJP-nya. Kita perlu lebih dalam lagi untuk melihat apa sih sebenarnya yang terjadi? Dan bagaimana peran PJP ini sehingga case ini bisa terjadi. Ini yang sekarang prosesnya kita dalami. Dan secara ketentuan apabila misalnya kita menemukan bahwa ada kelalaian atau misalnya ada kekurangan untuk melakukan proses Know Ur Merchant atau proses verifikasi tidak dilakukan misalnya, itu akan merujuk kembali kepada ketentuan yang ada. Dan pasti akan ada yang namanya sanksi administrasi, mulai dari teguran, ataupun pencabutan,” jelasnya.
Modus pemalsuan QRIS memang menggiurkan. Bagaimana tidak, BI mencatat transaksi masyarakat yang menggunakan QRIS tersebut mencapai Rp12,28 triliun dengan volume transaksi 121,8 juta. Adapun jumlah pedagang atau merchant QRIS hingga Februari 2023 sebanyak 24,9 juta dengan total jumlah pengguna QRIS 30,87 juta.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengungkapkan bahwa berkaca pada kasus ini tentunya pihak regulator akan lebih meningkatkan pengawasan dan memitigasi risiko adanya tindakan serupa di kemudian hari. Meski begitu, katanya, BI tidak bisa bekerja sendiri. Masyarakat juga perlu meningkatkan kewaspadaan ketika melakukan transaksi menggunakan QRIS.
“Kami juga mengimbau kepada pengurus-pengurus masjid dan rumah ibadah lain untuk lebih berhati-hati, dari waktu ke waktu mengecek stikernya. Kami mendapat masukan ada beberapa masjid yang katanya kapok mengunakan QRIS. Mudah-mudahan ini tidak terjadi karena manfaat dari QRIS begitu besar, tidak hanya kepada merchant UMKM, tapi juga untuk rumah ibadah. Jadi sekali lagi ini adalah kasus kejahatan, kita tangani kejahatannya plus ekstra kehati-hatian,” ungkap Erwin.
Ke depan BI akan lebih masif melakukan edukasi baik kepada masyarakat dan kepada para merchant untuk meningkatkan kewaspadaan dalam penggunaan QRIS tersebut.
Pengamat Ekonomi Fahmy Radhi mengatakan pada era digitalisasi ini, menggunakan QRIS dalam menjalankan transaksi keuangan memang harus terus digalakkan. Namun, ia menggarisbawahi ke depan pihak regulator harus terus membangun sistem yang lebih canggih agar modus penipuan barcode di berbagai tempat ibadah tidak terulang kembali.
Terkait pengawasan yang harus ditingkatkan pasca kejadian tersebut, Fahmy berpendapat sebenarnya apabila sistem QRIS sudah sedemikian canggihnya maka pengawasan dari pihak BI tidak diperlukan karena sistem itu lah sendiri yang akan melakukan pengawasan.
“Jadi misalnya mobile banking yang digunakan oleh berbagai bank, itu hampir tidak ada pengawasan. Tetapi sistem itu lah yang menjamin keamanan tadi. Misalnya yang diterapkan oleh BCA, pada saat memasukkan password, kemudian setiap transaksi keuangan bahkan untuk hanya tahu saldo harus memasukkan pin, itu sudah menjamin keamanan dan tidak perlu diawasi,” katanya.
“Dalam sistem barcode yang saat ini diterapkan, menurut saya, sistemnya belum canggih sehingga dibutuhkan pengawasan. Tetapi dalam era digitalisasi pengawasan itu sekarang tidak dibutuhkan, asal sistemnya sudah canggih,” lanjut Fahmy.
Ia berpendapat sistem tersebut harus bisa mencegah terjadinya berbagai tindakan kejahatan. Dan sistem tersebut membutuhkan biaya dan waktu.
“Tidak hanya mendeteksi, tetapi mencegah. Misalnya salah masukan pin tiga kali di-block, itu kan bentuk pencegahan dari sistemnya langsung dan itu tidak perlu diawasi. Maksud saya adalah barcode yang dibuat oleh regulator itu minimal ya kerjanya seperti itu,” pungkasnya. [gi/ah]
Forum