Sebuah buku terbit Mei lalu. Judulnya "Maleh Dadi Segoro, Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak". Sejumlah pakar, aktivis hingga dosen menyumbang tulisan mereka dalam buku setebal 205 halaman itu. Seluruh tulisan itu membahas satu tema utama, yaitu tenggelamnya desa-desa di sepanjang pesisir Semarang hingga Demak di Jawa Tengah.
"Maleh Dadi Segara" adalah kalimat dalam bahasa Jawa yang artinya berubah menjadi lautan. Ivan Wagner Bakara, salah satu penulis buku, menceritakan bahwa judul buku itu adalah ungkapan seorang ibu yang membuka warung di pesisir Demak. Ketika itu, Ivan dan sejumlah rekan melakukan wawancara kualitatif di kawasan tersebut dan mampir untuk menikmati makan siang. Sambil menunggu pesanan datang, Ivan bertanya ke pemilik warung mengenai apa yang terjadi di kawasan itu.
“Beliau mampu mendeskripsikan kondisi geografis dan sosial yang ada di lingkungannya. Bahwa ada perubahan yang dulu, menurut mereka di sana adalah lahan pertanian yang subur, kemudian beralih menjadi tambak, dan setelah tambak itupun akhirnya tergerus dan sekarang menjadi segoro (lautan),” ujar Ivan.
Penjelasan itu disampaikan Ivan dalam diskusi terkait buku "Maleh Dadi Segoro", yang diselenggarakan Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol, Universitas Gadjah Mada, Rabu (24/6).
Kalimat itu dicatat Ivan dan kemudian dipilih menjadi judul buku. Para penulis melihat, deskripsi ibu pemilik warung itu sangat tepat menggambarkan konteks geografi dan sosial di Pesisir Semarang dan Demak secara keseluruhan. Kalimat itu juga menjadikan konteks keprihatinan lebih membumi, karena disuarakan oleh masyarakat langsung, bukan hanya para peneliti dan aktivis.
Ivan memang akrab dengan apa yang terjadi di Semarang dan sekitarnya karena menghabiskan waktu empat tahun bersama LBH Semarang. Sebagai aktivis hukum, Ivan terlibat dalam advokasi kasus reklamasi di wilayah itu, penggusuran kampung nelayan, dan advokasi tata ruang. Kenaikan muka air laut menjadi sesuatu yang biasa bagi warga Demak, Semarang, hingga Pekalongan di bagian barat. Mereka menyebutnya sebagai banjir rob, untuk membedakan dengan banjir akibat hujan.
Pemerintah merespon bencana yang terus mengancam ini dengan proyek Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD). Rencana megaproyek ini tentu ditentang banyak pihak, karena dinilai tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru akan melahirkan masalah baru.
“Kami kemudian berkolaborasi, belajar bersama, berusaha untuk memahami dan punya keinginan untuk mendorong usulan kepada pemangku kebijakan untuk membuat kebijakan yang lebih baik,” kata Ivan.
Penulis lain yang menyumbang karyanya dalam buku ini adalah Prof Henny Warsilah. Dia adalah Peneliti Utama Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Dalam diskusi ini, Henny memaparkan posisi Semarang sebagai kota pelabuhan yang strategis di jalur Pantai Utara Jawa. Nilai ekspor-impor pelabuhan ini mencapai Rp 5 triliun per tahun, dan kota ini juga dikelilingi sejumlah kawasan industri. Sebagian wilayah kota berada di kawasan rawa-rawa dan posisinya lebih rendah dari permukaan laut.
Sayangnya, kondisi itu membawa konsekuensi. Semarang dan sekitarnya mengalami banjir terus-menerus, rob, ekstraksi air tanah, dan tanah amblas. Perbukitan di kawasan selatan kota yang bisa berfungsi sebagai penyangga, justru terus digunduli dan beralih menjadi pemukiman.
Banyak dugaan, kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global berperan menenggelamkan Semarang pelan-pelan. Namun menurut penelitian, kata Henny, faktor utama di kawasan Semarang dan sekitarnya bukan itu.
“Air sudah mau masuk rumah, bahkan ada satu masjid yang tinggal jendelanya saja. Meskipun perubahan iklim menyebabkan kenaikan permukaan air laut, dan menyumbang terjadinya rob, namun untuk kasus Semarang dan Demak, sebab dominannya adalah penurunan permukaan tanah,” kata Henny.
Ketika Henny melakukan penelitian pada Oktober 2019, penurunan tanah terjadi antara 2 sentimeter hingga 13-15 sentimeter per tahun tergantung lokasinya. “Maka dalam 20 tahun bisa Anda bayangkan, rumah itu tinggal plafonnya saja,” lanjut Henny.
Lebih miris lagi, penduduk miskin di pesisir tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mengatasi penurunan tanah itu. Mereka mengatasinya dengan menguruk lahan menggunakan sampah, dan baru kemudian dilapis pasir pada bagian atas. Mereka tidak memiliki banyak pilihan, karena harga material pasir untuk urug tanah terlalu mahal.
Henny mengatakan, kawasan industri menyumbang peran cukup besar terciptanya kondisi tersebut. Ada delapan kawasan industri di Semarang yang semuanya memakai air tanah untuk mencukupi kebutuhan. Konsumsi air tanah berlebih memaksa tanah ambles pelan-pelan tanpa bisa dicegah.
Menurutnya, ada lima faktor penyebab penurunan permukaan tanah. Pertama, ekstraksi air tanah yang berlebihan. Kedua, pembebanan bangunan seperti perluasan pembangunan pelabuhan di Semarang. Ketiga, konsolidasi sedimen. Keempat aktivitas tektonik. Kelima adalah pembangunan-pembangunan yang menjorok ke laut di kawasan pesisir, seperti bandara baru yang menjorok ke laut.
“Pembangunan tol laut menjadi kontra produktif, karena pemerintah Semarang menyelesaikan masalah itu dengan membangun tol laut. Ini sangat menarik, karena menimbulkan bencana yang berlebihan,” tambah Henny.
Henny mengingatkan, dampak rob dan tenggelamnya kawasan pesisir ini merambat ke banyak hal. Dalam penelitian yang dia lakukan terungkap, karena rumahnya tenggelam, banyak anak-anak dari keluarga miskin tidur di pasar dan stasiun kereta. Kondisi ini menimbulkan dampak lanjutan, antara lain banyaknya kasus kehamilan ibu muda yang tinggi di kawasan ini. [ns/ab]