Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya menyesalkan terjadinya kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian, terhadap peserta aksi unjuk rasa penolakan pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Surabaya, pada 8 Oktober lalu.
Koordinator KontraS Surabaya, Rahmat Faisal, mengatakan telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang lewat sejumlah kekerasan, penangkapan, teror, dan intimidasi yang dilakukan aparat kepolisian terhadap massa yang berunjuk rasa. Polisi menangkap lebih dari 600 orang untuk dimintai keterangan, meskipun akhirnya dibebaskan kembali. Empat belas orang ditetapkan sebagai tersangka, di mana sebelas di antaranya pelajar.
Rahmat mengatakan pihaknya saat ini sedang melakukan pendampingan terhadap tiga tersangka anak yang menyerahkan kuasa hukumnya kepada KontraS.
“KontraS sedang mengusahakan soal diversi. Mengusahakan soal pembebasan tersangka anak, mengingat mereka harus bersekolah dan mereka masih mengalami trauma, mengalami luka-luka akibat pemukulan saat penangkapan,” kata Rahmat Faisal.
Tak hanya para pengunjuk rasa, wartawan yang sedang meliput juga sempat menjadi korban kekerasan aparat. Sedikitnya ada tujuh laporan upaya perampasan alat dan penghapusan dokumen, serta intimidasi yang dialami jurnalis.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Miftah Faridl, mengatakan kekerasan dan intimidasi yang dialami jurnalis ini, tampak dilakukan secara sadar atau sengaja, terstruktur, masif, dan dilakukan berulang. Pasalnya, polisi tahu persis identitas mereka.
Menurut Miftah, kekerasan terhadap wartawan yang meliput demo terjadi karena para jurnalis merekam banyak kekerasan yang dilakukan polisi terhadap para pedemo.
“Mereka berusaha menghilangkan barang bukti itu," ujar Miftah.
"Kenapa ini terus berulang, ini pertanyaan yang cukup sederhana sebenarnya untuk dijawab, karena adanya praktik impunitas, karena adanya praktik pengampunan, atau adanya praktik pengabaian yang dilakukan oleh negara, terhadap aksi-aksi kekerasan yang dilakukan terhadap jurnalis,” tukas Miftah Faridl.
AJI Surabaya mendesak Dewan Pers ikut bertanggung jawab atas pembiaran dan terus berlangsungnya aksi kekerasan terhadap jurnalis. Dewan Pers diminta bersikap tegas dengan melayangkan protes terhadap Kepolisian maupun Presiden. Selain itu, AJI Surabaya juga membuat surat terbuka kepada publik, agar siapa saja termasuk polisi rajin belajar dan membaca, sehingga memahami tugas dan fungsi pers yang dilindungi oleh aturan hukum.
Sementara pengajar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang Perdana Wiratraman, menyebut berulangnya kekerasan oleh polisi dalam menangani aksi unjuk rasa, memperlihatkan ketidakprofesionalan polisi dalam menjalankan tugasnya. Padahal aksi unjuk rasa sebagai bentuk dari kebebasan berekspresi di negara demokrasi ini dilindungi oleh undang-undang.
Herlambang mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengambil langkah konkret dalam menyelamatkan konstitusi, yang semakin banyak dilanggar oleh aparat penegak hukum itu sendiri. Pembiaran yang dilakukan, akan semakin menguatkan lahirnya otoritarianisme baru di Indonesia.
“Sekarang kalau pemimpin negara, Presiden bicara, kemudian itu tidak diikuti, maka sebenarnya kita sedang masuk fase barbarianism politic, politik barbar yang tidak pernah jelas ujungnya,” ujar Herlambang.
“Jadi, saya khawatir kalau ucapan atau komitmen politik dari Presiden itu, satu, tidak keluar, dua, kalau misalnya keluar tidak diikuti, maka sebenarnya kita sudah dalam fase menguatnya otoritarianisme di tanah air,” imbuhnya. [pr/em/ft]