Delapan belas kasus lama yang merugikan negara dalam jumlah besar yang dinilai belum berhasil diselesaikan KPK sepanjang 2015-2019, antara lain kasus Bank Century, kasus Wisma Atlet di Hambalang, kasus suap pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia, kasus proyek SKRT Kementerian Kehutanan, dan kasus hibah kereta dari Jepang di Kementerian Perhubungan.
Dalam diskusi bertema Evaluasi Kinerja KPK 2015-2019 di kantor ICW di Jakarta, Minggu (12/5), peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan ICW secara khusus memperhatikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara sebesar Rp 4,58 triliun. Kasus BLBI menjadi fokus karena ada isu kedaluwarsa masa penuntutan.
"Kalau kita melihat dalam kasus yang sudah melibatkan Syafruddin Arsyad Tumenggung, (mantan) Kepala Badan penyehatan Perbankan Nasional, hanya satu-satunya pelaku korupsi BLBI yang baru ditangani oleh KPK. Padahal dalam vonis Syafruddin Arsyad Tumenggung, hakim sudah menyebutkan yang bersangkutan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Sjamsul Nursalim, Itjih Nursalim, dan Dorodjatun," papar Kurnia.
Padahal, menurut ICW, bukti yang sudah dihadirkan dalam persidangan sebenarnya sudah cukup kuat bagi KPK untuk menetapkan ketiga orang tersebut sebagai tersangka.
ICW memperingatkan ada batas waktu 18 tahun sebelum kasus BLBI kedaluwarsa. Dihitung dari penerbitan surat keterangan lunas diberikan kepada Sjamsul Nursalim pada 2004, maka pada 2022 KPK tidak diperkenankan lagi menuntut kasus tersebut.
Kritik KPK
Menurut catatan ICW, KPK tidak terlalu memusatkan perhatian pada pengambilalihan aset. Padahal ini sangat penting karena jika korupsi mengakibatkan kerugian negara, maka ada Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dapat digunakan untuk pengambilalihan aset.
Kurnia menambahkan banyak kasus korupsi dimana KPK belum masuk ke pasal pencucian uang tapi sebenarnya dalam persidangan sudah mulai terbuka ada unsur-unsur pencucian uang dalam kasus itu. Dia mencontohkan mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto dalam kasus Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik.
Sampai hari ini, KPK belum juga menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka dalam tindak pidana pencucian uang. Padahal dalam persidangan, ketika membacakan tuntutan, jaksa KPK sudah menyebutkan tindak pidana korupsi Setya Novanto adalah tindak pidana korupsi beraroma pencucian uang, karena ada aliran dana ke beberapa negara.
Pidana Pencucian Uang
ICW memantau selama 2016-2018 terdapat 313 perkara korupsi disidangkan, tetapi yang didakwa dengan tindak pidana pencucian uang hanya 15 kasus. ICW meminta KPK nantinya jangan sampai hanya fokus pada pemidanaan penjara tanpa berupaya mengembalikan uang atau aset negara yang telah dirampok pelaku korupsi.
Namun demikian ICW memuji kinerja KPK di era kepemimpinan Agus Raharjo karena berhasil menjadikan lima korporasi sebagai tersangka dalam kasus korupsi.
Data ICW menunjukkan selama 2015-2019 tuntutan hukuman penjara diajukan oleh KPK terhadap para terdakwa korupsi rata-rata lima tahun tujuh bulan. Padahal beberapa pasal di KPK memungkinkan terdakwa korupsi bisa dihukum 20 tahun dan bahkan seumur hidup.
Kurnia mengungkapkan mayoritas pasal yang dikenakan oleh KPK adalah pasal 5 Undang-undang Nomor 15 tentang Tindak Pidana Korupsi yang hukuman maksimalnya lima tahun penjara. Padahal masih ada pasal 12 yang memungkinkan pelaku suap bisa divonis empat tahun dan maksimal 20 tahun penjara.
Selama 2016-2018, KPK telah menuntut 88 terdakwa dari kalangan politisi tapi hanya 42 terdakwa yang dituntut agar dicabut hak politiknya.
