Dzarnisa Araby masih ingat persis gempa berkekuatan 9,1 dan tsunami pada 26 Desember 2004. Saat itu ia dan keluarga sedang berolahraga jalan pagi, ketika merasakan guncangan gempa.
“Saya ajak Ibu saya keluar dari rumah. Besarnya gempa ini membuat serasa pagar yang saya pegang akan copot. Mobil saya menabrak garasi, motor jatuh. Setelah agak tenang, kami kembali ke dalam rumah membereskan perabot yang pecah-pecah. Lalu kami dengar teriakan di luar ‘air laut naik’ tapi kami tidak tahu maksudnya. Kami tidak pernah tahu apa itu ‘air laut naik.’ Tapi saya ajak seluruh keluarga ke rumah tetangga yang memiliki dua lantai. Kami naik ke lantai atas. Saya juga teriak pada tetangga-tetangga meminta mereka naik ke bagian rumah yang lebih tinggi, tetapi mereka bilang tidak akan ada apa-apa,” paparnya.
"Abang kandung saya mengatakan tidak akan ada apa-apa. Waktu itu saya tidak tahu soal tsunami, yang ada di kepala saya hanya rasa takut. Jadi saya tetap ajak anak-anak dan ibu saya naik ke lantai dua, dan begitu kami sampai air pun sampai hingga ke atap lantai satu. Semua yang tadi ada di bawah dan mengatakan tidak apa-apa, tersapu air. Meski sudah 15 tahun ini semua masih terbayang,” lanjut Dzarnisa.
Ketika bencana itu terjadi, Dzarnisa Araby yang akrab disapa dengan Adek, bersama ketiga anaknya yang berusia antara 1,5 dan empat tahun, memilih meninggalkan Aceh dengan menumpang pesawat Hercules TNI Angkatan Udara yang hilir mudik membawa korban dan pengungsi. Delapan anggota keluarga dekatnya meninggal dunia, termasuk dua kakak kandung. Sementara puluhan lain hingga kini tidak diketahui nasibnya.
Lebih dari 170 ribu orang meninggal dan hilang dalam gempa dan tsunami itu. Korban luka-luka tak terhitung jumlahnya.
Tak hanya di Aceh dan sekitarnya, gempa dan tsunami itu juga menimbulkan dampak ke 14 negara lain, termasuk India, Maladewa, dan Afrika Selatan.
Bencana Besar Makin Kerap Terjadi di Indonesia
Setahun setelah itu gempa besar makin kerap terjadi. Antara lain gempa di Pulau Nias pada Maret 2005 yang menewaskan 915 orang, di Yogyakarta pada Mei 2006 yang menewaskan lebih dari 6.000 orang, serangkaian gempa di Pulau Sumatera pada 30 September 2009 yang menewaskan lebih dari seribu orang, hingga yang terbaru gempa di Lombok dan Palu tahun 2018 yang menelan total korban jiwa hingga tiga ribu orang.
Kesadaran kolektif bahwa Indonesia berada di kawasan rawan bencana telah membuat pemerintah memasang sistem peringatan dini di titik-titik rawan bencana besar, disusul pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB pada tahun 2008, dan bekerja simultan dengan badan-badan lain memberikan sosialisasi dan pendidikan sadar bencana kepada masyarakat.
Diwawancarai VOA melalui telpon, Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo menceritakan bagaimana ia mengambil pelajaran sangat berharga dari gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004.
“Yang di Aceh tahun 2004 adalah pembelajaran yang sangat mahal. Jika sebelum kejadian itu masyarakat tahu tentang gempa dan tsunami dahsyat itu, dan tahu cara menyelamatkan diri, maka korban tidak akan sebesar itu. Kenyataannya hampir semua masyarakat Aceh ketika itu tidak paham. Yang paham hanya masyarakat yang ada di Simelue, yang dengan kearifan lokal menyebut tsunami itu sebagai “smong.” Nah, saat tsunami Aceh terjadi, saya ada di sana, ratusan ribu orang hilang atau meninggal. Saya terpikir andaikan mereka tahu menyelamatkan diri tentu tidak banyak korban. 99 persen warga Aceh tidak tahu bahwa gempa besar itu akan diikuti tsunami. Ini yang mendorong saya ingin agar pengetahuan dan kewaspadaan akan bencana ini diketahui semua orang di Indonesia, terutama yang tinggal di 53 ribu desa yang memiliki potensi bencana,” tukasnya.
Pendidikan Sadar Bencana Terbukti Efektif
Doni mengatakan pendidikan sadar bencana itu cukup berhasil, terbukti dengan semakin banyak dan semakin variatif cara warga menyelamatkan diri. Meskipun Doni mengakui, selalu ada kejadian baru yang membuat dirinya dan juga warga harus menemukan cara baru mengatasinya. Ia menyebut kasus likuefaksi di Sulawesi Tengah tahun 2018.
“Dalam kasus gempa bumi di Sulawesi Tengah, banyak warga yang sudah paham. Jadi begitu ada gempa dan tsunami, mereka lari ke tempat yang lebih tinggi. Tetapi korban terbanyak kemudian adalah yang ada di daerah likuefaksi. Mereka yang berada di kawasan di mana likuefaksi terjadi memang sama sekali tidak dapat menyelamatkan diri,” lanjut Doni.
BNPB, tambah Doni, masih harus belajar banyak melihat kearifan lokal di daerah-daerah di Indonesia, bagaimana warga mengatasi bencana sejenis itu sebelumnya.
Namun, mantan panglima Kopassus itu gembira melihat cara warga Maluku dan Maluku Utara menghadapi gempa besar pada Juli 2019, yang kembali menunjukkan keberhasilan sosialisasi dan pendidikan sadar bencana.
“Dalam kasus gempa di Maluku dan Maluku Utara, terutama di Halmahera Selatan, kekuatan gempa 7,1 SR dan hampir 1.000 unit rumah rata dengan tanah, tapi korban tewas ‘hanya’ empat orang. Mengapa demikian? Setelah kami bicara dengan banyak warga yang selamat, mereka mengatakan bahwa pada detik kelima mereka sudah berada di luar rumah. Rumah mereka rata-rata rusak pada detik ke 27-30. Artinya apa? Mereka sudah tahu kapan saat menyelamatkan diri dan bagaimana. Penduduk yang ada di pantai juga langsung evakuasi mandiri tanpa perlu menunggu peringatan dari badan-badan pemerintah. Begitu juga yang terjadi di Ambon. Nah budaya seperti ini yang kami kembangkan terus supaya masyarakat tahu kapan dan bagaimana harus menyelamatkan diri.”
Pendidikan Sadar Bencana Siap Masuk Kurikulum
Menurut Dzarnisa Araby, yang selepas bencana dahsyat di Aceh itu mengungsi dan melanjutkan studinya hingga doktoral di Institut Pertanian Bogor IPB, pendidikan sadar bencana juga sudah menjadi salah bagian dalam mata kuliah di Aceh. Adek, yang kini mengajar di Universitas Syah Kuala Banda Aceh, sering ikut memberikan pendidikan sadar bencana ini.
“Dulu kami khan buta sekali, sekarang sudah melek. Ini mungkin hikmahnya. Sekarang ada dibangun jalur evakuasi dan jika ada sirene, warga sudah langsung lari ke jalur evakuasi. Anak-anak di sekolah hingga tingkat kuliah sudah punya informasi apa yang harus dilakukan dan harus kemana jika terjadi gempa. Pendidikan kebencanaan diperkenalkan ke semua lapisan masyarakat. Tapi saya ingin katakan, meskipun kita sudah bersiap sedia, ingatlah bahwa tidak ada sesuatu hal dapat terjadi tanpa ijin Allah SWT. Jika memang akan terjadi, itu karena kehendakNya,” ujar Dzarnisa.
Mulai tahun 2019 ini pemerintah Indonesia, lewat BNPB, telah menggalakkan program “Desa Tangguh Bencana,” dan disusul dengan “Keluarga Tangguh Bencana.”
“Saya ingin program-program ini pararel. Ada pendidikan kebencanaan dalam kurikulum dan sekaligus sosialisasi lewat media sosial, iklan, dan menggunakan figur tokoh tertentu untuk menyampaikan narasi tentang perlunya kesiapsiagaan menghadapi bencana. Kami kini juga menggalakkan “KATANA” atau Keluarga Tangguh Bencana, yang merupakan kelanjutan program “DESANA” atau Desa Tangguh Bencana. Mengapa ini penting, karena selama ini yang ikut latihan kewaspadaan bencana hanya perangkat desa, BPBD, Basarnas, TNI/Polri dll. Masyarakat tidak pernah. Ke depan, latihan simulasi akan menyentuh lapisan ke depan. Banyak masyarakat kita khan tidak punya akses telpon dan sulit mendapat informasi kapan harus evakuasi dan bagaimana. Mereka harus disadarkan bahwa jika kekuatan gempa sekian, tidak perlu menunggu perintah evakuasi, langsung evakuasi sendiri. Rumah harus dibuat tahan gempa, dan jika terjadi gempa, cara menyelamatkan dirinya begini. Tapi jika tidak tahan gempa, bagaimana. Apalagi 90 persen rumah di Indonesia ini tidak tahan gempa, malah di bangun di lokasi yang tidak aman atau bahkan tidak punya IMB. Kita harus mengajarkan pada mereka bahwa ketika gempa terjadi, langsung keluar rumah dan evakuasi,” ujar Doni.
Jumlah Bencana Tahun 2019 Lebih Banyak, Tapi Jumlah Korban Turun
Menurut data BNPB, sepanjang tahun 2019 ini terjadi 3.721 bencana dengan korban meninggal mencapai 477 orang. Bencana paling banyak adalah angina puting beliung dengan 1.339 kejadian, disusul kebakaran hutan dan lahan 746 kejadian, banjir 757 kejadian, dan tanah longsor 702 kejadian. Berbagai bencana itu menyebabkan lebih dari enam juta orang mengungsi.
Dari segi kejadian, jumlah bencana ini tahun ini lebih banyak dibandingkan tahun lalu sebanyak 2.426 kejadian. Namun, dari segi korban meninggal dan hilang jumlahnya turun dari 2018, yaitu 4.814 orang. (em/pp)