Dalam Rapat Terbatas di Istana Negara, Jakarta, Senin (14/8) Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan ada beberapa faktor utama penyebab memburuknya kualitas udara di Jabodetabek, termasuk musim kemarau selama tiga bulan terakhir yang menyebabkan peningkatan konsentrasi polutan tinggi.
“Lalu adanya pembuangan emisi dari transportasi, dan juga aktivitas industri di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) terutama yang menggunakan batu bara di sektor industri manufaktur,” ungkap Jokowi.
Ia pun menginstruksikan jajarannya untuk menggelar berbagai strategi untuk memperbaiki kualitas udara di Jabodetabek. Pertama, merekayasa cuaca untuk memancing hujan di kawasan Jabodetabek. Kedua, melakukan percepatan regulasi penerapan batas emisi EURO 5 dan EURO 6 di Jabodetabek. Ketiga, memperbanyak ruang terbuka hijau.
Opsi bekerja dari rumah atau work from home (WFH) bagi pihak swasta juga turut dipertimbangkan untuk menekan polusi. Sebelumnya kebijakan tersebut sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dengan porsi 50 persen pekerjaan dilakukan di rumah. Diharapkan kementerian/lembaga dan pemda lain juga bisa menerapkan kebijakan tersebut.
“Dalam jangka menengah, konsisten melaksanakan kebijakan mengurangi penggunaan kendaraan berbasis fosil dan segera beralih ke transportasi massal. Saya kira bulan ini LRT (light rail transit)segera dioperasikan, MRT (mass rapid transit) juga sudah beroperasi, kemudian kereta cepat bulan depan sudah beroperasi, dan juga percepatan elektrifikasi kendaraan umum dengan bantuan pemerintah,” jelasnya.
Sementara itu dalam jangka panjang, kata Jokowi, pemerintah berupaya untuk memperkuat aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Selain itu, pihaknya juga akan melakukan pengawasan terhadap sektor industri dan pembangkit tenaga listrik di Jabodetabek, serta secara terus menerus mengedukasi masyarakat terkait polusi udara. .
Uji Emisi Kendaraan Diperketat
Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) Siti Nurbaya mengatakan, faktor utama penyebab memburuknya kualitas udara di Jabodetabek bersumber dari kendaraan bermotor. Berdasarkan catatan yang dimilikinya setidaknya ada 24,5 juta kendaraan yang berseliweran di Jabodetabek pada 2022. Sebanyak 19,2 juta di antaranya merupakan kendaraan roda dua.
Untuk menekan polusi udara pihaknya akan memperketat uji emisi kendaraan dengan melakukan razia yang bekerja sama dengan Dinas Perhubungan dan pihak kepolisian. Menurutnya, hal ini penting untuk dilakukan karena kesadaran masyarakat terutama di DKI Jakarta untuk melakukan uji emisi kendaran masih rendah, yakni berkisar 3-10 persen.
“Jadi uji emisi ini merupakan cara yang memaksa pemilik kendaraan untuk melakukan inspeksi dan perawatan terhadap kendaraannya sendiri. Uji emisi merupakan langkah yang sangat cepat dan perlu dilakukan dan hasil akan segera dirasakan,” ungkap Siti.
Kewajiban uji emisi ini, katanya juga akan dilakukan terhadap kendaraan dinas kementerian/lembaga dan pemda. Selain itu, lulus uji emisi ini nantinya akan dijadikan persyaratan untuk melakukan perpanjangan STNK dan pembayaran pajak kendaraan.
“Jadi diperketat uji emisinya. Kalau tidak memenuhi akan terkena pajak denda. Kalau sudah dua kali (tidak lulus uji emisi) terpaksa di denda, ya kendaraannya terpaksa dikeluarkan dari daftar di Samsat (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap). Jadi ada langkah teknis yang sedang kita siapkan," ujar Siti.
"Ada kemungkinan konversi ke motor listrik karena kalau dia tidak dicatat di Samsat lagi artinya kendaraannya tidak bisa dipakai,” jelasnya.
