Direktur Institute for Criminal Justice and Reform (ICJR), Anggara Suwahju, mengatakan gugatan ini berkaca pada kasus Fidelis pada 2017. Fidelis ditangkap karena memiliki 39 batang ganja untuk mengobati penyakit isterinya. Pria di Kalimantan Barat ini divonis delapan bulan penjara.
“Kasus Fidelis itu membawa kita pada satu hal baru. Bahwa ganja yang dilarang itu ternyata bisa digunakan untuk salah satu alat terapi,” ujarnya kepada wartawan usai diskusi di Bandung, Jumat (27/12) sore.
Larangan penggunaan ganja untuk pengobatan tertuang dalam Pasal 8 UU 35/2009 tentang Narkotika.
Pasal itu mengatur, “Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.” Narkotika Golongan I terdiri atas 65 jenis dan salah satunya ganja.
Anggara mengatakan, sejumlah ahli tengah disiapkan sebelum gugatan masuk ke MK.
“Beberapa ahli sudah ada, tapi kita perlu lebih firm lagi untuk menghadirkan ahli-ahli yang lebih baik lagi. Tapi ahli-ahli yang lain sudah ada,” jelasnya.
Jika gugatan itu dikabulkan, kata Anggara, pemerintah perlu mengontrol distribusi ganja medis secara ketat.
“Tentunya pemerintah harus membuat regulasi baru dan bagaimana mengontrol distribusi ganja tersebut. Terutama karena untuk kepentingan medis, distribusinya harus melalui jalur-jalur medis juga,” tambahnya.
Namun demikian, Anggara mengakui, gugatan ini kecil kemungkinan untuk menang. Dia berharap langkah tersebut membuka diskusi publik mengenai manfaat medis dari ganja.
Dalam catatan ICJR, setidaknya ada 30 negara di dunia yang membolehkan ganja untuk kesehatan. Negara-negara ini antara lain Belanda, Kanada, Meksiko, Turki, dan Zimbabwe.
Di Asia Tenggara, Thailand telah melegalkan ganja medis pada akhir 2018.
Sementara di Malaysia, Perdana Menteri Mahathir Muhammad pada 2018 mulai membuka ruang untuk mendiskusikan kemungkinan pengaturan ganja medis. Di Filipina, Kongres tengah membahas Compassionate Medical Cannabis Act yang telah diterima parlemen sejak 2016.
Masyarakat Diajak Berpikiran Terbuka
Anggota DPR RI dari Nasdem, Muhammad Farhan, meminta masyarakat terbuka dengan kemungkinan pendekatan medis.
“Jadi memang selama ini harus diakui kita hanya mampu melakukan pendekatan satu sisi (terhadap narkoba), pendekatan linier, yaitu pendekatan secara represi hukum. Kita bisa dikatakan hampir tidak pernah melakukan pendekatan lain, bahwa pencegahan dan penanggulangan narkoba ini bisa dilakukan sebagai bagian dari layanan kesehatan umum,” ujar pria yang lama berkecimpung sebagai penyiar ini.
Legislator ini mengatakan, meski secara pribadi tidak yakin akan khasiat ganja, dia mendorong penelitian terbuka untuk membuktikan efek tanaman tersebut.
“Benar-benar terbuka nih, berapa besar yang sukses, berapa besar yang tidak berhasil? Apa faktor yang membuatnya berhasil? Apakah kasuistik atau memang bisa digeneralisasi?,” tambah anggota DPR Dapil Bandung, Kabupaten Bandung, dan Cimahi ini.
Ganja Lekat dengan Sejarah Indonesia
Tanaman ganja sendiri memiliki sejarah panjang di Nusantara, ujar Direktur Lingkar Ganja Nusantara (LGN), Inang Winarno.
Inang mengatakan dia tengah menelusuri artefak-artefak penggunaan ganja. Penelusurannya menemukan ganja digunakan untuk ritual di Jawa Tengah era Hindu-Buddha dan Ternate pada abad ke-6.
“Setelah kita temukan (artefak) di beberapa candi terutama di Jawa Tengah, yaitu Candi Sukuh dan Candi Cetho, sekarang kita lagi ke arah Timur, di Ternate. Itu juga Kerajaan Ternate ritual-ritualnya menggunakan ganja untuk bermeditasi dan berkontemplasi,” jelasnya.
Selain ritual, Inang juga menelusuri penggunaan ganja medis dalam teks kuno. Dia tengah mengungkap pengobatan ganja yang tertuang dalam Kitab Tajul Muluk di Aceh pada abad ke-16 dan mungkin tercantum dalam Kitab Tetamba di Cirebon pada abad ke-18.
“Tanaman obat menurut keyakinan Islam itu ya berasal dari tumbuhan. Itu salah satu yang ditemukan. Maka ditulis dalam resepnya terutama untuk kencing manis,” terang lulusan Universitas Padjadjaran ini.
LGN telah menerbitkan buku “Hikayat Pohon Ganja” pada 2011 yang memuat sejarah dan kajian dari berbagai negara tentang khasiat ganja.
Di Indonesia sendiri, LGN pada 2014 mengajukan izin riset khasiat ganja kepada Kementerian Kesehatan. Penelitian ganja medis pertama di Indonesia ini diperbolehkan namun kemudian tertunda pelaksanaannya. [rt/uh]