Tautan-tautan Akses

Kesukaan Timbun Barang Adalah Gangguan Psikologis


Hobby menimbun barang dan merasa sayang untuk membuangnya ternyata merupakan salah satu bentuk gangguan psikologis.
Hobby menimbun barang dan merasa sayang untuk membuangnya ternyata merupakan salah satu bentuk gangguan psikologis.

Orang yang menimbun barang dalam jumlah sangat banyak dan tidak membuang yang sudah tidak bernilai atau rusak, biasanya punya gangguan psikologis

Fiona Morrissey adalah seorang penata barang professional. Ia membantu para kliennya memperbaiki dan mengatur lemari pakaian, kertas kerja, dan barang-barang lainnya, serta membuang barang-barang tidak terpakai yang makan tempat dan menyerap debu. Beberapa kliennya mengumpulkan terlalu banyak barang.

“Anda tidak butuh semua ini lagi. Bagaimana kalau kita lipat? Anda tidak bisa membuangnya ke tempat sampah seperti itu. Anda punya gunting?” ujar Morrissey kepada Mary, salah seorang kliennya.

Lebih lanjut Morrisey mengatakan kepada kliennya itu, “Saya akan menunjukkan kepada Anda, ini yang harus Anda lakukan. Jadi Anda bisa melakukan hal ini pada kotak-kotak lainnya. Saya yakin Anda bisa.”

Orang yang tidak dapat membuang barang, baik itu suratkabar, majalah atau kaleng kosong dan pakaian, adalah penimbun. Rumah mereka kebanyakan barang dan seringkali tidak dapat ditinggali.

“Salah seorang klien saya memiliki meja makan. Ia meletakkan semuanya di atas meja makan. Butuh sembilan jam bagi kami untuk membuang barang-barang dari meja itu. Kini ia dapat menata mejanya dan mengundang orang makan malam,” papar Morrisey.

Para penimbun memiliki beberapa kepribadian tertentu, ujar psikolog Elspeth Bell dari Pusat Terapi Perilaku Washington.

“Peka, pintar, kreatif, dan baik hati. Tetapi, ketika keempat karakteristik ini digabung dengan kecemasan, depresi, dan kurang perhatian, orang dihadapkan pada situasi bingung untuk mengambil keputusan,” papar Bell.

Mereka mungkin berpendapat sebuah barang akan bermanfaat suatu hari nanti atau merasa ada keterikatan emosional luar biasa pada barang tersebut. Mereka akan punya perasaan kehilangan yang sangat besar jika membuang barang itu. Hal itu akan menimbulkan risiko pada kesehatan mereka, mempengaruhi kemampuan mereka untuk berfungsi atau mengganggu kehidupan sosial mereka.

“Seseorang, misalnya, memiliki banyak timbunan barang di rumahnya hingga anak-anaknya mengatakan… ‘Ibu, kami mencintai ibu tetapi kami tidak ingin membawa cucu-cucumu mengunjungimu karena terlalu banyak barang di rumahmu/ tidak aman bagi anak-anak untuk bermain-main,” papar Bell lagi.

“Ketika kami melakukan pengamatan tentang masyarakat, kami menemukan frekuensi lebih tinggi menimbun barang pada laki-laki dibanding perempuan. Penimbunan barang terjadi pada semua kelas sosial. Hal ini terjadi di semua negara, semua budaya,” papar Jack Samuels yang mempelajari dasar biologis tingkah laku. Pakar psikoterapi dari Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins mengatakan bahwa penimbunan barang terjadi pada sekitar lima persen jumlah penduduk, suatu jumlah jauh lebih besar dari perkiraan semula.

“Sekitar sepertiga orang yang punya gangguan obsesif kompulsif (OCD) memiliki perilaku menimbun barang. OCD merupakan gangguan psikiatris yang ditandai dengan pikiran dalam benak berada di luar kendali seseorang. kemudian tekanan itu berubah menjadi tindakan yang dirasa harus dilakukan, meskipun orang itu tahu hal itu masuk akal. Kami menemukan, ada kaitan erat dengan kromosom 14 pada keluarga yang memiliki perilaku menimbun. Jadi hal ini menunjukkan bahwa menimbun merupakan sub-tipe OCD dengan kontribusi genetik berbeda.”

Apapun penyebabnya, Samuels mengatakan tidak ada pengobatan pada obsesi untuk menimbun, kecuali terapi yang membantu memperbaiki perilaku itu.
XS
SM
MD
LG