Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Azriana Manalu mendesak Komisi VIII DPR segera menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual.
Azriana mengatakan RUU tersebut penting untuk mengatasi kekerasan seksual yang masih tinggi di Indonesia, juga untuk menjadi dasar bagi negara untuk memberikan reparasi atau pemulihan bagi korban kejahatan. Komnas Perempuan mencatat pada periode 2001-2011, rata-rata dalam satu hari 35 perempuan di Indonesia mengalami kekerasan seksual.
"Posisinya sekarang terhenti pembahasannya, tidak ada langkah maju yang cukup signifikan di Komisi 8. Kita sayangkan RUU ini kok dibahas di Komisi 8, harusnya di Komisi 3 atau lintas komisi di Pansus. Karena kita tidak berbicara agama. Bicara RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini tidak berbicara agama, tapi berbicara hukum," jelas Azriana di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (21/11).
Azriana menambahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada saat ini belum dapat melindungi perempuan. Sebab, kata dia, KUHP hanya mengenal 2 bentuk kekerasan seksual dari 15 bentuk kekerasan seksual dari hasil pemantauan Komnas Perempuan. Beberapa di antaranya yang tidak ada di KUHP yaitu eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual dan prostitusi paksa.
"Jadi hasil pemantauan ini dikembangkan menjadi pengetahuan tentang kekerasan seksual, agar publik mengenali bahwa kekerasan seksual adalah tindakan yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan ke negara menjadi dorongan yang kuat agar negara menyediakan regulasi," imbuhnya.
Untuk menutupi celah tersebut, Azriana menuturkan lembaganya kerap membantu penegak hukum untuk mengenali bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya dalam kasus-kasus pidana.
Menanggapi ini, anggota Komisi VIII DPR Diah Pitaloka mengatakan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih menjadi perdebatan di komisinya. Penyebabnya, kata dia, tidak semua anggota Komisi VIII memiliki perspektif yang sama soal RUU ini, termasuk soal perlu tidaknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
"Ya kita masih di tengah perdebatan, ada yang mendukung dan ada yang masih ragu-ragu. Tapi itu wajar dalam proses legislasi, perdebatan itu masih ada," tutur Diah Pitaloka.
Diah Pitaloka yang berasal dari PDI Perjuangan menjelaskan partainya sepakat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diperlukan bagi warga Indonesia, khususnya perempuan. Karena itu, ia berharap RUU ini dapat diselesaikan sebelum periode DPR saat ini berakhir. [Ab/uh]