Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho hari Selasa (4/9) menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat adat Dayak dan sekaligus mengklarifikasi berita penyebab kebakaran hutan dan lahan yang dirilis berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pertengahan Agustus lalu.
Hal ini disampaikannya dalam sidang hukum adat di Rumah Betang Sutoyo Pontianak, yang juga dihadiri puluhan tokoh masyarakat adat Dayak dan otorita setempat.
“Saya atas nama pribadi dan sebagai Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB tidak ada maksud menghina dan mencap bahwa tradisi gawai penyebab semakin banyaknya kabut asap. Tidak ada maksud lain, selain hanya memberitakan upaya kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat. Adanya penulisan tradisi gawai serentak pada dasarnya mengacu pada laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan berita lainnya,” demikian ujar Sutopo dalam pernyataan tertulis yang dibacakannya dalam sidang hukum adat itu.
Sutopo: Tradisi "Gawai Serentak" Tak Terkait dengan Buka Lahan dan Sistem Bakar
Lebih jauh Sutopo dengan ksatria mengakui keterbatasan pengetahuannya tentang kearifan lokal masyarakat Dayak yang sesungguhnya, yang selalu hidup harmoni dengan alam.
“Saya menyadari kesalahan saya, dan mencabut pernyataan tersebut, sekaligus menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada masyarakat Dayak. Tradisi gawai serentak dalam tatanan masyarakat Dayak merupakan pesta ritual syukuran sesudah panen, sehingga tidak ada kaitannya dengan membuka lahan dan sistem bakar yang mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan selama periode Agustus 2018,” tambah Sutopo.
Majelis Adat Dayak Nasional: Permasalahan Telah Selesai
Sekretaris Majelis Adat Dayak Nasional MADN Yakobus Kumis mengatakan dengan dilaksanakannya sidang hukum adat atas Sutopo, maka permasalahan telah selesai. “Dengan sanksi adat ini artinya kita sudah berdamai dan bermaaf-maafan tidak ada lagi tuntut-menuntut pada pak Sutopo,” ujar Yakobus sebagaimana dikutip Gencil.news, afiliasi VOA di Kalimantan Barat.
Lebih jauh ia mengatakan sanksi hukum adat yang dikenakan pada Sutopo adalah “capa molot.” “Capa Molot menurut adat Dayak Kanayatn itu adalah sebuah sanksi diberikan kepada orang yang mungkin salah bahasa atau salah kata yang menyinggung perasaan orang lain,” jelasnya.
Ketika ditanya wartawan mengapa menggunakan adat Dayak Kanayatn, Yakobus mengatakan hal ini karena komunitas adat Dayak Kanayatn di kota Pontianak masih memiliki Temenggung adat yang lengkap.
“Sudah ada aturan-aturannya jadi tidak ada lagi yang menyimpang. Panduannya jelas, sumbernya jelas, dan itu hasil musyawarah adat masyarakat kita. Tadi dari Temenggung Adat Dayak Kanayatn Kota Pontianak ada lima orang dalam sidang hukum adat kali ini,” ujarnya.
Dihubungi VOA Rabu (5/9) malam, Sutopo Purwo Nugroho yang dikenal sigap dan terbuka memberikan keterangan pers tentang bencana yang terjadi di Indonesia, mengatakan bersyukur seluruh masalah sudah selesai.
“Masyarakat adat Dayak memberi saya waktu tujuh hari. Hari keempat saya datang, minta maaf. Sudah selesai semua,” tegas Sutopo. [em]