Ketika pelapor khusus PBB untuk Birma mengunjungi wilayah yang dilanda kekerasan itu di negara bagian Rakhine bulan lalu, ia meminta Komisi HAM Burma membentuk komisi kebenaran untuk mengadakan penyelidikan seksama dan transparan.
Ketua komisi itu, Win Mra, mengatakan, Kamis (16/8) dirinya bingung dengan saran tersebut, dan menyangkal bahwa kelompoknya bertanggung jawab untuk menyelesaikan penyelidikan. Ia mengatakan sebuah kelompok penyelidik pemerintah yang terpisah hanya menyelidiki pembantaian yang mengakibatkan pecahnya kekerasan itu.
“Saya tidak tahu mengapa ia melakukan itu. Yang saya tahu adalah pemerintah sudah membentuk kelompok penyelidik tingkat tinggi untuk menyidik kedua kasus itu yaitu, perkosaan, dan pembantaian 10 orang,” ujarnya.
Win Mra juga mengatakan bahwa pengamatan Utusan Khusus HAM PBB Tomas Ojeas Quintana tidak berimbang. Ia tidak menguraikannya dalam wawancara dengan VOA.
Komisi HAM Nasional Burma mengirim delegasi terdiri dari tiga orang bulan Juli untuk menyelidiki apa yang Win Mra sebut sebagai kebutuhan kemanusiaan warga yang dilanda konflik itu, tetapi tidak menyebut-nyebut tuduhan bahwa militer memberi perlakuan khusus kepada kelompok etnis tertentu, tuduhan yang disebutnya “ekstrem.”
Win Mra juga menekankan bahwa situasi itu masih sangat peka, dan ia berharap isu itu tidak menghalangi jalan Burma menuju demokrasi.
Sementara itu, Organisasi Konferensi Islam (OKI) minggu ini menyampaikan keprihatinannya mengenai nasib warga Rohingya di Burma dan mengatakan akan mengajukan pemerintah Birma ke Dewan Keamanan PBB atas cara penanganan isu itu.
Jim Della-Giacoma, analis politik pada Kelompok Krisis Internasional, mengatakan mengucilkan negara-negara Islam bisa menjadi masalah bagi masa depan Burma sebagai anggota ASEAN. Ia mengatakan, akar masalah itu terletak pada kegagalan pemerintah mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara.
“Merangkul warga Rohingya dan semua kelompok minoritas ke dalam negara Myanmar modern, yang mengakui keberadaan kelompok minoritas. Burma adalah negara multietnis, punya beragam agama, dan hak semua kelompok minoritas ini harus dilindungi oleh pemerintah dan tidak boleh didiskriminasikan,” ujarnya.
PBB mengeluarkan laporan pada hari Kamis yang menyebutkan jumlah orang yang kehilangan tempat tinggal akibat konflik di negara bagian Rakhine melebihi 68.500 orang dan dan jumlahnya terus bertambah, dengan kedatangan warga dari Kyauktaw, Sittwe, dan Maungdaw, di mana insiden-insiden kekerasan masih sering terjadi.
Ketua komisi itu, Win Mra, mengatakan, Kamis (16/8) dirinya bingung dengan saran tersebut, dan menyangkal bahwa kelompoknya bertanggung jawab untuk menyelesaikan penyelidikan. Ia mengatakan sebuah kelompok penyelidik pemerintah yang terpisah hanya menyelidiki pembantaian yang mengakibatkan pecahnya kekerasan itu.
“Saya tidak tahu mengapa ia melakukan itu. Yang saya tahu adalah pemerintah sudah membentuk kelompok penyelidik tingkat tinggi untuk menyidik kedua kasus itu yaitu, perkosaan, dan pembantaian 10 orang,” ujarnya.
Win Mra juga mengatakan bahwa pengamatan Utusan Khusus HAM PBB Tomas Ojeas Quintana tidak berimbang. Ia tidak menguraikannya dalam wawancara dengan VOA.
Komisi HAM Nasional Burma mengirim delegasi terdiri dari tiga orang bulan Juli untuk menyelidiki apa yang Win Mra sebut sebagai kebutuhan kemanusiaan warga yang dilanda konflik itu, tetapi tidak menyebut-nyebut tuduhan bahwa militer memberi perlakuan khusus kepada kelompok etnis tertentu, tuduhan yang disebutnya “ekstrem.”
Win Mra juga menekankan bahwa situasi itu masih sangat peka, dan ia berharap isu itu tidak menghalangi jalan Burma menuju demokrasi.
Sementara itu, Organisasi Konferensi Islam (OKI) minggu ini menyampaikan keprihatinannya mengenai nasib warga Rohingya di Burma dan mengatakan akan mengajukan pemerintah Birma ke Dewan Keamanan PBB atas cara penanganan isu itu.
Jim Della-Giacoma, analis politik pada Kelompok Krisis Internasional, mengatakan mengucilkan negara-negara Islam bisa menjadi masalah bagi masa depan Burma sebagai anggota ASEAN. Ia mengatakan, akar masalah itu terletak pada kegagalan pemerintah mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara.
“Merangkul warga Rohingya dan semua kelompok minoritas ke dalam negara Myanmar modern, yang mengakui keberadaan kelompok minoritas. Burma adalah negara multietnis, punya beragam agama, dan hak semua kelompok minoritas ini harus dilindungi oleh pemerintah dan tidak boleh didiskriminasikan,” ujarnya.
PBB mengeluarkan laporan pada hari Kamis yang menyebutkan jumlah orang yang kehilangan tempat tinggal akibat konflik di negara bagian Rakhine melebihi 68.500 orang dan dan jumlahnya terus bertambah, dengan kedatangan warga dari Kyauktaw, Sittwe, dan Maungdaw, di mana insiden-insiden kekerasan masih sering terjadi.