Tahun 2010, kritikus The Huffington Post menyebutnya sebagai "Seniman Abad Ini,” dan mengatakan, seni Neshat mencerminkan perjuangan HAM yang menghapuskan stereotipe, dan mengungkap keragaman di dalam Islam dan Iran. Karya terakhirnya, serangkaian foto dokumenter dari Mesir yang dipamerkan di New York sampai satu Maret, lebih universal.
Shirin Neshat telah tinggal di Amerika sejak tahun 70an, tetapi pekerjaannya terlibat langsung dengan kehidupan perempuan di masyarakat Islam di tanah kelahirannya, dan baru-baru ini, dengan pengalaman orang-orang di penjuru Timur Tengah.
Film Neshat tahun 2009, Women Without Men, kisah tentang perempuan di Iran semasa kudeta tahun 1953, memenangkan penghargaan sutradara terbaik dalam Festival Film Venesia.
Dia juga dikenal atas hasil karya fotografinya, di mana dia menulis puisi Persia pada sehelai kertas kecil. Pamerannya sekarang ini, Our House Is on Fire, ditampilkan di Yayasan Robert Rauschenberg di New York, yang memilih Neshat untuk komisi HAM tahunannya kepada seorang seniman individual. Dia menggunakannya untuk membuat foto orang miskin dan tua di Mesir.
“Konsep pameran ini adalah tentang akibat dari pergolakan Arab, yang kami harap masih berlangsung, tetapi selama ini hasilnya menyedihkan. Dan saya ingin menciptakan kelompok fotografi yang membicarakan tentang dimensi manusia, warga jalanan yang sudah kehilangan begitu banyak,” kata Neshat.
Dia mewawancarai laki-laki dan perempuan lewat seorang penerjemah bahasa Arab, menanyai mereka untuk merenungkan kehilangan yang mereka alami saat fotografernya, Larry Barns, mengabadikan gambar-gambar mereka.
“Saya memberitahu mereka jika mereka ingin merundingkannya, saya siap, tapi jika mereka enggan membicarakannya, dan hanya merespon dengan ekspresi wajah, itu juga tidak apa-apa. Itu adalah pertama kalinya saya semakin dekat untuk menjadi seniman dokumenter, yang benar-benar menyentuh manusia dan emosi, dan bukannya karakter fiktif yang mencoba memainkan sebuah peranan,” tambahnya.
Foto-foto itu mirip lukisan yang realistis, efek yang disebabkan oleh kaligrafi mikroskopik di atas wajah, yang hanya bisa dilihat dari jarak sangat dekat.
Subyek lainnya melibatkan gambar kaki yang mungkin telah dibawa ke kamar mayat – dengan label pengenal tergantung di jari. Neshat mengatakan foto-foto itu adalah respon atas serangan militer Mesir terhadap protes Ikhwanul Muslimin musim panas lalu.
((SHIRIN NESHAT))
“Saya sangat terpukul dengan berbagai hal yang saya saksikan; anak-anak muda tewas, semuanya tergeletak, dan mereka memiliki tanda identitas yang tergantung di jarinya. Dan saya merasa bahwa sangat penting bagi kita untuk mengingatkan diri kita bahwa energi baik yang meluap-luap dan mengilhami munculnya Pergolakan Arab, banyak yang berakhir dalam kekerasan yang brutal.”
Yayasan Rauschenberg akan menyumbangkan pemasukan dua dari karya Our House Is on Fire kepada inisiatif HAM pilihan seniman – dalam kasus ini, HAM di Mesir.
Shirin Neshat telah tinggal di Amerika sejak tahun 70an, tetapi pekerjaannya terlibat langsung dengan kehidupan perempuan di masyarakat Islam di tanah kelahirannya, dan baru-baru ini, dengan pengalaman orang-orang di penjuru Timur Tengah.
Film Neshat tahun 2009, Women Without Men, kisah tentang perempuan di Iran semasa kudeta tahun 1953, memenangkan penghargaan sutradara terbaik dalam Festival Film Venesia.
Dia juga dikenal atas hasil karya fotografinya, di mana dia menulis puisi Persia pada sehelai kertas kecil. Pamerannya sekarang ini, Our House Is on Fire, ditampilkan di Yayasan Robert Rauschenberg di New York, yang memilih Neshat untuk komisi HAM tahunannya kepada seorang seniman individual. Dia menggunakannya untuk membuat foto orang miskin dan tua di Mesir.
“Konsep pameran ini adalah tentang akibat dari pergolakan Arab, yang kami harap masih berlangsung, tetapi selama ini hasilnya menyedihkan. Dan saya ingin menciptakan kelompok fotografi yang membicarakan tentang dimensi manusia, warga jalanan yang sudah kehilangan begitu banyak,” kata Neshat.
Dia mewawancarai laki-laki dan perempuan lewat seorang penerjemah bahasa Arab, menanyai mereka untuk merenungkan kehilangan yang mereka alami saat fotografernya, Larry Barns, mengabadikan gambar-gambar mereka.
“Saya memberitahu mereka jika mereka ingin merundingkannya, saya siap, tapi jika mereka enggan membicarakannya, dan hanya merespon dengan ekspresi wajah, itu juga tidak apa-apa. Itu adalah pertama kalinya saya semakin dekat untuk menjadi seniman dokumenter, yang benar-benar menyentuh manusia dan emosi, dan bukannya karakter fiktif yang mencoba memainkan sebuah peranan,” tambahnya.
Foto-foto itu mirip lukisan yang realistis, efek yang disebabkan oleh kaligrafi mikroskopik di atas wajah, yang hanya bisa dilihat dari jarak sangat dekat.
Subyek lainnya melibatkan gambar kaki yang mungkin telah dibawa ke kamar mayat – dengan label pengenal tergantung di jari. Neshat mengatakan foto-foto itu adalah respon atas serangan militer Mesir terhadap protes Ikhwanul Muslimin musim panas lalu.
((SHIRIN NESHAT))
“Saya sangat terpukul dengan berbagai hal yang saya saksikan; anak-anak muda tewas, semuanya tergeletak, dan mereka memiliki tanda identitas yang tergantung di jarinya. Dan saya merasa bahwa sangat penting bagi kita untuk mengingatkan diri kita bahwa energi baik yang meluap-luap dan mengilhami munculnya Pergolakan Arab, banyak yang berakhir dalam kekerasan yang brutal.”
Yayasan Rauschenberg akan menyumbangkan pemasukan dua dari karya Our House Is on Fire kepada inisiatif HAM pilihan seniman – dalam kasus ini, HAM di Mesir.