Dalam kesempatan ini, Siti juga membantah kabar bahwa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara menjadi salah satu penyumbang besar memburuknya kualitas udara di Jabodetabek. Menurutnya, pembangkit listrik tersebut hanya berpengaruh kurang dari satu persen terhadap memburuknya kualitas udara di ibu kota dan sekitarnya ini.
“Sudah confirmed, berdasarkan studinya PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan KLHK bahwa dugaan polusi udara karena PLTU Suryalaya kurang tepat. Sebab hasil analisis uap pencemarannya itu bergeraknya tidak ke arah Jakarta, tapi ke Selat Sunda. Tetapi memang Dirut PLN melaporkan bahwa ada pembangkit individual yang kecil dan tersebar. dan ini arahan bapak Presiden harus didalami. Jadi penggunaan PLTU batu bara yang berpengaruh ke pencemaran udara di Jabodetabek tidak sampai satu persen,” tuturnya.
Juru Kampanye Kota Isu Urban Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Abdul Ghofar mengapresiasi beberapa solusi substansial yang dikemukakan oleh pemerintah dalam rangka menekan polusi tersebut.
Namun, katanya masih ada beberapa solusi yang tidak menjawab dan menyelesaikan persoalan. Pertama, katanya yang terkait dengan pengetatan uji emisi untuk kendaraan terbaru dengan standar EURO 5 dan EURO 6, serta uji emisi berkala untuk kendaraan lama.
Menurutnya, dengan pengalaman sebelumnya yang menerapkan batas uji emisi kendaraan EURO 4 untuk kendaraan terbaru yang hanya menunjukkan tingkat kepatuhan kurang dari 10 persen saja, ia sanksi bahwa peraturan ini akan efektif. Hal ini ditambah dengan keluhan masyarakat yang harus membayar sekitar Rp200 ribu untuk uji emisi kendaraan tersebut.
Lebih jauh, Ghofar menegaskan apakah dalam jangka panjang pemerintah berani berhadapan dengan industri otomotif untuk melakukan moratorium penjualan kendaraan, karena sektor transportasi merupakan salah satu penyumbang terbesar memburuknya polusi udara tersebut.
“Apakah pemerintah berani berhadapan dengan industri otomotif yang selama ini memiliki peran besar untuk men-drive kebijakan pengendalian polusi udara Jakarta? Jangan-jangan orientasi kebijakannya masih kendaraan tetap banyak, yang penting standar emisinya EURO 5 dan 6. Tapi kalau kendaraannya banyak menurut saya masih saja,” ungkap Ghofar.
“Seharusnya kalau spesifik mau melakukan pengendalian pencemaran harus berani bicara soal moratorium kendaraan. Meniru pengalaman China, pada 2013 mereka punya polusi udara yang sangat parah di mayoritas kota-kota besarnya, lalu mereka bikin rencana aksi nasional. dengan anggaran yang cukup dan road map yang spesifik. Selama lima tahun mengurangi sekian persen polusi udara dengan cara pembatasan kendaraan, pensiun PLTU kemudian berfokus pada pengendalian pencemaran udara di kota-kota besar termasuk dari sumber kawasan industri, transportasi maupun industri energi,” tambahnya.
Selanjutnya, WALHI juga mengkritisi kebijakan subsidi untuk kendaraan listrik pribadi baik roda dua maupun roda empat yang digelontorkan oleh pemerintah sebesar Rp7 triliun. Menurutnya, subsidi tersebut bisa dialihkan untuk melakukan percepatan perbaikan transportasi publik yang lebih terintegrasi dengan masuk ke pemukiman masyarakat.
“Bauran energi kita masih bersumber pada fossil fuel. Artinya, jika elektrifikasi kendaraan berlangsung secara masif, ya sama saja konsumsi energi yang masih bersumber dari energi fosil akan naik. Jadi kendaraannya rendah emisi tapi sumber energinya masih tinggi emisi. Perbaikan transportasi publik iya, elektrifikasi transportasi publik iya, nambah armada dan koridor iya, tapi berlangsung beriringan sekaligus dengan transisi energi dimana sumber pembangkit yang punya kontribusi sekian persen terhadap polusi itu juga perlahan-lahan dipensiunkan,” pungkasnya. [gi/ab]
Forum