Tautan-tautan Akses

Kisah Penyintas di Dua Dekade Bom Bali


Keluarga korban ledakan bom Bali tahun 2002 menyalakan lilin untuk memperingati 13 tahun peristiwa bom Bali, di Tugu Peringatan Bom Bali di Kuta. (Foto: Antara via Reuters)
Keluarga korban ledakan bom Bali tahun 2002 menyalakan lilin untuk memperingati 13 tahun peristiwa bom Bali, di Tugu Peringatan Bom Bali di Kuta. (Foto: Antara via Reuters)

Tiga ledakan beruntun yang mengguncang Bali pada 12 Oktober 2002 mengubah kehidupan ratusan penyintas. Penerimaan atas tragedi ini muncul diikuti harapan agar aksi keji itu tak terulang kembali.

Thiolina Ferawati Marpaung pulang bermobil bersama tiga temannya usai mengikuti satu acara, hampir tengah malam, Sabtu, 12 Oktober 2002. Itu adalah akhir pekan yang riuh di kawasan Kuta. Mobil yang mereka tumpangi berada di tengah kemacetan Jalan Legian, tak jauh dari Paddy’s Club dan Sari Club. Dua temannya yang duduk di kursi depan mobil, membuka jendela dan menikmati kemacetan itu beserta lalu lalang orang yang mayoritas adalah turis asing.

Tiba-tiba, Lina merasa mobil bergoyang ke depan, dan dia menyangka ada kendaraan lain yang menabrak mereka dari belakang. Seketika dia berteriak kepada dua temannya.

“Pak, mobil kita ditabrak dari belakang. Belum saya dapat jawaban dari mereka, ledakan yang paling besar itu terdengar, dhuaarr begitu. Saya masih sempat lihat mereka seketika langsung pingsan, tertunduk ke dashboard mobil. Kemudian tidak berapa lama, saya ikut pingsan,” papar Lina, menceritakan kembali peristiwa itu kepada VOA.

Seorang pria meletakkan bunga di kolam untuk korban serangan bom Bali 2002 dalam upacara peringatan 10 tahun bom Bali, Jimbaran, Bali, 12 Oktober 2012. (Foto: Reuters)
Seorang pria meletakkan bunga di kolam untuk korban serangan bom Bali 2002 dalam upacara peringatan 10 tahun bom Bali, Jimbaran, Bali, 12 Oktober 2012. (Foto: Reuters)

Ledakan pertama yang didengar Lina, terjadi di Paddy’s cafe. Sedangkan ledakan kedua yang lebih dahsyat, terjadi di dekat Sari Club. Getarannya terasa belasan kilometer, dan menciptakan lubang selebar empat meter sedalam lebih satu meter di titik lokasi. Sebanyak 202 orang meninggal dan 209 luka-luka, mayoritas adalah turis asing.

Korban berasal dari 21 negara berbeda. Warga Australia menjadi korban terbanyak (88 orang) Indonesia (38 orang) dan Inggris (28 orang). Selain itu, Amerika Serikat (7), Jerman (6), Swedia (5), Belanda (4), Prancis (4), Denmark, Selandia Baru dan Swiss masing-masing 3 orang. Ada juga korban dari Brazil, Kanada, Jepang, Afrika Selatan, Korea Selatan, Ekuador, Yunani, Italia, Polandia, Portugal dan Taiwan.

Ledakan ketiga terjadi di dekat kantor Konsulat Amerika Serikat di Renon, Denpasar.

Turis Australia Gerry dan Selina Dunstan mengunjungi Monumen Peringatan Bom Bali di Kuta, Bali, pada 4 Oktober 2022. (Foto: AP)
Turis Australia Gerry dan Selina Dunstan mengunjungi Monumen Peringatan Bom Bali di Kuta, Bali, pada 4 Oktober 2022. (Foto: AP)

Lina adalah satu dari lebih dua ratus korban luka itu. Dia ditolong oleh turis yang ada di lokasi, dan kemudian dibawa ke rumah sakit. Kedua matanya rusak karena benda-benda keras yang tersebar akibat ledakan. Dia ingat betul, dalam kegelapan karena tak bisa melihat, masih mendengar suara dokter yang merawatnya malam itu.

“Lensa mata dia pecah. Malam ini juga harus dioperasi,” kata Lina menirukan suara dokter itu.

Empat hari di RSAD Udayana, Lina kemudian dipindah ke RSUD Sanglah. Dua belas pil harus diminum sekaligus, tiga kali sehari. Setelah itu, Lina pindah ke Jakarta dan kembali menjalani perawatan dengan dukungan keluarga dekatnya. Berbulan-bulan proses operasi dan perawatan dijalani, hingga datang bantuan dari The John Fawcett Foundation, Australia untuk mengembalikan fungsi kedua matanya.

Kisah Penyintas di Dua Dekade Bom Bali
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:52 0:00

“Mata yang kiri dioperasi dulu, karena menurut dokter untuk dimasukkan lensa pengganti. Setelah itu saya disana hampir satu setengah bulan, lalu pulang ke Bali dan empat kali cek ke Australia untuk merawat mata kiri saya,”ujarnya.

Selama perawatan mata kiri itu, mata kanan Lina masih bisa sedikit melihat. Pada satu hari, mata kanannya mendadak gelap. Lina ditembangkan kembali ke Australia dan setelah pemeriksaan dokter, ditemukan bahwa ada butiran kaca yang akan keluar dari bola mata kanannya. Proses yang sama diterapkan dokter ke mata kanan, sebagiamana tindakan yang dilakukan untuk mata kiri.

