Korea Selatan dan Korea Utara mencapai kesepakatan Selasa pagi (25/8) untuk meredakan konfrontasi terbaru di semenanjung Korea setelah tiga hari melakukan negosiasi yang menegangkan.
Tidak ada laporan tentang detil kesepakatan tersebut, tapi kantor Presiden Korea Selatan Park Geun-hye mengatakan akan segera mengeluarkan pengumuman.
Sebelumnya pada hari Senin, Presiden Park menuntut permintaan maaf dari tetangganya yang merupakan negara komunis karena mencederai penjaga perbatasan Korea Selatan dengan ranjau darat awal bulan ini. Seoul mengatkan tidak akan mematikan pengeras suara yang menyampaikan propaganda di perbatasan antara kedua negara Korea tersebut bila tidak menerima permintaan maaf. Korea Utara menolak bertanggungjawab atas insiden tersebut.
"Kami menuntut permintaan maaf dan tindakan yang jelas untuk memastikan provokasi dan situasi tegang seperti ini tidak terjadi lagi. Kalau tidak, pemerintah Korea Selatan akan mengambil langkah yang sepatutnya dan meneruskan siaran melalui pengeras suara," kata Park dalam sebuah pertemuan dengan wakil-wakil teratasnya.
Pembicaraan darurat di perbatasan Korea di desa gencatan senjata Panmunjom dimulai hari Sabtu tak lama setelah berakhirnya tenggat waktu yang diterapkan oleh Pyongyang kepada Seoul untuk menghentikan siaran audio ke Korea Utara atau mereka akan menghadapi serangan militer.
Negosiasi berlangsung selama tiga hari tanpa ada tanda-tanda kemajuan. Kedua pihak diwakili oleh pejabat militer dan diplomat tingkat tinggi.
Sekertaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, mantan menteri luar negeri Korea Selatan, mendorong kedua belak pihak untuk "menggandakan" upaya mereka untuk berkompromi.
Walaupun para pejabat belum secara resmi berkomentar selain mengatakan negosiasinya berlangsung dengan "tegang," kedua pihak tampaknya tidak ingin berkompromi dengan tuntutan publik yang dibuat untuk mengakhiri krisis saat ini.
Setelah menuduh Pyongyang menanam ranjau darat di zona demiliterisasi perbatasan bagian Korea Selatan yang melukai dua tentara, Seoul baru-baru ini meneruskan siaran anti-Pyongyang di daerah perbatasan untuk pertama kalinya setelah lebih dari 10 tahun.
Kedua negara Korea tersebut minggu lalu dilaporkan terlibat baku tembak di kawasan zona demiliterisasi dekat menara pengeras suara.
Korea Utara menyangkal keterlibatan mereka pada insiden tersebut dan menuntut dihentikannya siaran di perbatasan, dan menyebut siaran tersebut sebagai perang psikologis.
Kesiapan perang
Minggu lalu, pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mendeklarasikan "keadaan hampir perang." Kedua belah pihak sejak saat itu telah menurunkan pasukan dan persenjataan mereka untuk meningkatkan kesiapan militer dan bersiap untuk kemungkinan konfrontasi.
Korea Selatan juga telah melaporkan pergerakan pasukan dan kapal selam yang tidak biasa di Korea Utara. Pyongyang telah memindahkan 70 persen kapal selamnya dari pangkalan mereka dan kapal-kapal tersebut sekarang tidak bisa dideteksi keberadaannya, menurut Kementerian Pertahanan Korea Selatan. Seorang juru bicara kementerian pada hari Minggu menyebutkan gerakan tersebut sebagai "belum pernah terjadi sebelumnya."
Korea Utara juga telah melipatgandakan kekuatan artileri di garis depan perbatasan dengan Korea Selatan, menurut Korea Selatan.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Kim Min-seok pada hari Senin mengindikasikan Korea Selatan dan AS mempertimbangkan membawa lebih banyak aset militer AS yang diletakkan di kawasan tersebut.
“Korea Selatan dan AS terus-menerus memperhatikan situasi krisis di semenanjung Korea dan mengkaji ulang penentuan waktu penempatan aset militer strategis AS," ujarnya.
Amerika Serikat memiliki 28.000 tentara yang ditempatkan di Korea Selatan dan saat ini sedang melakukan latihan militer gabungan dengan Korea Selatan.
Korea Utara mengutuk latihan tersebut dan menuduhnya sebagai latihan untuk menyerang.
Pada hari Sabtu, delapan jet tempur Korea Selatan dan Amerika melakukan simulasi pengeboman di kawasan Korea Selatan sebagai "pamer kekuatan" melawan ancaman-ancaman Pyongyang.
Permainan yang berbahaya
Pertemuan darurat yang dimulai hari Sabtu adalah dialog tingkat tinggi pertama antara kedua negara Korea tersebut sejak bulan Februari 2014.
Sebuah pertemuan darurat untuk menanggapi krisis menggarisbawahi pola perilaku diplomatik yang diterapkan oleh pemimpin-pemimpin Korea Utara sebelumnya, Kim Il Sung dan anaknya, Kim Jong Il, yang sering menggunakan provokasi dan ancaman-ancaman untuk mencoba mencapai konsensi dan mendapatkan bantuan.
Dalam krisis ini muncul kekhawatiran bahwa Kim Jong Un yang masih muda dan tidak berpengalaman tidak punya ketrampilan diplomatik untuk menerapkan pola diplomasi ini, atau mempunyai kekuasaan yang cukup untuk berkompromi bila dibutuhkan.
Seoul juga semakin enggan untuk menawarkan kelonggaran kepada Pyongyang di bawah Presiden Park, dan militer Korea Selatan telah diberikan perintah untuk menanggapi situasi dengan kekuatan, sejak serangan artileri Korea Utara pada tahun 2010 yang mengejutkan Korea Selatan dan menewaskan empat orang.
Kementerian Pertahanan Korea Selatan mengatakan kebijakan negaranya adalah menanggapi dengan proporsional provokasi Korea Utara untuk menunjukkan keteguhan tanpa meningkatkan konflik.
Youmi Kim di Seoul berkontribusi untuk laporan ini.