Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Senin (13/8) menyampaikan hasil penyelidikannya terkait kasus penembakan warga di Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan pada 27 Juli lalu.
Lembaga tersebut melakukan penyelidikan atas kasus kekerasan yang menewaskan anak berumur 12 tahun dan melukai lima warga tersebut mulai 30 Juli hingga 3 Agustus 2012.
Ketua tim penyelidikan kasus tersebut, Nur Kholis kepada wartawan di kantornya mengatakan terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran hak asasi manusia oleh polisi dalam kasus tersebut.
Pihaknya, kata Nur Kholis, menemukan setidaknya lima pelanggaran terhadap hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup, hak untuk tidak mendapat perlakuan yang kejam, hak atas rasa aman, hak anak dan hak atas kesehatan. Komnas HAM, kata Nur Kholis, juga telah menemukan satu peluru tajam dan selongsong milik anggota Brimob.
Kasus ini merupakan rentetan perselisihan lahan antara warga dan PT Perkebunan Nusantara VII, Cinta Manis. Perusahaan tebu itu ketika itu juga mengklaim kehilangan 127 ton pupuk dan melaporkannya kepada polisi. Pihak perusahaan menduga masyarakatlah yang mengambilnya.
Kejadiannya bermula ketika sebanyak 300 aparat melakukan operasi penegakan hukum di Desa Limbang Jaya dengan 17 kendaraan. Operasi ini dilakukan untuk mencari pelaku pencurian pupuk tersebut. Menurut Nur Kholis pengerahan petugas yang banyak itu sangat berlebihan.
“Anggota Brimob mengeluarkan tembakan peringatan empat kali dilanjutkan dengan tembakan beruntun. Kemudian mereka juga menganiaya lima warga di Simpang Empat ini. Kami juga mempertanyakan pengerahan pasukan yang begitu besar di kampung yang begitu padat dan jalan yang sempit,” ujarnya.
Ia menambahkan konflik antara warga dengan PT Perkebunan Nusantara VII Unit Cinta Manis telah terjadi sejak 1982.
Bentrok antara polisi dan masyarakat terkait dengan sengketa lahan di wilayah tersebut terjadi pertama kali pada tahun 2009, dimana terdapat beberapa warga yang mengalami luka tembak.
Pada peristiwa itu, Komnas HAM menemukan satu buah magazine (tempat peluru), 12 peluru tajam dan delapan selongsong peluru.
Nur Kholis menyatakan tidak adanya tindakan yang tegas terhadap polisi yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat menyebabkan kejadian seperti ini terus berulang. Ia menilai polisi sudah terlalu jauh masuk dalam konflik agraria.
“Mestinya polisi tidak terlalu mengambil alih tanggung jawab penuh untuk menyelesaikan konflik agraria karena bisa dilakukan dialog. Mestinya diajaklah bupati karena mereka kan kenal dengan warganya,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Agus Rianto menyatakan kasus yang terjadi di Ogan Ilir tersebut masih dalam penyidikan dan penyelidikan tim investigasi dari Polda Sumatera Selatan dan tim dari Mabes Polri.
Tim saat ini kata Agus sedang memeriksa enam perwira dan 120 personel. Selain anggota Brimob, kata Agus, juga diperiksa kesatuan lain. Menurutnya, aparat yang melakukan pelanggaran akan diberikan saksi.
“Karena pimpinan kita sangat amat tegas, penegakan hukum jangan sampai melanggar hukum, itu yang prinsip,” ujarnya.
Lembaga tersebut melakukan penyelidikan atas kasus kekerasan yang menewaskan anak berumur 12 tahun dan melukai lima warga tersebut mulai 30 Juli hingga 3 Agustus 2012.
Ketua tim penyelidikan kasus tersebut, Nur Kholis kepada wartawan di kantornya mengatakan terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran hak asasi manusia oleh polisi dalam kasus tersebut.
Pihaknya, kata Nur Kholis, menemukan setidaknya lima pelanggaran terhadap hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup, hak untuk tidak mendapat perlakuan yang kejam, hak atas rasa aman, hak anak dan hak atas kesehatan. Komnas HAM, kata Nur Kholis, juga telah menemukan satu peluru tajam dan selongsong milik anggota Brimob.
Kasus ini merupakan rentetan perselisihan lahan antara warga dan PT Perkebunan Nusantara VII, Cinta Manis. Perusahaan tebu itu ketika itu juga mengklaim kehilangan 127 ton pupuk dan melaporkannya kepada polisi. Pihak perusahaan menduga masyarakatlah yang mengambilnya.
Kejadiannya bermula ketika sebanyak 300 aparat melakukan operasi penegakan hukum di Desa Limbang Jaya dengan 17 kendaraan. Operasi ini dilakukan untuk mencari pelaku pencurian pupuk tersebut. Menurut Nur Kholis pengerahan petugas yang banyak itu sangat berlebihan.
“Anggota Brimob mengeluarkan tembakan peringatan empat kali dilanjutkan dengan tembakan beruntun. Kemudian mereka juga menganiaya lima warga di Simpang Empat ini. Kami juga mempertanyakan pengerahan pasukan yang begitu besar di kampung yang begitu padat dan jalan yang sempit,” ujarnya.
Ia menambahkan konflik antara warga dengan PT Perkebunan Nusantara VII Unit Cinta Manis telah terjadi sejak 1982.
Bentrok antara polisi dan masyarakat terkait dengan sengketa lahan di wilayah tersebut terjadi pertama kali pada tahun 2009, dimana terdapat beberapa warga yang mengalami luka tembak.
Pada peristiwa itu, Komnas HAM menemukan satu buah magazine (tempat peluru), 12 peluru tajam dan delapan selongsong peluru.
Nur Kholis menyatakan tidak adanya tindakan yang tegas terhadap polisi yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat menyebabkan kejadian seperti ini terus berulang. Ia menilai polisi sudah terlalu jauh masuk dalam konflik agraria.
“Mestinya polisi tidak terlalu mengambil alih tanggung jawab penuh untuk menyelesaikan konflik agraria karena bisa dilakukan dialog. Mestinya diajaklah bupati karena mereka kan kenal dengan warganya,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Agus Rianto menyatakan kasus yang terjadi di Ogan Ilir tersebut masih dalam penyidikan dan penyelidikan tim investigasi dari Polda Sumatera Selatan dan tim dari Mabes Polri.
Tim saat ini kata Agus sedang memeriksa enam perwira dan 120 personel. Selain anggota Brimob, kata Agus, juga diperiksa kesatuan lain. Menurutnya, aparat yang melakukan pelanggaran akan diberikan saksi.
“Karena pimpinan kita sangat amat tegas, penegakan hukum jangan sampai melanggar hukum, itu yang prinsip,” ujarnya.