Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada Sabtu (27/7) menyampaikan dukungan pada jaksa penuntut umum yang akan mengajukan kasasi terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri Surabaya pada Rabu (24/7) yang membebaskan terdakwa Gregorius Ronald Tannur dari dakwaan penganiayaan dan pembunuhan kekasihnya.
Secara khusus Komnas Perempuan meminta Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial untuk memperhatikan dengan seksama dan mengawasi kasus ini guna memenuhi “hak atas keadilan dan pemulihan korban, dan keluarga korban.”
Gregorius Ronald Tannur, yang merupakan putra mantan anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa PKB Edward Tannur, sebelumnya didakwa Pasal 338, Pasal 351 ayat (3) dan Pasal 359 KUHP karena dinilai telah dengan sengaja menganiaya dan membunuh kekasihnya Dini Sera Afrianti secara sadis pada tanggal 3-4 Oktober 2023 lalu di sebuah tempat karaoke di Lenmars Mall, Surabaya.
Setelah menghadirkan sejumlah saksi dan bukti, termasuk bukti rekaman CCTV yang menunjukkan Gregorius Ronald melindas tubuh Dini Sera dengan mobilnya, jaksa penuntut umum M. Darwis menuntut hukuman 12 tahun penjara dan membayar restitusi sebesar Rp263,6 juta kepada keluarga korban atau ahli waris. Namun dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim PN Surabaya Erintuah Damanik mengatakan “terdakwa Gregorius Ronald tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana….”
Putusan ini sontak mengejutkan seluruh pengunjung sidang, termasuk keluarga Dini Sera, yang langsung mengatakan “akan melakukan upaya hukum.” Hal senada disampaikan salah seorang anggota tim jaksa penuntt umum, Harli, yang dengan tegas mengatakan “kejaksaan menyatakan kasasi terhadap putusan majelis hakim.” Hingga laporan ini disampaikan tim jaksa masih menunggu salinan putusan lengkap dari PN Surabaya.
Komnas Perempuan : “Putusan PN Surabaya Jadi Catatan Buruk Penegakan Hukum Kasus Kekerasan terhadap Perempuan”
Lewat pernyataan tertulis pada Minggu (28/7), Komnas Perempuan dengan tegas mengatakan putusan majelis hakim PN Surabaya “telah mencederai pemenuhan hak atas keadilan korban dan keluarganya, serta menjadi catatan buruk penegakan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan, dan semakin meneguhkan prasangka bahwa hukum tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah.”
Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani menyampaikan kekecewaan badan pemerintah itu terhadap putusan bebas tersebut karena peristiwa penganiayaan yang berakhir dengan kematian korban itu “menunjukkan proses yang disengaja untuk menimbulkan penderitaan fisik dan psikis luar biasa terhadap korban.” Berdasarkan keterangan saksi dan bukti yang dihadirkan ke sidang pengadilan, Tiasri dengan rinci menjabarkan bagaimana Gregorius Ronald memukuli korban sejak dari dalam ruang karaoke, ke ruang parkir, menempatkan korban dlam bagasi mobil, mengejek dan melindas korban dengan mobil, serta menunda membawa korban ke rumah sakit.
Tiasri mengatakan “ragam kekerasan yang dilakukan (Gregorius Ronald.red) dapat diketegorikan sebagai femisida, yaitu pembunuhan perempuan dengan alasan tertentu, atau pun karena ia (korban) perempuan, dalam relasi kuasa timpang berbasis gender terhadap pelaku.”
Sepanjang 2003 Ada 159 Kasus Berindikasi Femisida
Komnas Perempuan sejak 2017 telah memantau dengan seksama pemberitaan kematian perempuan di Indonesia, dan pada tahun 2023 mendapati 159 kasus berindikasi femisida. “Pantauan setiap tahun menempatkan femisida intim (intimate partner femicide IPF) – yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar, atau pasangan kohabitasi – sebagai jenis femisida tertinggi,” kata pernyataan Komnas Perempuan itu.
Lebih jauh diketahui bahwa pada tahun 2023, femisida intim mencapai 67% dari seluruh kasus femisida yang diberitakan media, termasuk dalam relasi pacarana sebagaimana yang terjadi pada Gregorius Ronald dan Dini Sera.
Dihubungi melalui telepon, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan “sistem hukum di Indonesia belum mengatur femisida sebagai tindak pidana tersendiri, tetapi tetap dapat dijangkau dengan pasal-pasal pembunuhan berencana, pembunuhan, penganiyaan yang mengakibatkan kematian, dan kelalaian yang mengakibatkan kematian.”
Hakim bahkan telah diberi panduan khusus untuk mengkaji berbagai bentuk ketidakadilan gender dan dampaknya lewat Perma No.3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Siti Aminah Tardi mengatakan “mengapresiasi penyidik dan jaksa penuntut umum yang telah mengonstruksikan kasus ini dengan dakwaan berlapis, dan menambahkan sanksi membayar restitusi pada keluarga korban atau ahli warisnya.” Ia berharap agar “pola penggabungan tuntutan pidana dan pembayaran ganti rugi ini dapat diadopsi oleh jaksa penuntut umum lainnya.”
Komisi Yudisial Turunkan Tim Investigasi
Juru bicara Komisi Yudisial Prof. Mukti Fajar Nur Dewata, dalam petikan video yang dibagikan kepada media, termasuk VOA, mengatakan meskipun belum ada laporan kepada Komisi Yudisial tentang kasus ini, “Komisi Yudisial tetap akan menurunkan tim investigasi untuk menyelidiki dugaan pelanggaran kode etik terhadap hakim yang menangani kasus Gregorius Ronald Tannur.” Komisi Yudisial juga menyerukan kepada publik dan media yang memiliki informasi dan bukti pendukung untuk segera melaporkan sehingga dapat ditindaklanjuti.
Lepas dari upaya hukum tim jaksa penuntut umum, kecaman keras Komnas Perempuan dan penyelidikan yang dilakukan Komisi Yudisial, Gregorius Ronald Tannur telah keluar dari Rutan Kelas I Surabaya, hanya beberapa jam setelah putusan pengadilan dibacakan pada Rabu. [em/ah]
Forum