Tautan-tautan Akses

KontraS Mencatat Ada 80 Kasus Penyiksaan dalam Setahun Terakhir


Seorang mahasiswa saat melakukan aksi unjuk rasa pelanggaran HAM, korupsi dan tindakan sosial dan lingkungan, Jakarta, 28 Oktober 2019. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
Seorang mahasiswa saat melakukan aksi unjuk rasa pelanggaran HAM, korupsi dan tindakan sosial dan lingkungan, Jakarta, 28 Oktober 2019. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat setidaknya ada 80 kasus penyiksaan, perlakuan atau penghukuman tidak manusiawi sepanjang Juni 2020 hingga Mei 2021.

Riset Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menunjukkan praktik penyiksaan masih terjadi di Indonesia. Peneliti KontraS Rozy Brilian mengatakan setidaknya ada 80 kasus penyiksaan sepanjang Juni 2020 hingga Mei 2021. Kepolisian menjadi aktor utama penyiksaan dengan 36 kasus, disusul Kejaksaan 34 kasus dan TNI tujuh kasus.

Menurutnya, terdapat dua motif penyiksaan yang diharapkan pelaku, yaitu mendapat pengakuan dan sebagai bentuk penghukuman kepada korban. Sedangkan alat penyiksaan yang kerap digunakan, yaitu tangan kosong, benda keras, listrik, rokok dan senjata api.

"Berdasarkan pemantauan media yang kami lakukan, benda keras menjadi instrumen dominan dalam melakukan penyiksaan sebanyak 42 peristiwa. Benda keras itu seperti pentungan dan tameng," jelas Rozy dalam konferensi pers daring, Jumat (26/6).

Seorang mahasiswa memegang poster saat memprotes RUU Reformasi Tenaga Kerja di Jakarta, 20 Oktober 2020. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)
Seorang mahasiswa memegang poster saat memprotes RUU Reformasi Tenaga Kerja di Jakarta, 20 Oktober 2020. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Rozy menambahkan penyiksaan tersebut dialami 182 korban, dengan rincian 166 korban luka dan 16 korban tewas. Kasus penyiksaan tertinggi terjadi di Aceh (34 kasus), disusul Papua (7 kasus), dan Sumatera Utara (5 kasus). Adapun bentuknya beragam mulai dari penyiksaan dalam tahanan, salah tangkap, hingga tindakan tidak manusiawi.

Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti. (Foto: Courtesy/KontraS)
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti. (Foto: Courtesy/KontraS)

Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti menjelaskan terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan praktik penyiksaan terus berulang. Antara lain lemahnya pengawasan, pembiaran atasan, dan impunitas pelaku penyiksaan.

Fatia juga menyoroti hukum positif Indonesia juga belum mengakomodir tindakan penyiksaan yang dilakukan aparat penegak hukum. Menurutnya, mayoritas kasus penyiksaan yang dilakukan aparat hanya dijerat tindak pidana penganiayaan biasa. Selain itu, sebagian masyarakat masih mendukung aparat melakukan tindakan penyiksaan dengan motif penghukuman, seperti dalam kasus pelaku begal.

"Hari ini Indonesia masih menerapkan tindakan penyiksaan masuk dalam kategori penyiksaan. Padahal definisi keduanya berbeda sehingga hukumannya ringan atau dimutasi saja," jelas Fatia.

KontraS mendorong institusi yang masih melakukan penyiksaan agar membuka diri untuk evaluasi secara menyeluruh dengan melibatkan pengawasan eksternal. Selain itu, KontraS juga mendorong pemerintah segera merumuskan Undang-undang mengenai praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi.

Juru bicara Polri Argo Yuwono saat memberikan keterangan pers di Jakarta pada Senin (16/11/2020). (Foto: VOA)
Juru bicara Polri Argo Yuwono saat memberikan keterangan pers di Jakarta pada Senin (16/11/2020). (Foto: VOA)

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan belum mendapat laporan dari KontraS terkait penyiksaan yang menyebut polisi sebagai aktor dominan. Menurutnya, kepolisian perlu mengetahui apa saja yang ada dalam laporan tersebut.

Sementara Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan pemerintah berkomitmen untuk melakukan pencegahan praktik penyiksaan. Kata dia, komitmen tersebut sejalan dengan Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan hak untuk tidak disiksa adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Aturan serupa juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Ia menyebut pemerintah juga memastikan langkah penegakan hukum akan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Seorang pengunjuk rasa duduk di sebelah spanduk bertuliskan "Aktivis penculikan 1997-1998, TNI harus bertanggung jawab, 20 Mei 2014. (Foto: AFP)
Seorang pengunjuk rasa duduk di sebelah spanduk bertuliskan "Aktivis penculikan 1997-1998, TNI harus bertanggung jawab, 20 Mei 2014. (Foto: AFP)

"Oleh karenanya, pemerintah menyambut baik laporan maupun kajian seputar pencegahan praktik penyiksaan dari organisasi masyarakat sipil sebagai bentuk upaya perbaikan dalam menjaga ekosistem hak asasi manusia ke depannya," jelas Jaleswari melalui keterangan tertulis kepada VOA, Sabtu (26/6).

Jaleswari menambahkan langkah preventif terkait praktik penyiksaan juga terus dilakukan melalui upaya pendidikan dan penyuluhan tentang HAM termasuk tentang pencegahan penyiksaan. Antara lain kepada aparat TNI dan Polri, serta Aparat Penegak Hukum dan Aparatur Sipil Negara, baik yang dilakukan oleh kementerian/lembaga, maupun melalui kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil.

Kontras Mencatat Ada 80 Kasus Penyiksaan dalam Setahun Terakhir
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:24 0:00

Ia menjelaskan sebagai salah satu langkah perbaikan ke depan, pemerintah juga tengah mengkaji beberapa langkah strategis yang dinilai dapat mendukung upaya menghilangkan praktik penyiksaan. Mulai dari kemungkinan pengaturan secara spesifik terkait penyiksaan dalam hukum nasional serta ratifikasi konvensi-konvensi internasional yang memiliki keterkaitan dengan upaya penghapusan praktik penyiksaan. [sm/ah]

Recommended

XS
SM
MD
LG