Menteri Luar Negeri Indonesia periode 2001-2009 Hassan Wirajuda menilai kerja sama multilateral atau banyak negara sudah tidak efektif. Ini terlihat dari organisasi-organisasi yang bersifat multilateral seperti PBB dan WTO yang mulai tidak efisien. Ia mencontohkan pada saat pandemi, peran kepemimpinan Badan Kesehatan Dunia (WHO) terhadap 193 negara tidak terlihat dalam mengatasi dan mitigasi virus. Selain itu, sebagian besar negara terlihat mendahulukan kepentingan nasional masing-masing dalam menangani corona mulai dari karantina wilayah hingga obat dan vaksin.
"Amerika sudah memutuskan akan menghentikan hampir 500 juta dolar bantuannya untuk WHO, menjadikan WHO di tengah krisis menjadi tidak lagi efektif. Bahkan, Amerika mengancam keluar dari WHO sesuai selera Presiden Trump yang alergi terhadap multilateralisme," ujar Hassan Wirajuda dalam diskusi "Tantangan Diplomasi Total Indonesia Pasca Pandemi" secara online, Rabu (17/6).
Hassan Wirajuda menyarankan fokus diplomasi Indonesia setelah pandemi agar digeser dari multilateral menjadi diplomasi regional atau kerja sama antara sejumlah negara di kawasan seperti ASEAN dan kerja sama bilateral (dua negara). Menurutnya, diplomasi tersebut penting dalam melindungi negara dari ancaman, seperti corona, sekaligus memperkuat kemandirian bangsa dalam berbagai bidang mulai dari ekonomi, politik dan militer.
"Dalam lingkungan kawasan, Indonesia punya alasan untuk memainkan peran regional leadership. Untuk itu, diplomasi kita harus lebih membumi daripada mengukir langit," tambah Wirajuda.
Kendati demikian, Ia memperkirakan kelaziman baru atau new normal pasca corona baru dapat diterapkan mulai tahun 2022, dengan asumsi penambahan waktu untuk pembuatan dan penyebaran vaksin, dan kemungkinan adanya gelombang kedua pandemi corona.
Menanggapi pernyataan Wirajuda, pengamat Hubungan Internasional, sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Hikmahanto Juwana sepakat bahwa Indonesia harus mengubah fokus kerja samanya ke regional untuk mendapat hasil yang konkret dalam berbagai bidang. Ia mengatakan tren dunia sedang bergerak ke kepentingan nasional masing-masing negara, dan sudah terlihat di sejumlah negara besar seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa. Karena itu, kata Hikmahanto, para pemimpin yang terpilih di negara besar tersebut merupakan pemimpin yang lebih mementingkan kepentingan dalam negeri mereka.
"Kalau misalnya pada masa lalu pasca perang dunia II, memang multilateral, itu sangat penting. Jadi, suara kita pun ingin didengar di dalam konteks multilateral. Sekarang ini, mungkin orang sudah tidak fokus pada multilateral, tetapi pada masing-masing negara. Apa keuntungan yang saya dapatkan?," kata Hikmahanto kepada VOA, Rabu (17/6).
Ia menambahkan, Indonesia juga memiliki potensi menjadi pemimpin di kawasan atau ASEAN karena memiliki sejumlah keunggulan, antara lain pasar yang luas dan sumber daya manusia yang besar. Menurutnya, modal ini dapat dimanfaatkan Indonesia sebagai bahan diplomasi dengan negara-negara di kawasan untuk tujuan nasional.
"Belum lagi kita bisa lihat ketergantungan negara lain untuk Indonesia menjadi mediator. Itu juga harus kita pakai," tambahnya.
Kendati demikian, menurut Juwana, kerja sama dengan ASEAN saat ini tidak perlu diwujudkan menjadi kesatuan seperti Uni Eropa karena negara-negara di Asia Tenggara tidak memiliki kesamaan sejarah seperti negara di Eropa yang pernah di bawah Kekaisaran Romawi. Selain itu, menurutnya, kesenjangan kesejahteraan antar negara-negara di ASEAN akan menyulitkan persatuan seperti Uni Eropa. [sm/ka]