Tautan-tautan Akses

Laporan CPJ: 67 Jurnalis Dipenjara di Afrika Karena Pekerjaan Mereka


Seorang jurnalis memegang kertas bertuliskan "Jurnalisme bukanlah kejahatan" dalam aksi protes menentang pembatasan terhadap media dan menuntut jurnalis yang dipenjara di Kairo, Mesir, pada 4 Mei 2016. (Foto: Reuters)
Seorang jurnalis memegang kertas bertuliskan "Jurnalisme bukanlah kejahatan" dalam aksi protes menentang pembatasan terhadap media dan menuntut jurnalis yang dipenjara di Kairo, Mesir, pada 4 Mei 2016. (Foto: Reuters)

Setidaknya 67 jurnalis dipenjara di seluruh Afrika, yang mencerminkan masih perlunya perjuangan berkelanjutan di benua itu untuk mencapai kebebasan pers, menurut sebuah laporan yang dirilis pada Kamis (16/1).

Kasus-kasus di Afrika berkontribusi pada total 361 jurnalis yang dipenjara secara global per 1 Desember 2024, menurut Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ). Ini merupakan angka tertinggi kedua yang pernah dicatat CPJ.

Muthoki Mumo, koordinator program Afrika di CPJ, mengatakan laporan tersebut menyoroti tren global di mana rezim-rezim otoriter mempersenjatai undang-undang yang merugikan jurnalis, menggunakan undang-undang keamanan nasional, anti-teror, dan kejahatan dunia maya untuk membenarkan tindakan keras mereka.

Meskipun tren semacam itu tidak hanya terjadi di Afrika, benua tersebut telah menyaksikan kasus-kasus mengkhawatirkan di mana jurnalis menghadapi tuntutan berdasarkan undang-undang tersebut, kata Mumo. Negara-negara itu, termasuk Burundi, Ethiopia dan Nigeria, menggunakan undang-undang yang ditujukan untuk keselamatan publik untuk mengkriminalisasi jurnalisme, kata Mumo.

Di Nigeria, “Ada empat jurnalis yang berada di balik jeruji besi yang dituntut berdasarkan undang-undang kejahatan dunia maya sehubungan dengan pemberitaan mereka mengenai korupsi,” kata Mumo kepada VOA dalam sebuah wawancara video.

Dan di Ethiopia, enam jurnalis berada di balik jeruji besi. “Lima dari mereka menghadapi tuntutan berdasarkan undang-undang anti-terorisme. Mereka berpotensi menghadapi hukuman yang sangat berat jika dinyatakan bersalah,” kata Mumo.

Tren lainnya, kata kelompok advokasi media itu, adalah penggunaan undang-undang yang tidak jelas dan luas untuk menarget jurnalis.

Di Burundi, Sandra Muhoza, reporter media online, La Nova Burundi, dihukum berdasarkan undang-undang keamanan nasional setelah memposting pesan WhatsApp. Kasus tersebut, kata Mumo, merupakan contoh nyata kriminalisasi jurnalisme.

Muhoza baru-baru ini divonis bersalah karena dinyatakan berusaha “merusak 'integritas wilayah nasional' – istilah yang sulit diinterpretasikan – tetapi pada dasarnya, ini adalah ketentuan dalam undang-undang Burundi tentang keamanan nasional dan hal ini digunakan terhadap jurnalis ini,” kata Mumo.

VOA mengirimkan pesan kepada juru bicara pemerintah Burundi, Jerome Niyonzima, bersama dengan menteri layanan komunikasi Ethiopia, Legesse Tulu dan menteri informasi Eritrea, Yemane Gebremeskel, untuk meminta komentar, namun pertanyaan tidak dijawab. Kedutaan Besar Nigeria di Washington belum menanggapi permintaan komentar VOA.

Negara dengan jumlah tahanan jurnalis terbanyak di benua ini adalah nama-nama yang familiar, dengan Mesir berada di puncak daftar sebagai negara dengan pemenjaraan terburuk bagi jurnalis, dengan 17 orang yang ditahan. “Di Mesir, kita telah melihat undang-undang anti-pemerintah diterapkan pada media,” kata Mumo.

Eritrea, yang terkenal dengan penahanan jurnalisnya yang berlangsung lama, berada di urutan berikutnya, dengan 16 jurnalis yang dipenjara – beberapa di antaranya sejak tahun 2001. Di Eritrea, banyak jurnalis dipenjara tanpa pernah melalui proses pengadilan. [ab/jm]

Forum

XS
SM
MD
LG