Tautan-tautan Akses

KPU Didesak Patuhi Pengaturan Keterwakilan Perempuan


Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) mendesak KPU agar merevisi aturan tentang keterwakilan perempuan (VOA/Fathiyah).
Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) mendesak KPU agar merevisi aturan tentang keterwakilan perempuan (VOA/Fathiyah).

Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk merevisi aturan tentang keterwakilan perempuan yang dinilai bertentangan dengan konstitusi, UU pemilu dan semangat memastikan keterwakilan perempuan. 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 17 April lalu mengeluarkan peraturan No.10 tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota, yang mengatur pembulatan ke bawah jika hasil perhitungan 30 persen dari jumlah alokasi kursi menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.

Aturan baru ini menurut perwakilan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan Valentina Sagala dalam jumpa pers, Senin, (8/5) berpotensi mengurangi jumlah caleg perempuan pada Pemilu 2024 dan dinilai tak selaras dengan Pasal 245 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mensyaratkan 30 persen keterwakilan perempuan.

Audiensi Sebelum Mulai Upaya Hukum

Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan yang mencakup Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Puskapol UI hari Senin (8/5) melakukan audiensi dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk meminta lembaga itu menerbitkan rekomendasi kepada KPU agar segera merevisi aturan tersebut.

Menurut Valentina, jika dalam waktu 2x24 jam Bawaslu tidak menerbitkan rekomendasi kepada KPU, maka pihaknya akan melakukan sejumlah upaya hukum untuk menuntut pemulihan hak politik perempuan berkompetisi pada pemilu 2024 dengan melaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan juga uji materi ke Mahkamah Agung.

“Salah satu klausul dalam PKPU tersebut yaitu pasal 8 ayat 2 huruf b, kami nyatakan bertentangan dengan konsitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UU pemilu serta semangat memastikan keterwakilan perempuan,” tegas Valentina.

Aturan Baru KPU Justru Kurangi Keterwakilan Perempuan

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menilai yang selama ini disampaikan oleh KPU hanya menempatkan Pasal 8 ayat 2 huruf (b) sebagai rumus matematika yang digunakan secara internasional, tetapi melepaskannya dari konteks bahwa undang-undang mewajibkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap daerah perempuan.

"Pasal 8 Ayat 2 huruf (b) dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 berdampak pada berkurangnya keterwakilan perempuan atau kurangnya keterwakilan perempuan dari 30 persen paling sedikit di setiap dapil (daerah pemilihan)," ujar Titi.

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini. (Dokumentasi: Titi)
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini. (Dokumentasi: Titi)

Berdasarkan simulasi yang dilakukan KPU, tambahnya, maka keterwakilan perempuan akan kurang dari 30 persen di daerah pemilihan yang hanya memiliki bakal calon anggota legislatif berjumlah 4, 7, 8, dan 11 orang.

Jika disimulasikan dengan kursi DPR, maka dari 84 daerah pemilihan di Indonesia, ada 38 daerah pemilihan di Indonesia di mana calon anggota legislatif perempuan tidak memiliki keterwakilan 30 persen.

Hal ini belum termasuk DPR Provinsi yang memiliki ratusan daerah pemilihan serta DPRD Kabupaten/Kota yang mempunyai ribuan daerah pemilihan. Walhasil, menurut Titi, akan ada ribuan perempuan kader politik yang terdampak oleh Pasal 8 ayat 2 huruf (b) Peraturan KPU Nomor 10 tahun 2023.

Urgensi Keterwakilan Perempuan

Dalam kesempatan yang sama Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mantan anggota Dewan perwakilan Rakyat (DPR), menyebutkan realitasnya perempuan Indonesia masih hidup di dalam negara yang menganut sistem patriarki. Jika seorang perempuan mau terjun ke ranah politik, harus mendapat izin dari suami, bapak, atau tokoh yang dituakan di keluarga.

"Harus ada dorongan dari partai-partai. Walaupun semua partai saya yakin akan menyatakan mendukung 30 persen keterwakilan perempuan, mendukung perempuan terlibat dalam politik, dan seterusnya, tapi tidak semua partai memiliki aturan yang sesuai dengan aturan yang berlaku untuk adanya 30 persen perempiuan di struktur (partai)," tutur Rahayu Saraswati.

Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) mendesak KPU agar merevisi aturan tentang keterwakilan perempuan (VOA/Fathiyah).
Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) mendesak KPU agar merevisi aturan tentang keterwakilan perempuan (VOA/Fathiyah).

Mencari calon anggota legislatif perempuan masih menjadi pekerjaan rumah yang besar, dan sedianya peraturan KPU tidak bertentangan dengan undang-undang yang mewajibkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di lembaga legislatif, tambah Sarah. Keterwakilan perempuan ini dinilai sangat penting untuk memberikan perspektif perempuan dalam membuat perundang-undangan.

Bawaslu Akan Berkoordinasi dengan KPU

Dalam jumpa pers terpisah, anggota Bawaslu Lolly Suhenty menjelaskan pihaknya berkomitmen untuk berkoordinasi dengan KPU agar bersedia menerima atau merespon berbagai masukan dari masyarakat.

"Kami juga berkomitmen untuk memastikan ada solusi yang terbaik karena memang (peraturan KPU) tidak boleh melampaui undang-undang. Setelah kami bertemu dengan sahabat-sahabat itu (MPKP), kami alngsung berkoordinasi dengan DKPP supaya nanti dalam waktu sesingkat-singkatnya ada (pertemuan) triparti antara DKPP, Bawaslu, dan KPU berkenaan dengan situasi yang telah disampaikan," kata Lolly.

KPU Didesak Patuhi Pengaturan Keterwakilan Perempuan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:58 0:00

Bawaslu berharap proses menuju perbaikan itu dapat berjalan tanpa mengganggu tahapan pemilu, karena tahap pencalonan sudah berjalan. Bawaslu akan mendorong KPU untuk merespon masukan MPKP dan merevisi Pasal 8 ayat 2 huruf (b) tersebut.

Dia berharap melangsungkan pertemuan dengan DKPP, Bawaslu dan KPU dalam satu dua hari untuk membahas tuntutan revisi Pasal 8 ayat 2 huruf (b) dari MPKP.

KPU: Aturan Baru Sudah Lalui Sejumlah Proses

KPU sebelumnya mengatakan penerbitan ketentuan ini sudah mengikuti sejumlah proses, termasuk rapat konsultasi di DPR RI dan uji publik ketika Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 masih berstatus rancangan. [fw/em]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG