Menindaklanjuti putusan Sidang Paripurna Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 6 Mei 2019 dan berbagai laporan masyarakat sipil ke Komnas HAM RI terkait ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang meninggal dan ribuan lainnya yang jatuh sakit, Tim Pemantauan Pemilihan Umum 2019 Komnas HAM secara serentak melakukan pantauan lapangan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, dan Banten pada 15-18 Mei 2019.
Serangkaian tindakan tersebut dilakukan dengan meminta keterangan langsung dari keluarga petugas KPPS yang meninggal, rekan KPPS, dan petugas sakit secara langsung, serta data-data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, serta Dinas Kesehatan Provinsi atau Kabupaten/Kota di wilayah sebagaimana dimaksud.
Dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, Selasa (21/5), Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan pihaknya menemukan fakta adanya pengabaian terhadap perlindungan kesehatan bagi petugas KPPS, pengawas, dan aparat keamanan dalam pelaksanaan pemungutan suara.
"Sehingga mereka ketika bermasalah secara fisik, sakit, tidak mendapat prioritas penanganan. Laporan-laporan kita di lapangan itu, udah sakit tidak ada yang bertanggung jawab. Mereka harus mengurus diri sendiri ke rumah akit. Kalau kondisinya cukup parah, tentu biaya pengobatannya besar, tidak semua bisa ditanggung oleh BPJS," kata Taufan Damanik.
Hal ini diperparah karena tidak ada keterlibatan pemerintah untuk menanggung biaya pengobatan. Baru belakangan ada surat edaran yang menyatakan akan menanggung biaya pengobatan, meskipun hal itu belum efektif karena sampai sekarang petugas KPPS masih berobat dengan biaya sendiri.
Komnas HAM menilai belum ada langkah terpadu, baik dari KPU dan Bawaslu, maupun Kementerian Kesehatan, untuk mengantisipasi jatuhnya korban secara massal.
Persyaratan Jadi Anggota KPPS Sedianya Tidak Diturunkan
Taufan Damanik mengatakan faktor kelalaian yang dimaksud itu juga mencakup penurunan standar regulasi persyaratan anggota KPPS, khususnya syarat mampu secara jasmani dan rohani, serta bebas dari penyalahgunaan narkotika. Semula dibutuhkan hasil pemeriksaan rumah sakit atau puskesmas untuk memenuhi syarat itu, tetapi kemudian diganti dengan surat pernyataan dari yang bersangkutan.
Dampaknya tidak ada pemeriksaan terhadap derajat kesehatan petugas terkait beban tugasnya. Terlebih karena posisi petugas KPPS lebih karena kerelawanan, sehingga negara cenderung abai.
Komnas HAM memandang belum ada komitmen kuat dari negara, baik pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, yang menempatkan petugas KPPS sebatas petugas sukarelawan sehingga perspektif perlindungan terhadap mereka menjadi lemah. Asuransi kesehatan dan pembiayaan lain, termasuk honor dan pemenuhan syarat administrasi lain untuk menjadi petugas, tidak ditanggung negara.
Proses rekrutmen – terutama pada soal usia – hanya mensyaratkan minimal 17 tahun, sedangkan batas usia maksimal tidak diatur. Situasi ini menjadi salah satu faktor kerentanan terhadap penyelenggara sebab usia rata-rata petugas KPPS yang meninggal dari data Komnas HAM di atas 40 tahun.
Komnas HAM Dorong Manajemen Logistik untuk Penyelenggaraan Pemilu
Komnas HAM juga mendorong adanya manajemen logistik pada penyelenggaraan pemilu sehingga tidak memberatkan petugas KPPS, pengawas, dan petugas keamanan yang harus tetap mempersiapkan diri dan menjaga TPS sampai menjelang hari pemungutan suara. Tak heran banyak yang kurang istirahat dan akhirnya jatuh sakit.
Meskipun demikian, Komnas HAM belum menemukan indikasi tindak pidana mengarah pada kejahatan pemilihan umum dalam penyelenggaraan pemilihan umum.
Pada kesempatan tersebut, Komnas HAM menyampaikan rekomendasi agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemilu serentak. Negara juga harus bertanggung jawab terhadap petugas KPPS yang meninggal dan sakit.
Ombudsman Temukan Maladministrasi Penyelenggaraan Pemilu
Di lain pihak, Anggota Ombudsman Adrianus Meliala mengatakan pihaknya menemukan maladministrasi dalam penyelenggaraan pemilu karena kasus kematian ratusan petugas KPPS. Maladministrasi itu dilakukan oleh KPU, Bawaslu, Kementerian Kesehatan, pemerintah hingga DPR.
Menurut Ombudsman, KPU hanya memusatkan perhatian pada pelaksanaan pemungutan suara namun tidak memperhatikan risiko kerja petugas KPPS. Ombudsman menyayangkan lambatnya penanganan dilakukan oleh KPU, Bawaslu, dan Kementerian Kesehatan ketika banyak anggota KPPS meninggal dan sakit.
"Negara harus bertanggung jawab dengan situasi itu. Negara dalam hal ini sudah bertanggung jawab dalam rangka memberikan santunan kepada mereka yang sudah meninggal. Tetapi bagi yang sakit bagaimana? Respon itu harus ditingkatkan karena yang bersangkutan bekerja dalam konteks membantu negara," Adrianus.
Ombudsman melakukan kajian sekitar satu pekan pasca pemilu dengan metode wawancara pada pihak KPU, Bawaslu, Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), petugas KPPS, dan keluarga petugas yang meninggal. Kajian dilakukan di 15 daerah dan telah disampaikan kepada perwakilan KPU, Bawaslu, IDI, dan Kementerian Kesehatan.
KPU Siap Beri Santunan bagi Petugas KPPS
KPU sudah menyatakan akan berkoordinasi dengan pemerintah untuk memberikan santunan bagi petugas KPPS. Petugas KPPS yang meninggal akan menerima santunan Rp 30-36 juta, yang cacat santunan maksimal Rp 30 juta, yang luka maksimal Rp 16 juta.
Sejauh ini tercatat 527 orang petugas KPPS, 97 pengawas Pemilu dan 25 anggota kepolisian meninggal dalam penyelenggaraan pemilu 2019. Kematian tersebut disebut karena masalah kelelahan saat bertugas.
Sebelumnya kajian yang dilakukan Kementerian Kesehatan menunjukkan sebagian petugas KPPS yang meninggal disebabkan karena gagal jantung, stroke, gagal pernafasan, meningitis, sepsis, asma dan kecelakaan. (fw/em)