Tautan-tautan Akses

Kilas Balik Kebijakan Luar Negeri Pemerintahan Trump


Presiden AS Donald Trump usai memberikan pernyataan yanng mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel di Gedung Putih, 6 Desember 2017 (foto: dok).
Presiden AS Donald Trump usai memberikan pernyataan yanng mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel di Gedung Putih, 6 Desember 2017 (foto: dok).

Sejak menjabat pada Januari lalu, Presiden Donald Trump telah mematahkan kebijakan luar negeri pendahulunya dengan mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, menolak mengakui kepatuhan Iran pada perjanjian nuklir, menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris, dan mengambil sikap yang lebih agresif terhadap Korea Utara.

Pandangan sejumlah pengamat terhadap perubahan kebijakan luar negeri ini pemerintahan Trump beragam, di mana sebagian menyambut proyeksi kekuatan Amerika di panggung dunia, sementara sebagian lainnya mengecam apa yang mereka lihat sebagai jalan yang berbahaya bagi Amerika.

“It is time to officially recognize Jerusalem as the capital of Israel,” inilah pengumuman Trump pada hari Rabu, 6 Desember 2017 lalu, yang mengejutkan banyak kalangan, termasuk Sekjen PBB Antonio Guterres.

“Tidak ada alternatif lain selain solusi dua negara. Tidak ada rencana B,’’ tandas Guterres menanggapi pengumuman ini.

Langkah Trump, yang memicu berbagai demonstrasi, merupakan kebalikan dari sikap Amerika sejak lama bahwa status Yerusalem harus diputuskan di meja perundingan. Ini merupakan salah satu contoh bagaimana ia mematahkan kebijakan pendahulunya, Barack Obama.

Pengamat politik di Center for American Progress Rudy DeLeo mengatakan, “Ini adalah hakekat kepresidenan Trump. Kepresidenannya tidak konvensional, tidak selalu berdasarkan kebijakan.”

Haluan Kebijakan Luar Negeri AS Berubah Total

Trump juga mengambil arah berbeda dalam kebijakan tentang Korea Utara, perjanjian nuklir Iran dan perjanjian perubahan iklim Paris. Pengamat politik di Heritage Foundation, Nile Gardiner, mengatakan, “Anda bisa melihat dengan sangat jelas dalam hal perang melawan ISIS di Irak dan Suriah, dimana ISIS hampir musnah di kedua negara itu. Anda juga melihat dengan jelas tentang Korea Utara dimana ada begitu banyak pendekatan proaktif yang agresif. Juga dalam isu Iran.”

Meksipun pendekatan dengan kekuatan penuh ini merupakan apa yang dijanjikan Trump kepada para pendukungnya, beberapa kritikus menilai situasi rumit seperti Iran membutuhkan perangkat diplomatik.

Rudy De Leon mengatakan, “Dalam waktu 70 tahun setelah Perang Dunia Kedua, Amerika tergantung pada dua perangkat bagi keamananan dan keberadaannya di dunia. Pertama, diplomasi; dan kedua, angkatan bersenjata. Anda menafikan penggunaan dipomasi tanpa benar-benar memikirkan dan menyusun kebijakan sebagai alternatif.”

AS Keluar dari Perjanjian Iklim Paris

Salah satu perubahan besar kebijakan luar negeri yang diambil Trump dibanding pendahulunya adalah ketika ia menarik diri dari Perjanjian

Perubahan Iklim Paris bulan Juni lalu, dan menjadikan Amerika sebagai satu-satunya negara di dunia yang menolak perjanjian global itu.

“Keluar dari Perjanjian Iklim Paris, tanpa menggantikannya dengan hal lain, merupakan langkah mundur 10 tahun dibanding tetap mempertahankan perjanjian itu sebagai bagian masyarakat dunia dan meraih manfaat 10 tahun ke depan,” imbuh De Leon.

Meskipun demikian beberapa pengamat lain mengatakan dibanding retorikanya pada masa kampanye, Trump hanya membuat sedikit perubahan kebijakan politik.

“Perubahan ini sebenarnya merupakan pendekatan kebijakan luar negeri Amerika yang konvensional, dimana Presiden Trump benar-benar menolak gagasan isolasi. Banyak analis menilai pemerintahan ini akan terisolasi ketika Amerika terlihat mengabaikan dunia. Anda sama sekali tidak melihat hal itu,” kata Gardiner.

Seorang pengganggu atau tradinasionalis, langkah kebijakan luar negeri Trump cenderung membuat musuh dan sekutu sama-sama waspada, dan bahkan khawatir, ketika presiden memasuki tahun kedua di Gedung Putih. [em/al]

XS
SM
MD
LG