Mantan anggota Detasemen khusus 88 Anti Teror Irjen (Purnawirawan) Benny P. Mamoto mengatakan pendekatan kemanusiaan dan membangun rasa saling percaya antara seorang penyidik dengan tersangka teroris penting dilakukan demi lancarnya proses penyidikan.
Presiden Joko Widodo menekankan perpaduan pendekatan penegakan hukum (hard approach) dan pendekatan kemanusiaan (soft approach) dalam penanggulangan aksi terorisme.
Mantan perwira polisi yang pernah bertugas di Detasemen khusus (Densus) 88 Anti Teror Irjen (Purnawirawan) Benny P. Mamoto di Hotel Ashley, Jakarta, Selasa (22/5), menceritakan pengalaman berhadapan dengan teroris. Benny mengacu pada pengalaman tekhnik interogasi tokoh-tokoh jaringan teroris yang ia lakukan. Dalam berhadapan dengan pelaku teroris, Benny mengaku justru belajar banyak dari para pimpinan kelompok teroris.
"Apakah saya harus menginterogasi duduk lebih tinggi dan nunjuk-nunjuk? Tidak. Apakah saya harus bentak-bentak dan menyalahkan? Tidak. Saya belajar dari Panglima Asykari Jamaah Islamiyah (JI) namanya Zulkarnain, sampai sekarang gak tau kemana, dia sangat dihormati anak buahnya. Saya tanya anak buahnya, anak buahnya bilang, 'pak beliau itu panglima tertinggi tapi ketika ketemu kita, dia rangkul kita. Pertanyaannya sistimatis, gimana kesehatan kamu, gimana keluarga kamu istri anak, gimana sholatnya ? Gimana jamaah kamu dan gimana jihad kamu.”, Itu saya gunakan ketika saya memeriksa," jelasnya.
Benny Mamoto yang saat ini aktif sebagai Wakil Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia menekankan agar dalam penangkapan pelaku teror, ada baiknya bisa dalam keadaan hidup. Hal itu penting dilakukan agar bisa mengungkap rencana aksi dan jaringan teroris yang ada.
"Mereka nyari kematian. Mereka siap menderita. Mereka siap sakit. Mereka merasa kalau saya dipukuli polisi maka saya naik kelas. Kalau saya sampai ditembak polisi ga mati saya naik kelas. Jadi mereka malah akan mencari itu, lalu kenapa kita harus melayani mereka dengan tindakan represif ?
Benny menjelaskan rasa saling percaya (trust) perlu dibangun antara seorang penyidik dengan pelaku teror. Hal ini penting dilakukan demi lancarnya proses penyidikan.
"Mereka ini mempersepsikan bahwa mereka sudah hijrah (berpindah) dari alam nyata ke alam jihad. Kami sudah tinggalkan surat wasiat, kami siap mati. Ketika mereka ketangkep, mereka berharap bunuh atau tembak saya. Ternyata aparat ga nembak, tangkep lalu bawa ke kantor. Mulailah dia muncul disitu, lanjutkan jihad selama ditangani atau saya harus hadapi proses hukum dan kembali urusi keluarga saya. Ketika kita bisa mengambil hati mereka, ketika kita bisa layani mereka dengan baik, kita bisa membangun trust, itu yang saya lakukan," lanjutnya.
Tekhnik konfirmasi sebuah isu yang beredar terkait dengan aksi terorisme dengan seorng pelaku teror lanjut Benny terkadang perlu dilakukan.
"Apa yang saya lakukan saya langsung periksa tahanannya. Pak Mukhlas (terpidana bom Bali 1): Anda berarti agen CIA?. Eh, marah dia. “Siapa yang ngomong?,' kata Mukhlas. Saya jawab, 'Ini koran ngomongnya begitu.' Lalu dia bilang, 'Saya suruh bikin sekarang, saya bisa.' Artinya adalah, dengan mudah kita patahkan. Hal-hal yang menyimpang sesungguhnya bisa dikembalikan kembali ke kelompoknya. Apa yang terjadi sekarang juga bisa diterapkan. Nanti mereka akan menjawab ini rekayasa atau bukan," imbuh Benny.
Berdasarkan pengalamannya saat membongkar kelompok teroris jaringan Jamaah Islamiyah, Benny Mamoto menjelaskan, pelaku teror sudah mempelajari dengan seksama apa yang dilakukan oleh polisi.
"Mereka (orang-orang yang sangsi dengan aksi teroris) tidak tau culture-nya kelompok ini, tapi sok tau. Mereka (kelompok teroris) ini punya buku panduan tentang bagaimana cara menghindari pelacakan aparat. Mereka punya bagaimana menghadapi interogator. Semuanya manual-nya ada. Mereka up date terus," jelasnya.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menekankan pentingnya merangkul kembali, terpidana atau mantan terpidana teroris. Agar ia tidak kembali masuk dalam lingkaran aktifitas terorisme.
Persoalan deradikalisasi bukanlah melawan ideologi. Karena ideologi adalah sesuatu yang tertanam dalam keyakinan. Tapi bagaimana supaya kemudian ada proses dimana dia bisa terlepas dan tidak lagi masuk dalam kelompok teroris. Banyak pelaku yang kemudian dia terlibat lagi karena dia tidak punya pilihan lain. [aw/em]