Setelah pandemi COVID-19 berlangsung lebih dari setahun dan belum tampak tanda-tanda akan berakhir, banyak pakar kesehatan yang mengemukakan tentang munculnya ‘pandemi kedua’: masalah kesehatan mental. Salah satu kelompok yang paling rentan terdampak adalah kaum lanjut usia.
Terlalu banyak informasi mengenai COVID ternyata menjadi salah satu penyebab utama gangguan kesehatan mental mereka. Bagaimana membantu mengatasinya dan apa yang bisa dilakukan caregiver dan keluarga bagi mereka?
Satu tahun setelah Organisasi Kesehatan Dunia menetapkan penyebaran COVID-19 sebagai pandemi global pertengahan Maret lalu, semakin banyak pakar, termasuk organisasi American Psychological Association, yang meyakini kesehatan mental telah menjadi “pandemi kedua.” Organisasi ini mendasarkan kesimpulan itu pada beberapa surveinya yang dilakukan pada akhir tahun lalu dan awal tahun ini. Kaum lansia adalah salah satu kelompok yang paling rentan terdampak pandemi, selain orang tua dan anak-anak, mereka yang kehilangan pekerjaan, kaum minoritas nonkulit putih serta pekerja esensial.
Michael Dirk, psikolog yang juga direktur eksekutif Yayasan Alzheimer Indonesia (ALZI), mengatakan belum ada angka konkret mengenai seberapa banyak lansia di Indonesia yang kesehatan mental mereka terdampak pandemi. Namun, menggambarkan betapa banyak kaum lansia yang sangat terpengaruh, awal bulan ini ia mengemukakan, "Di Indonesia, minggu lalu tercatat hampir 50 ribu orang yang meninggal karena COVID, hampir 50 persennya adalah lansia. Di Indonesia sendiri jumlah lansia sekitar 27 juta jiwa, sekitar 10 persen dari populasi."
Lansia yang mendengar berita-berita seperti ini, lanjut Michael, kondisi mental mereka menjadi semakin buruk. Mereka menjadi kaget, takut, cemas, dan lain sebagainya.
Michael juga menengarai beberapa faktor yang membuat lansia sendiri rentan. Pada faktor kognitif, jelasnya, fungsi otak bisa menurun dengan lebih cepat karena kondisi-kondisi tertentu seperti depresi. Secara biologis, perubahan hormon dan fisik membuat tubuh lansia semakin lemah. Secara psikologis, kesepian semakin terasa karena pandemi membuat hubungan lansia dengan keluarga semakin terbatas secara fisik. Keterbatasan berbagi pengalaman dengan anggota keluarga lainnya adalah faktor sosial emosional yang membuat lansia merasa tidak berguna. Faktor lingkungan yang terbatas, juga bisa membuat lansia bosan.
Michael memprediksi lansia yang mengalami depresi karena pandemi ini lebih banyak berada di kota-kota besar.
"Kenapa? Karena di kota-kota besar itu lebih banyak, lebih mudah untuk menerima informasi terkait dari media mengenai perkembangan COVID, kemudian kasus-kasus COVID yang semakin meningkat di Indonesia walaupun tidak secara drastis tapi tetap masih ada kasusnya. Dengan lansia hidup di kota dengan tekanan stres yang lebih tinggi, di situlah tekanan adanya depresi menjadi lebih terasa," jelasnya.
Terputusnya hubungan dengan keluarga atau orang-orang yang disayang karena pembatasan terkait pandemi merupakan faktor terbesar yang membuat para lansia rentan mengalami depresi dan kecemasan (anxiety), dua gangguan kesehatan mental yang banyak dialami lansia semasa pandemi ini, jelas Ake Pangestuti, koordinator ALZI San Francisco. Ia mengemukakan, "Kehilangan keluarga akibat COVID, itu bisa memicu kesedihan yang mendalam, depresi, anxiety."
Kontek Rohayati, perawat khusus lansia (caregiver) di kompleks tempat tinggal khusus para lansia di Maryland, mengemukakan pengalamannya merawat lansia berusia 95 tahun yang kondisi kesehatan mentalnya tampak memburuk setelah pandemi yang berkepanjangan.
"Kondisinya semakin kacau. Terasa sekali, karena dia tidak bisa dikunjungi keluarganya, anak-anaknya," jelasnya.
Depresinya meningkat, membuat pasien yang telah sekitar enam tahun dirawat oleh Kontek ini terkadang melakukan hal tak terduga seperti keluar rumah sendirian pada malam hari. Percakapan melalui telepon dengan keluarganya, lanjut Kontek, tidak mengurangi tekanan mental yang dihadapi pasiennya yang juga sudah mengidap Alzheimer, yang terbiasa bertemu langsung dengan mereka.
Untuk mencegah depresi atau kecemasan memburuk, Kontek sering mengajak pasiennya berbincang, berjalan-jalan keluar gedung, dan mengalihkan perhatiannya untuk membuatnya tetap bahagia. Caregiver, lanjut Kontek, berfungsi sebagai supervisor, yang harus terus menerus tanpa bosan memberi pengertian mengenai berbagai aktivitas yang boleh atau tidak boleh dilakukan.
Yang jelas tantangan yang dihadapinya sewaktu bekerja semasa pandemi ini adalah terlebih dulu harus mengatasi perasaan stresnya dalam bekerja. Ia takut membawa virus dan menularkannya kepada si pasien. Tantangan berikutnya adalah bersikap luar biasa berhati-hati dalam menjaga pasiennya.
Michael, Kontek dan Ake juga menyatakan perlunya memberi lansia kegiatan yang bermakna. Di antaranya, menggunakan gawai (gadget) yang disaring hanya untuk mendapatkan berita-berita positif.
Karena beratnya tugas merawat lansia dengan masalah kesehatan mental semasa pandemi yang menghadapi berbagai pembatasan, Ake juga menyarankan agar kegiatan tersebut tidak dibebankan pada satu orang saja. Di Indonesia, di mana kekerabatan masih sangat kental dan kemungkinan besar perawatan tidak dilakukan oleh caregiver profesional, anggota keluarga dapat bergiliran merawat lansia tersebut.
ALZI San Francisco, di mana Ake menjadi koordinator wilayah, juga dalam beberapa kasus membantu diaspora Indonesia yang memerlukan bantuan bagi keluarganya di tanah air.
"Misalnya perlu dokter, terapis, caregiver, mereka menghubungi kami, kami memfasilitasinya dengan melalui zoom berhubungan dengan ALZI. Sampai diagnosapun kami ada hotline-nya ALZI. Nanti kami yang mendaftarkan, nanti bisa didiagnosa oleh ALZI dengan dokter saraf yang berhubungan baik dengan ALZI," jelas Ake. [uh/ab]