Ketimpangan kepemilikan tanah atas perempuan di Indonesia masih sangat tinggi. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 2014 tercatat dari 44 juta lahan, hanya 15,88 persen terdaftar atas nama perempuan.
Koordinator Program Nasional Solidaritas Perempuan Dinda Nuur Annisaa Yura mengatakan permasalahan ketimpangan ini, disebabkan karena masih kentalnya budaya patriarki di lingkungan masyarakat Indonesia dimana perempuan dianggap hanya memiliki peran dalam urusan rumah tangga, sementara urusan tanah yang digunakan untuk pertanian atau perumahan misalnya, dinilai sebagai urusan laki-laki. Maka dari itu perempuan jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Ditambahkannya, keterikatan antara tanah dan perempuan sangat erat. Banyak perempuan memiliki peran penting dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti menjadi petani, nelayan dan lain-lain. Namun sayang, perannya seringkali tidak diakui, sehingga hak-haknya pun ikut hilang termasuk soal kepemilikan tanah.
"Karena perempuan mengalami ketimpangan yang berlapis. Pertama kalau kita bicara soal penggusuran dan lain-lain kan perempuan ada di sana. Itu juga perempuan sudah terkena dampak. Sudah mengalami penindasan, tapi kemudian ditambah lagi mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, dianggap tanah yang diambil bukan tanah dia, atau kalau dia punya tanah yang dia kelola sehari-hari kemudian keputusan untuk menjualnya ada pada ayah atau suami, jadi akhirnya berlapis-lapis," ungkap Dinda.
Dalam Diskusi Publik: "Pentingnya RUU Pertanahan Adil Gender untuk Memperkuat Akses dan Kontrol Perempuan Atas Tanah," di DPR RI, Jakarta, Kamis (18/10), Dinda mengatakan pihaknya mendorong pemerintah dan komisi II DPR RI yang sedang membahas Rancangan Undang-Undang(RUU) Pertanahan agar bisa menghasilkan sebuah UU Pertanahan yang bersifat adil gender.
Selain itu RUU Pertanahan ini harus benar-benar memihak pada masyarakat, bukan untuk melegitimasi kepentingan investor atau perizinan-perizinan yang merugikan masyarakat.
"Itu kenapa kami mendorong satu UU pertanahan yang "adil gender". Ada banyak prinsip yang tadi kami masukkan, termasuk bagaimana asas keadilan gender itu ada, menjamin keterlibatan perempuan dalampengambilan keputusan, dari mulai perencanaan, pelaksanaan sampai monitoring. Kemudian harus ada affirmative action bagaimana perempuan juga diberikan kapasitas terkait apa sih hak atas tanahnya?," tambah Dinda.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Bagian Perundangan-Undangan, Biro Hukum dan Humas Kementerian ATR/BPN, Yagus Suyadi mengatakan bahwa selaku pemerintah, pihaknya sudah memfasilitasi kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam hal kepemilikan tanah.
Dia mencontohkan, dalam pembuatan sertifikat tanah melalui progam pendaftaran tanah sistemik lengkap (PTSL) diperbolehkan atas nama suami atau istri, sehingga laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama.
"Di dalam pendaftaran tanah melalui PTSL, tolong dibantu suarakan, yang namanya PTSL itu, tidak hanya atas nama suami saja, boleh atas nama istri, atau sebaliknya. Jangan saya adalah suami yang bertanggung jawab atas keluarga maka harus atas nama suami. Padahal di dalam administrasi Kementerian ATR/BPN yang namanya sertifikat itu adalah merupakan harta bersama suami dan istri. Kenapa? Ada landasan UU yang mensyaratkan setiap pemindahan hak atas bidang tanah itu harus mendapat persetujuan suami atau istrinya," ujar Yagus.
Namun di sisi lain, kemajuan RUU Pertanahan nampaknya masih akan panjang. Staf ahli komisi II DPR RI bidang UU pertanahan Jhon Salumbanturuan mengatakan, hingga saat ini RUU Pertanahan masih dalam tahap pembahasan dan kerap menemui persoalan, antara lain sulitnya mempersatukan kepentingan antar sektor.
Ego sektoral, kata Jhon terjadi dalam pembahasan ini. "Di sini diperlukan koordinasi dari pemerintah. Kalau dari DPR sudah sepakat, sudah ada kesatuanmemang ini harus jalan terus, kalau bisa tahun ini ataupaling lambat tahun depan UU harus selesai. Namun di internal pemerintah karena mereka diwakili oleh berbagaiinstansi agaknya sulit mereka menyatukan persepsi, sehingga kita sulit menemukan norma yang baku untuk ditetapkan menjadi UU," demikian pungkasnya. [gi/em]