Dua puluh tahun setelah peristiwa itu, Lina masih harus rutin memeriksakan matanya ke dokter setidaknya dua bulan sekali, untuk menjaga kemampuannya melihat.

“Kalau pas lelah sekali, belum dua bulan sudah saya cek, karena ada benda yang dimasukkan dokter ke mata kiri itu, dan dokter bilang tidak tahu sampai kapan benda itu bisa dipakai. Jadi untuk antisipasi, saya harus cek mata saya secara berkala,” tambahnya.

Lina mengaku sudah ikhlas dengan apa yang terjadi. Sejak lama, dia juga memaafkan pelaku. Bersama sejumlah penyintas, dia mendirikan Yayasan Isana Dewata, untuk mendampingi keluarga penyintas, dan menyelenggarakan peringatan tragedi Bom Bali. Baginya, pengingat itu penting agar tidak ada lagi orang yang ingin melakukan tindakan keji serupa.

Pecalang sedang berjaga di Monumen Kemanusian Bom Bali Kuta Bali. (VOA/Muliarta)
Pecalang sedang berjaga di Monumen Kemanusian Bom Bali Kuta Bali. (VOA/Muliarta)

Mengubah Kehidupan

Penyintas lain adalah Ni Luh Erniati. Suaminya, I Gede Badrawan bekerja di Sari Club, yang terbakar habis dalam tragedi tersebut.

“Malam itu saya dengar suara ledakan, karena saya tinggal kira-kira satu kilo dari tempat kerja suami. Saya enggak percaya bahwa itu adalah bom,” kata Erniati.

Ni Luh Erniati duduk bersama putranya, Made. (Foto: AP)
Ni Luh Erniati duduk bersama putranya, Made. (Foto: AP)

Erniati dan suaminya menyewa kamar di Denpasar, dengan dua anak mereka. Suara ledakan jelas terdengar, tetapi segala sesuatu belum pasti malam itu, karena berkirim kabar tidak semudah saat ini.

“Saya tunggu suami pulang, tetapi enggak pulang-pulang sampai besoknya. Akhirnya dengan bantuan teman kos, jam tujuh paginya itu saya mencari suami saya ke TKP. Di situ saya baru tahu kalau suami ikut menjadi korban,” ujar Erniati kepada VOA.

Kehidupan Erniati sepenuhnya berubah setelah peristiwa itu. Goncangan batin memperburuk situasi ekonominya yang jatuh. Masalah keluarga juga mendera, termasuk perebutan hak asuh untuk dua anaknya oleh keluarga almarhum suami.

“Saya juga dihadapkan dengan masalah sosial, karena saya yang harus menyandang status janda saat itu. Sedangkan saya masih muda, umur 30 tahun. Status janda itu dipandang sebelah mata di masyarakat. Lama sekali untuk bisa menerima kondisi itu,” tambahnya.

Yang menguatkan hati, kata Erniati, adalah karena status janda itu adalah keputusan Tuhan, bukan atas kemauannya. Sikap mandiri mendorongnya mendirikan usaha jahit menjahit. Bantuan pelatihan juga sempat diterimanya dari salah satu lembaga sosial asal Australia. Statusnya sebagai penyintas Bom Bali, diakui Erniati membantu kelancaran usaha itu di awalnya. Namun, kini konsumennya datang lebih banyak karena percaya dengan hasil kerja Erniati.

“Sebagian besar sekarang customer saya adalah pelaku usaha,” tambahnya.

Penerimaan sepenuhnya diberikan Erniati atas tragedi ini. Menyimpan amarah, kata dia, hanya membuat sakit dan terbatas dalam melangkah. Satu hal yang menjadi prioritas sejak tragedi itu terjadi, adalah membesarkan kedua anaknya.

Seorang peserta doa bersama berdoa di tugu peringatan untuk para korban bom Bali 2002 dalam peringatan 17 tahun serangan teroris di Kuta, Bali, 12 Oktober 2019. (Foto: AFP)
Seorang peserta doa bersama berdoa di tugu peringatan untuk para korban bom Bali 2002 dalam peringatan 17 tahun serangan teroris di Kuta, Bali, 12 Oktober 2019. (Foto: AFP)

“Saya orang tua tunggal dengan dua putra, saya harus bekerja, saya harus mencari nafkah untuk mereka, menyekolahkan mereka. Kalau saya hanya menangis, memikirkan yang kemarin terjadi, dan marah pada para pelaku, saya enggak bisa kerja,” papar Erniati, yang kini memimpin Yayasan Penyintas Indonesia.

Erniati rutin datang dalam peringatan Bom Bali, bukan untuk mengenang tragedi itu, tetapi mendoakan orang-orang yang dia cintai dan menjadi korban. Harapannya kini adalah bahwa peristiwa itu jangan sampai terjadi lagi.

“Kami sebagai korban sudah mengalami dan merasakan bagaimana kita kehilangan orang yang kita cintai, bagaimana kita kehilangan tulang punggung keluarga. Makanya kami sangat berharap, kita bersama-sama menjaga agar itu tidak terjadi lagi. Kami tidak mau ada korban lagi, seperti yang kami alami,” kata Erniati. [ab/ns]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG