Didukung ahli pangan dan gizi dari berbagai negara, konferensi internasional tentang tempe di Yogyakarta merekomendasikan agar tempe dan pangan berbasis tempe diperkenalkan pada anak-anak sejak usia enam bulan sebagai langkah strategis untuk investasi perbaikan gizi, kesehatan, ketahanan pangan, dan sosial ekonomi nasional.
Konferensi internasional mengenai tempe yang berakhir Selasa malam (17/2) di Yogyakarta itu ditutup dengan deklarasi tempe, bahwa tempe baik dan aman untuk dikonsumsi dan akan berdampak positif bagi gizi dan kesehatan manusia. Tempe juga direkomendasikan sebagai pelengkap MP-ASI (Makanan Pendamping ASI) dan bermanfaat untuk dikonsumsi pada usia selanjutnya.
Deklarasi itu disampaikan oleh Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia (PERMI), Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia (PERGIZI PANGAN), dan Konsorsium Bioteknologi Indonesia (KBI).
Para ahli itu merekomendasikan agar pemerintah mengembangkan pusat riset tempe terintegrasi. Mereka juga mengukuhkan bahwa tempe adalah pangan fermentasi asli Indonesia yang dikembangkan sejak awal abad ke-18 di Kasultanan Mataram yang meliputi Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ketua panitia konferensi, Profesor FG Winarno yang juga Guru Besar Ilmu Teknologi Pangan Universitas Atmajaya Jakarta mengatakan, para ahli pangan dan gizi akan menindaklanjuti Deklarasi Tempe Yogyakarta.
"Perhimpunan mikroba juga akan menentukan mana yang bagus untuk industri tempe agar tidak gagal, kemudian Vitamin B12 nya juga tinggi. Nanti bidang teknologi pangan juga akan mengutarakan bagaimana caranya kan tempe itu hanya 24 jam, setelah 24 jam busuk.
"Teknologi pangan harus memberikan jawaban-jawaban bagaimana caranya daya awet tempe bisa diperpanjang lebih dari dua hari, demikian juga untuk intervensi gizinya," ujarnya.
Jonathan Agranoff, dokter dan ahli gizi dari London mengkritik para ahli maupun pemimpin Indonesia yang tidak pernah mau mempromosikan tempe ke luar negeri. Padahal orang di seluruh dunia, khususnya para vegetarian mengenal dan suka tempe tetapi tidak tahu bagaimana membuatnya.
"(Pada) tingkat tertinggi pemerintah sebenarnya harus membawa nama tempe ke luar negeri. Dari pengalaman saya, orang Barat itu suka sekali tempe yang kualitas tinggi. Saya tidak menemukan orang di Inggris yang tidak suka dengan rasa tempe yang asli yang kualitasnya bagus. Kita juga harus lihat itu sumber dari kedelainya, ya itu harus diperhatikan dari sektor pertanian," ujarnya.
Rustono dari Grobogan, Jawa Tengah, yang sudah 16 tahun membuat dan menjual tempe mentah di Jepang, mengatakan ia perlu pendampingan ahli untuk memasarkan tempe di negara-negara maju.
“Di Jepang itu hari ini tidak apa-apa, besok bisa jadi masalah. Jadi selain dukungan dari para ilmuwan kita sendiri juga belajar mengenai hukum, misalnya. Dalam membuat tempe kita beri tanggal kadaluarsa. Dalam pembuatan, salah satu produk tempe itu kita pisahkan. Terus, apabila nanti ada orang mengeluh saya masih punya arsipnya sehingga masih bisa di cek di laboratorium dan ternyata tidak apa-apa," ujar Rustono, yang kini telah memiliki 560 distributor di seluruh Jepang dan melatih membuat tempe untuk orang-orang dari berbagai negara.
Juga ikut ambil bagian dalam konferensi tentang tempe adalah kelompok anak muda yang akan mempromosikan tempe melalui media sosial, salah satunya Amadeus Driando Ahnan yang tahun ini akan mulai kuliah di University of Massachusetts Amherst.
Sejumlah anak muda juga terlibat dalam kompetisi kreasi makanan berbahan tempe yang diselenggarakan bersamaan dengan konferensi internasional tentang tempe.