Dari sate, rendang, sampai nasi goreng, makanan khas Indonesia tersebut kini sedang memperebutkan gelar baru sebagai makanan ikonik Indonesia. Dan bagi yang terpilih sebagai ikon, akan dipromosikan secara besar-besaran di banyak restoran Indonesia yang tersebar di luar negeri.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, mengatakan kepada VOA langkah ini diperlukan agar restoran Indonesia tidak kalah bersaing dengan restoran dari negara Asia lainnya, seperti Thailand dan Vietnam.
“Kalau bicara Vietnam, ada ‘pho’ dan lumpia Vietnam. Kalau kita bicara Thailand, itu pasti yang muncul pad thai atau tom yam gung. Jadi marilah kita pilih iconic dishes Indonesia, apakah itu nasi goreng, sate, bakmi goreng, soto, [atau] beberapa… dan ini yang akan kita kembangkan dengan suatu kemasan cerita, kualitas, standar dan branding tertentu, ini yang secara konsisten kita mau kembangkan ke depan,” ujar Mari.
Gagasan itu mengemuka dalam seminar berjudul “Promoting Indonesian Restaurant in Your Host City,” yang dihadiri ratusan anggota diaspora Indonesia di luar negeri. Diaspora yang dimaksud adalah warga Indonesia yang tinggal di luar negeri dan warga asing yang memiliki ikatan dengan Indonesia.
Rif Wiguna, seorang anggota diaspora yang bekerja sebagai wakil presiden direktur pengadaan Panda Express, yang memiliki 1.500 restoran waralaba di seluruh Amerika, menyambut baik gagasan tersebut.
“Ada 30.000 restoran di seluruh Amerika, sementara restoran Indonesia hanya ada 51, jadi potensinya sangat besar. Tapi kita harus mengetahui bagaimana cara dan kesukaan konsumen kita disini. Jadi mungkin rasanya bisa kita sesuaikan sedikit supaya sesuai dengan kesukaan orang sini,” ujar Rif.
Yono Purnomo adalah pemilik restoran Indonesia berkonsep “fine dining” di Albany, negara bagian New York. Pria yang telah menggeluti bisnis restoran selama 35 tahun ini mengatakan makanan yang ikonik dan enak saja tidak cukup, namun harus ditunjang dengan layanan yang memuaskan.
“Tantangan bagi suatu restoran kadang-kadang pegawainya. Namun mereka bisa dilatih dan diberi insentif supaya dapat bekerja dalam tim. Loyalitas adalah salah satu kunci di restoran kami karena bisnis ini adalah soal keramahtamahan dan pelayanan. Jika Anda membangunnya, maka orang akan datang. Artinya jika Anda menyediakan produk yang sangat baik, dengan kualtas prima dan layanan bagus, pelanggan akan terus berdatangan,” ujar Yono.
Pembahasan menganai restoran Indonesia di luar negeri ini menjadi hal yang menarik bagi para diaspora karena kuliner dianggap sebagai salah satu daya tarik pariwisata.
Karena itu Menteri Mari Elka Pangestu mengatakan pemerintah akan mendukung siapa saja yang hendak memulai bisnis restoran Indonesia di luar negeri.
“Kita akan memberikan materi promosi, memberi pelatihan untuk koki, memberikan masukan atau menyediakan perlengkapan untuk ambience [atmosfer restoran], mungkin itu kita bisa. Kalau sampai memberikan subsidi seperti yang dilakukan Thailand, itu mungkin masih agak susah ya. Tetapi subsidi tidak harus dalam bidang finansial atau modal, tapi dengan cara-cara lain itu,” kata Mari.
Seminar tentang bisnis restoran Indonesia di luar negeri tersebut merupakan bagian dari Kongres Diaspora Indonesia yang diadakan di Los Angeles sampai Minggu (8/7). Kongres ini juga membahas isu-isu lain yang bersentuhan dengan kehidupan diaspora seperti imigrasi, dwi-kewarganegaraan, kewirausahaan dan masa depan teknologi Indonesia.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, mengatakan kepada VOA langkah ini diperlukan agar restoran Indonesia tidak kalah bersaing dengan restoran dari negara Asia lainnya, seperti Thailand dan Vietnam.
“Kalau bicara Vietnam, ada ‘pho’ dan lumpia Vietnam. Kalau kita bicara Thailand, itu pasti yang muncul pad thai atau tom yam gung. Jadi marilah kita pilih iconic dishes Indonesia, apakah itu nasi goreng, sate, bakmi goreng, soto, [atau] beberapa… dan ini yang akan kita kembangkan dengan suatu kemasan cerita, kualitas, standar dan branding tertentu, ini yang secara konsisten kita mau kembangkan ke depan,” ujar Mari.
Gagasan itu mengemuka dalam seminar berjudul “Promoting Indonesian Restaurant in Your Host City,” yang dihadiri ratusan anggota diaspora Indonesia di luar negeri. Diaspora yang dimaksud adalah warga Indonesia yang tinggal di luar negeri dan warga asing yang memiliki ikatan dengan Indonesia.
Rif Wiguna, seorang anggota diaspora yang bekerja sebagai wakil presiden direktur pengadaan Panda Express, yang memiliki 1.500 restoran waralaba di seluruh Amerika, menyambut baik gagasan tersebut.
“Ada 30.000 restoran di seluruh Amerika, sementara restoran Indonesia hanya ada 51, jadi potensinya sangat besar. Tapi kita harus mengetahui bagaimana cara dan kesukaan konsumen kita disini. Jadi mungkin rasanya bisa kita sesuaikan sedikit supaya sesuai dengan kesukaan orang sini,” ujar Rif.
Yono Purnomo adalah pemilik restoran Indonesia berkonsep “fine dining” di Albany, negara bagian New York. Pria yang telah menggeluti bisnis restoran selama 35 tahun ini mengatakan makanan yang ikonik dan enak saja tidak cukup, namun harus ditunjang dengan layanan yang memuaskan.
“Tantangan bagi suatu restoran kadang-kadang pegawainya. Namun mereka bisa dilatih dan diberi insentif supaya dapat bekerja dalam tim. Loyalitas adalah salah satu kunci di restoran kami karena bisnis ini adalah soal keramahtamahan dan pelayanan. Jika Anda membangunnya, maka orang akan datang. Artinya jika Anda menyediakan produk yang sangat baik, dengan kualtas prima dan layanan bagus, pelanggan akan terus berdatangan,” ujar Yono.
Pembahasan menganai restoran Indonesia di luar negeri ini menjadi hal yang menarik bagi para diaspora karena kuliner dianggap sebagai salah satu daya tarik pariwisata.
Karena itu Menteri Mari Elka Pangestu mengatakan pemerintah akan mendukung siapa saja yang hendak memulai bisnis restoran Indonesia di luar negeri.
“Kita akan memberikan materi promosi, memberi pelatihan untuk koki, memberikan masukan atau menyediakan perlengkapan untuk ambience [atmosfer restoran], mungkin itu kita bisa. Kalau sampai memberikan subsidi seperti yang dilakukan Thailand, itu mungkin masih agak susah ya. Tetapi subsidi tidak harus dalam bidang finansial atau modal, tapi dengan cara-cara lain itu,” kata Mari.
Seminar tentang bisnis restoran Indonesia di luar negeri tersebut merupakan bagian dari Kongres Diaspora Indonesia yang diadakan di Los Angeles sampai Minggu (8/7). Kongres ini juga membahas isu-isu lain yang bersentuhan dengan kehidupan diaspora seperti imigrasi, dwi-kewarganegaraan, kewirausahaan dan masa depan teknologi Indonesia.