Tautan-tautan Akses

Manula Jepang Pilih Meninggal di Rumah, Sendiri


Katsuo Saito, 89, yang menderita leukemia, menggunakan selang oksigen pada saat beristirahat di rumahnya di Tokyo, Jepang, 8 September 2017.
Katsuo Saito, 89, yang menderita leukemia, menggunakan selang oksigen pada saat beristirahat di rumahnya di Tokyo, Jepang, 8 September 2017.

Setelah didiagnosis menderita leukemia pada Juli, Katsuo Saito memutuskan untuk tidak menjalani pengobatan dan memilih perawatan paliatif. Dia mengalami kesulitan menemukan tempat tidur di rumah perawatan atau rumah sakit, jadi dia menghabiskan sebagian besar minggu-minggu yang tersisa di rumah.

"Ada sekitar 20 orang dalam daftar tunggu," Saito, 89, mengatakan kepada Reuters dari apartemennya di lantai lima, di Tokyo. Saito tinggal sendiri di apartemennya.

Banyak orang Jepang enggan meninggal di rumah karena mereka merasa rumah sakit lebih aman dan mereka tidak ingin membebani anggota keluarga dengan merawat mereka.

Tapi menghabiskan hari-hari terakhir sebelum tutup usia di rumah, mungkin merupakan pilihan yang dapat diterima karena kamar perawatan di rumah sakit makin langka di negara dengan populasi manula yang tinggi. Satu dari empat penduduk Jepang, berusia atas 65 tahun dan pejabat kesehatan memprediksikan, akan ada kekurangan lebih dari 470.000 tempat tidur rumah sakit pada tahun 2030.

"Saya pikir ada baiknya, jika ada seorang dokter yang mendukung orang-orang yang memilih untuk menghabiskan hari terakhir mereka, dan tentu saja menghadapi kematian secara alami di tempat yang mereka menghabiskan masa hidup ," kata dokter Yuu Yasui.

Yuu Yasui, dokter dan pendiri Klinik Yamato, mengunjungi Yasuhiro Sato, pasien kanker paru-paru stadium akhir, di rumahnya di Tokyo, Jepang, 11 Juli 2017.
Yuu Yasui, dokter dan pendiri Klinik Yamato, mengunjungi Yasuhiro Sato, pasien kanker paru-paru stadium akhir, di rumahnya di Tokyo, Jepang, 11 Juli 2017.

Yasui bekerja di Klinik Yamato, yang telah mengawasi lebih dari 500 kematian di rumah sejak 2013. Dia berharap dapat memberikan perawatan rumah sakit di rumah untuk mereka yang menderita sakit tanpa harapan hidup.

Mitsuru Niinuma, 69, memilih tinggal di rumah untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan cucunya dan anjing dachshund kesayangannya, Rin.

"Perawatan di rumah memungkinkan orang menggunakan kemampuan mereka sebaik mungkin untuk selama mungkin," katanya. "Itu tidak mudah di rumah sakit. Aspek ini sangat bagus."

Meningkatnya biaya perawatan kesehatan karena populasi usia tua bertambah, telah memicu kekhawatiran bahwa Jepang akan membatasi jumlah tempat tidur rumah sakit. Namun pejabat kementerian kesehatan yang menolak untuk diungkap identitasnya menyebut skenario itu tidak mungkin.

Kekurangan jumlah tempat tidur perawatan sebagian disebabkan oleh lamanya waktu rawat inap di rumah sakit, yang rata-rata mencapai 16,5 hari pada 2015, dibandingkan dengan waktu rawat inap rata-rata enam hari di Inggris, sebuah studi oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menunjukkan.

Lebih dari 80 persen orang Jepang lebih memilih untuk meninggal di rumah sakit, menurut Klinik Yamato.

Katsuo Saito, pasien Leukemia berusia 89, memegang alarm yang bisa mengirimkan peringatan ke sebuah perusahaan keamanan yang mengawasi manula di Tokyo, Jepang, 8 September 2017.
Katsuo Saito, pasien Leukemia berusia 89, memegang alarm yang bisa mengirimkan peringatan ke sebuah perusahaan keamanan yang mengawasi manula di Tokyo, Jepang, 8 September 2017.

Pasien leukemia Saito akhirnya menemukan rumah perawatan pada September. Saito meninggal dua hari setelah pindah ke rumah perawatan.

Asuransi nasional menyediakan kamar perawatan individual di rumah sakit hanya untuk kondisi-kondisi tertentu, sehingga tidak terjangkau oleh orang-orang seperti Yasuhiro Sato, pensiunan berusia 75 tahun dan penderita kanker paru-paru stadium akhir.

"Seseorang kaya, seperti politisi atau penyanyi, mereka menyelesaikan semuanya melalui uang. Mereka bisa tinggal di kamar pribadi, "kata Sato dalam sebuah wawancara di apartemennya di Tokyo pada Juli.

Tanpa keluarga dekat atau teman, dia menjalani kehidupan tersendiri, kecuali untuk kunjungan perawat. Ketika Sato meninggal pada 13 September, satu-satunya orang lain di apartemennya adalah dokter, pembantu dan pengurus.

"Tidak masalah. Saya tidak membebani siapa pun, "katanya. "Saya akan pergi ke alam baka dengan tenang. Sendirian." [aa/fw]

XS
SM
MD
LG