Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan penyidikan kasus jual beli jabatan yang melibatkan Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat akan dilanjutkan oleh Bareskrim Polri.
Menurutnya, KPK akan melakukan supervisi kepada kepolisian untuk penyelesaian kasus ini. Ia mengingatkan kepada seluruh kepala daerah agar belajar dari kasus ini dengan tidak melakukan tindak pidana korupsi.
"Penyelesaian penanganan perkara ini akan dilakukan oleh Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Mabes Polri," jelas Lili Pintauli Siregar dalam konferensi pers daring, Senin (10/5/2021).
Lili menuturkan kasus ini bermula dari laporan masyarakat tentang dugaan peenrimaan hadiah atau janji dalam pengisian jabatan desa atau Camat di Nganjuk pada akhir Maret lalu. Laporan serupa juga diterima Bareskrim Mabes Polri. Untuk menghindari tumpang tindih, KPK bersama Polri kemudian sepakat untuk bekerja sama menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut.
Tujuh Tersangka
Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Mabes Polri Brigjen Djoko Poerwanto menjelaskan polisi telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Bupati Nganjuk, Ajudan bupati Nganjuk, empat camat, dan mantan camat. Aparat juga menyita sejumlah barang bukti berupa uang Rp 647.900.000, delapan unit telepon genggam, dan satu buku tabungan.
"Modus operandinya, para camat memberikan sejumlah uang kepada Bupati Nganjuk melalui ajudan bupati terkait mutasi dan promosi jabatan mereka," jelas Djoko Poerwanto.
Djoko menambahkan para tersangka diancam dengan sejumlah pasal Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun ancaman hukumannya beragam mulai dari satu tahun penjara hingga seumur hidup dengan denda mulai Rp250 juta hingga Rp 1 miliar.
Pelimpahan Perkara Tak Lazim
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menilai pelimpahan kasus KPK kepada Polri tidak lazim dilakukan. Ia beralasan penyelidikan dan OTT terhadap Bupati Nganjuk ini sejak awal dilakukan oleh KPK. Karena itu, ia mempertanyakan motivasi KPK melimpahkan kasus ini kepada Polri.
"Ada juga yang melihat, misalnya apakah ini ada kaitannya dengan upaya mendelegitimasi kerja-kerja tim KPK yang kebetulan di antara mereka masuk dalam 75 orang yang tidak lolos alih fungsi ASN," jelas Adnan kepada VOA, Senin (10/5) malam.
Adnan menambahkan keputusan ini akan menambah ketidakpercayaan publik kepada KPK. Apalagi, kata dia, orang yang ditangkap merupakan pejabat publik yang menjadi ranah KPK dalam penegakan hukum.
Ia juga meragukan profesionalitas Polri dalam pengusutan kasus yang melibatkan bupati. Sebab dalam pantauan ICW pada tahun lalu, sebagian besar kasus yang ditangani Polri merupakan kepala desa.
Adnan juga khawatir penanganan kasus yang dilakukan Polri akan menjadi lama karena harus dilimpahkan terlebih dahulu ke kejaksaan sebelum masuk pengadilan. Berbeda dengan KPK yang proses penyidikan dan penuntutan dapat dilakukan secara langsung oleh lembaga antirasuah tersebut.
"Dan tidak ada alasan bagi KPK, misal, kasusnya sedang mengantre sehingga harus ditangani aparat penegak hukum lainnya." [sm/em]