Pasukan keamanan Myanmar telah membunuh lebih dari 300 orang dalam upaya menghancurkan perlawanan terhadap kudeta pada 1 Februari. Data dari kelompok advokasi dan media lokal menunjukkan hampir 90 persen korban ditembak mati dan seperempat dari mereka ditembak di kepala.
Seorang juru bicara junta mengatakan 164 pengunjuk rasa dan sembilan anggota pasukan keamanan telah tewas hingga Selasa (23/3). Reuters tidak dapat memverifikasi semua data tersebut secara independen.
Pembunuhan-pembunuhan tersebut memicu kemarahan dan mendorong sejumlah negara barat, termasuk Amerika, untuk menjatuhkan sanksi. Negara-negara tetangga di Asia Tenggara, yang biasanya menahan kritikan, juga mengecam penggunaan kekuatan mematikan dalam menghadapi warga sipil.
"Kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan setiap hari," kata organisasi aktivis, Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik (Assistance Association for Political Prisoners/AAPP), yang mencatat jumlah kematian tersebut. Organisasi nirlaba tersebut juga mencatat hampir 3.000 orang sudah ditahan, didakwa dan divonis sejak kudeta terjadi.
AAAP mencatat terdapat 320 kematian hingga 25 Maret.
Data tersebut menunjukkan setidaknya 25 persen dari korban tewas akibat tembakan di kepala. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan bahwa para mereka sengaja menjadi sasaran pembunuhan. Data lengkap untuk setiap kematian tidak tersedia.
"Semuanya menunjuk pada pasukan yang menggunakan taktik tembak-untuk-membunuh untuk meredam protes," kata Amnesty International pada awal bulan ini.
Junta membantah pihaknya menggunakan kekerasan yang berlebihan dan mengatakan bahwa tindakan yang diambil telah memenuhi norma internasional dalam menghadapi situasi yang mereka sebut sebagai ancaman bagi keamanan nasional.
Hampir 90 persen korban tewas adalah laki-laki. Sekitar 36 persen berusia 24 tahun ke bawah.
Korban termuda adalah Khin Myo Chit yang berusia tujuh tahun. Ia ditembak mati di kota Mandalay pada Selasa (23/3). Khin berada di rumahnya bersama ayahnya ketika dia dibunuh.
Win Kyi, yang berusia 78 tahun, adalah orang tertua yang tewas. Dia termasuk di antara sekitar 50 orang yang tewas di distrik Hlaing Thayar Yangon pada 14 Maret. Sejauh ini, tanggal tersebut tercatat sebagai hari paling berdarah di Myanmar sejauh ini. [ah/au/ft]