Pembentukan Panitia Seleksi Pimpinan KPK
Kurnia menekankan ICW ingin mendorong agar pemerintah fokus membentuk panitia seleksi pimpinan KPK untuk periode 2019-2023. Mengacu pada 2015, Presiden Joko Widodo mengumumkan sembilan anggota panitia seleksi pada pekan ketiga Mei. Namun ICW pesimistis panitia bisa dibentuk karena pemerintah masih memusatkan perhatian pada penghitungan hasil perolehan suara Pemilihan Umum 2019.
Jika panitia seleksi dibentuk terlalu lama, menurut Kurnia, akan mengganggu proses seleksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Apalagi DPR periode baru memerlukan dua sampai tiga bulan untuk bisa membahas uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK mendatang.
TII : Arah Pemberantasan Korupsi Sudah Tepat
Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nichola mengatakan arah pemberantasan korupsi di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir sudah tepat. Ini tampak dari membaiknya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia, meski berjalan lambat. IPK Indonesia naik dari 34 menjadi 38 tahun lalu.
Menurut Alvin lambatnya kenaikan nilai IPK Indonesia karena korupsi masih marak terjadi sektor politik dan penegakan hukum. Kemungkinan besar target Ketua KPK Agus Rahardjo untuk mencapai nilai IPK 50 tidak akan terkejar sebab masa jabatan pimpinan KPK periode ini akan berakhir pada Desember mendatang.
"Korupsi ternyata dalam lima tahun terakhir di era kepemimpinan Pak Agus Raharjo masih marak terjadi di sektor anggaran, pengadaan barang dan jasa, lisensi, lemahnya penegakan hukum. Dan juga kalau kita melihat konteks kolusi, juga masih banyak terpantau di sektor privat dan birokrasi maupun juga legislator," ujar Alvin.
TII, lanjut Alvin juga melihat KPK dari konteks sumber daya manusia dan keuangan, masih sangat kurang. Dia berpendapat alokasi anggaran untuk KPK saat ini masih hanya 0,003 persen dari total nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Padahal, menurut kajian global Transparency International, anggaran bagi badan antikorupsi harusnya minimal 0,5 persen dari total nilai APBN. Meski begitu ternyata realisasi penyerapan anggaran oleh KPK masih belum maksimal, di kisaran 85,93 persen.
KPK Masih Kekurangan SDM
Evaluasi terhadap sumber daya manusia di KPK, kata Alvin, adalah masih kurangnya manajemen dan tata kelola sumber daya manusia. Hal ini dilihat dari belum selesainya penyusunan cetak biru sumber daya manusia KPK. Selain itu juga muncul friksi dalam internal KPK.
Hal kedua yakni selama 15 tahun KPK berdirinya, ternyata lembaga antirasuah tersebut masih kekurangan jumlah penyidik dan keahliannya. Sejauh ini KPK memiliki 48 penyidik dari pegawai KPK dan 56 penyidik dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Poin ketiga yaitu ada friksi antara penyidik internal KPK dan penyidik dari Polri. Isu ketegangan internal ini meletup beberapa waktu lalu dan bahkan sampai muncul gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap keputusan promosi jabatan di internal KPK.
Ancaman Terhadap Whistle Blower Meningkat
Lebih lanjut Alvin mengungkapkan selama 2004 hingga 2017, TII mencatat ada seratus kasus ancaman penyerangan terhadap para pengungkap kasus korupsi. Pada periode 2015-2019 terdapat 57 kasus ancaman penyerangan terhadap para pembongkar perkara rasuah.
Karena itu, TII mendorong KPK untuk lebih serius bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam melindungi para pengungkap korupsi secara lebih maksimal.
KPK Tegaskan Komitmen Tuntaskan Kasus Korupsi
Sebelumnya, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menegaskan lembaganya sangat berkomitmen menuntaskan kasus-kasus korupsi yang ada.
Kami mengakui beberapa kasus membutuhkan waktu yang panjang untuk bisa sampai ke tingkat penyidikan dan ditingkat penyidikan butuh waktu untuk bisa sampai ke tingkat penuntutan”, ujar Febri.
Sementara soal jarangnya KPK menjerat tersangka korupsi dengan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian uang, Febri mengatakan KPK harus menemukan bukti-bukti yang cukup terlebih dahulu baru bisa mendakwa seseorang dengan tindak pidana pencucian uang. [fw/em]