Nael Al-Baghdadi menangis tersedu-sedan ketika akhirnya menemukan putranya Omar dalam keadaan tak bernyawa di antara reruntuhan bangunan di sudut kota Khan Younis, di bagian selatan Gaza. Omar adalah salah satu anak-anak yang tewas dalam serangan udara Israel pada 9 Juli lalu.
“Saya selalu sangat takut melihat apa yang terjadi pada anak-anak orang lain. Saya takut itu terjadi pada anak saya. Bagaimana anak-anak yang tidak berdosa tewas dalam pemboman. Saya sangat takut kehilangan anak-anak saya karena saya sangat mencintai mereka. Tapi kini saya kehilangan Omar," ujar Nael.
Selang empat hari kemudian Israel kembali melancarkan serangan udara ke Khan Younis, yang dipadati pengungsi. Mahmoud Abu Yassin yang kehilangan putranya mengatakan kepada Associated Press, ia sempat mendengar putranya berteriak memanggilnya “ayah.. ayah” saat serangan pertama, ia berlindung bersama putrinya yang menangis histeris, lalu terjadi serangan kedua dan ketiga.
Lalu ia tidak ingat apa-apa lagi, ujarnya. Ketika sadar, ia sudah berada di rumah sakit. “Tapi saya sudah tidak panik lagi, saya merasakan darah putra saya di kemeja saya, di leher saya. Ia menjadi martir. Alhamdulillah,” ujarnya dengan pandangan nanar.
“Alhamdulillah ya Allah… Alhamdulillah," kata Mahmoud.
Borrell: Serangan Udara Israel ke Gaza “Tidak Dapat Ditolerir”
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell, menggambarkan serangan udara besar-besaran Israel pada akhir pekan di Gaza sebagai "hal yang tidak dapat ditolerir dan tidak dapat diterima".
"Saya ingin menyampaikan kekecewaan mendalam atas terus meningkatnya jumlah korban jiwa dan kehancuran berskala besar akibat konflik di Gaza. Cakupan tragedi yang dialami warga sipil di Gaza telah melampaui batas…," ujarnya.
"Pengeboman besar-besaran dengan jumlah korban jiwa yang sangat besar di kamp pengungsi Mawasi Sabtu (13/7) tidak dapat ditolerir. Tidak dapat diterima! Pengeboman sekolah yang dikelola PBB, yang digunakan sebagai tempat penampungan, yang baru saja terjadi hari ini adalah yang kelima dalam satu minggu. Jumlah korban sipil yang terus meningkat. Itulah sebabnya saya mengatakan ini sudah tidak dapat ditolerir, dan menggarisbawahi urgensi untuk melakukan gencatan senjata dan bekerja untuk menemukan solusi yang tahan lama."
Pernyataan keras ini disampaikan Borrell dalam konferensi pers bersama dengan Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi di sela-sela pertemuan Dewan Asosiasi Uni Eropa-Yordania di Brussels, Senin (15/7).
Menanggapi pernyataan Borrell itu, Safadi mengatakan, “Agresi ini harus diakhiri sekarang juga. Pelanggaran hukum internasional harus diakhiri. Kejahatan perang harus diakhiri. Satu-satunya cara agar Palestina dan Israel serta seluruh kawasan ini bisa mencapai perdamaian adalah jika kita menerapkan solusi dua negara yang memungkinkan munculnya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat sesuai garis perbatasan 4 Juni 1967, dengan Yerusalem yang diduduki sebagai ibu kotanya, dan hidup berdampingan secara damai dan aman dengan Israel."
"Itulah satu-satunya cara untuk menjamin keamanan bagi semua orang. Namun sementara itu, kita harus fokus untuk mengakhiri perang ini, untuk mengakhiri bencana kemanusiaan, untuk mencabut pengepungan, untuk memastikan bahwa hukum internasional berlaku sama bagi semua negara dan semua konflik, dan secara khusus bagi Gaza," imbuhnya.
Israel: Serangan ke Khan Younis Targetkan Komandan Militer Bayangan Hamas
Israel mengatakan serangan udara ke Kota Khan Younis di selatan Gaza sepanjang minggu lalu dimaksudkan untuk menarget komandan militer bayangan Hamas. Namun sejauh ini korban tewas dan luka-luka adalah warga sipil, terutama perempuan dan anak-anak.
Petugas medis setempat mengatakan sedikitnya 90 orang tewas dan 300 lainnya luka-luka dalam serangan udara hari Sabtu saja, menjadikan serangan itu sebagai yang paling banyak menelan korban jiwa dalam perang Israel-Hamas yang sudah memasuki bulan kesepuluh.
Perang ini berawal dari serangan Hamas yang belum pernah terjadi sebelumnya ke selatan Israel pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1.200 orang. Hamas juga menculik sekitar 250 orang, yang sebagian besar telah dibebaskan dalam kesepakatan gencatan senjata pertama November lalu.
Israel melancarkan serangan balasan lewat darat dan udara, yang menurut Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza – wilayah yang dikelola Hamas – sejauh ini telah menewaskan sedikitya 38.400 orang. Lebih dari 80.000 lainnya luka-luka. Kementerian ini tidak membedakan korban warga sipil dan kombatan.
Tak Ada Lagi Tempat yang Aman di Gaza
Mahmoud Abu Yasin, yang kehilangan putranya dalam serangan udara Israel ke Khan Younis pada Sabtu lalu, mengatakan tidak lagi punya harapan apapun di Gaza.
“Berdasarkan perintah yang dikeluarkan Israel agar kami pergi ke daerah yang aman, green-area, kami sekeluarga mengungsi dari Gaza di utara, ke Nuseirat, lalu ke Bureij, lalu ke Maghazi, dan kembali ke Gaza. Lalu kami diperintahkan ke Rafah. Selang beberapa minggu, kami diusir ke Mawasi di Khan Younis. Tapi ini yang terjadi. Lalu kemana kami harus pergi?," katanya.
"Jika kami meninggalkan Khan Younis dan pergi ke Deir Al Balah, seperti anjuran mereka (Israel.red), bukan tidak mungkin mereka juga akan membom kota itu dengan alasan apapun. Tak peduli alasan itu benar atau dibuat-buat. Tidak ada satu pihak pun dapat mencegah Yahudi untuk melakukan apapun terhadap kami," lanjut Mahmoud.
Aziza Ammar, seorang pengungsi perempuan yang duduk di lantai depan rumah sakit di Khan Younis dengan lirih menyampaikan hal serupa.
“Tidak ada lagi tempat yang aman. Tidak ada satu pun tempat di Gaza yang aman. Yang aman hanya bersama Allah. Jika Allah mengambil nyawa kami semua, baru kami bisa tenang. Tempat yang aman hanya bersama Allah," tukas Aziza. [em/jm]
Forum