Sejumlah jaringan toko pakaian terbesar di Amerika belakangan harus melakukan perubahan orientasi dari toko 'high street' atau toko fisik di lokasi strategis, ke kombinasi ritel online dengan ritel konvensional. Salah satunya adalah Gap, yang bermarkas di San Francisco. Toko ini baru saja menyatakan akan menutup seperlima hingga seperempat tokonya di AS dan mem-PHK ratusan pekerja.
Pengamat psikologi konsumen Kit Yarrow mengatakan, perubahan ini sudah bida diprediksi sebelumnya. "Perusahaan ini besar sekali dengan keberadaan toko fisik sangat banyak", kata Yarrow, "Toko yang banyak tak perlu lagi di dunia ritel saat ini. Gap punya toko di mal-mal yang sudah 'mati perlahan'".
Tren yang terjadi saat ini adalah, semakin banyak konsumen bisa belanja online sehingga tidak harus lagi ke toko. Banyak mal pun sekarang sepi atau bahkan tutup. Tetapi analis menilai, sebenarnya toko pakaian bisa bertahan dengan konsep 'high street' karena konsumen biasanya tetap harus mencoba dulu baju yang diinginkan sebelum dibeli.
Yarrow termasuk analis yang menilai ada faktor lain di balik penutupan ratusan toko Gap. Katanya, "Merek ini menjadi mirip dinosaurus bercelana khaki" alias ketinggalan zaman.
Sejumlah remaja yang diwawancarai di dekat sebuah toko Gap di San Francisco tampak mengiyakan.
"Mereka tidak mengikuti perkembangan mode", kata Silas Fisher, seorang remaja laki-laki.
Temannya, Zbyszek Sikora menambahkan "Mereka tidak inovatif lagi, pakaiannya sangat tak menarik". Ia pun mengakui ayahnya lebih banyak memakai pakaian merek tersebut dibandingkan orang seusia dirinya.
Pergeseran selera konsumen muda ini pula yang juga membuat jaringan toko besar lainnya, seperti J Crew serta Abercrombie and Fitch juga menutup toko dan melakukan reorientasi strategi. Tidak seperti tahun 1990-an, saat kaum muda sangat menggemari merek-merek seperti Gap, konsumen muda saat ini tidak terlalu mempedulikan merek. Mereka memilih pakaian berdasarkan kepantasan dan kenyamanan.
Faktor harga juga berpengaruh. Belakangan toko-toko pakaian terbesar sering mengobral diskon secara berkala. Ini membuat konsumen (terutama kaum muda) enggan membeli pakaian toko-toko yang bersangkutan dengan harga asli.
Rebecca Krauth adalah seorang mahasiswi yang seperti banyak mahasiswa di AS tak punya uang lebih karena belum bekerja penuh. Ia mengatakan, "Saya tak akan membayar $40 (Rp 533 ribu) untuk sebuah kaos berwarna polos." Menurut Krauth, ia bisa membeli lebih murah di toko-toko lain.