DOHA —
Pada konferensi iklim PBB di Doha, para aktivis lingkungan mendesak negara-negara peserta untuk benar-benar memikirkan cara mengontrol pembabatan hutan di negara berkembang, yang mencakup 16 persen dari emisi gas rumah kaca di dunia.
Amerika Serikat, Eropa dan ekonomi maju lainnya telah setuju untuk membayar negara berkembang melindungi hutan mereka, namun kemajuannya lambat.
Di Indonesia, moratorium pengembangan hutan baru hampir tidak berdampak karena petani dan perusahaan besar terus menebang kayu dan membakar lahan hutan untuk membuka perkebunan kelapa sawit.
Moratorium di Indonesia merupakan bagian dari kontrak US$1 miliar dengan Norwegia untuk melindungi hutan-hutan yang menyimpan sejumlah besar karbondioksida atau CO2, salah satu gas rumah kaca yang oleh banyak ilmuwan dianggap berkontribusi pada pemanasan global.
Proyek tersebut merupakan salah satu dari lebih dari 300 proyek sejenis di 52 negara, seperti Bolivia dan Tanzania, di bawah inisiatif PBB bernama REDD (Pengurangan Emisi dari Penebangan dan Degradasi Hutan). Sejauh ini, sebagian besar proyek ini hanya mengurangi sedikit emisi gas rumah kaca.
Fred Boltz, wakil presiden senior pada Conservation International, mengatakan bahwa kemajuan REDD lambat karena melibatkan terlalu banyak faktor selain mencegah kebakaran hutan.
“Kita berbicara mengenai mengubah ekonomi global, paradigma nilai hutan, menyadari kepentingannya dalam menjawab tantangan iklim. Dan transformasi tersebut kompleks. Perlu waktu. Perlu banyak investasi keuangan dan intelektual,” ujar Boltz.
Supaya berhasil, menurutnya, REDD perlu penegakan yang lebih baik, insentif lebih besar supaya dunia usaha mau berpartisipasi, dan lebih banyak dana dibandingkan $10 miliar yang dijanjikan. Para aktivis lingkungan mengatakan baik perusahaan besar dan petani miskin perlu bantuan untuk memenuhi kebutuhan dunia yang meningkat akan makanan, bahan bakar dan mineral tanpa membabat hutan.
Namun Boltz mengatakan ada konsensus global bahwa langkah kuat harus diambil untuk mengurangi penebangan hutan, yang menghasilka lebih banyak emisi gas rumah kaca dibadingkan mobil, truk dan pesawat di dunia, untuk mencegah bencana pemanasan global.
“Pembabatan hutan merupakan seperenam masalah kita. Jika kita tidak menyelesaikan keseluruhan masalah, kita akan kalah. Harus ada kemauan politik dan kesadaran akan pentingnya dan mendesaknya penyelesaian REDD,” ujarnya.
Boltz mengatakan pada Konferensi Iklim di Doha, ia berharap ada kemajuan dalam menghubungkan peraturan yang efektif pada pendanaan yang meningkat untuk konservasi.
Amerika Serikat, Eropa dan ekonomi maju lainnya telah setuju untuk membayar negara berkembang melindungi hutan mereka, namun kemajuannya lambat.
Di Indonesia, moratorium pengembangan hutan baru hampir tidak berdampak karena petani dan perusahaan besar terus menebang kayu dan membakar lahan hutan untuk membuka perkebunan kelapa sawit.
Moratorium di Indonesia merupakan bagian dari kontrak US$1 miliar dengan Norwegia untuk melindungi hutan-hutan yang menyimpan sejumlah besar karbondioksida atau CO2, salah satu gas rumah kaca yang oleh banyak ilmuwan dianggap berkontribusi pada pemanasan global.
Proyek tersebut merupakan salah satu dari lebih dari 300 proyek sejenis di 52 negara, seperti Bolivia dan Tanzania, di bawah inisiatif PBB bernama REDD (Pengurangan Emisi dari Penebangan dan Degradasi Hutan). Sejauh ini, sebagian besar proyek ini hanya mengurangi sedikit emisi gas rumah kaca.
Fred Boltz, wakil presiden senior pada Conservation International, mengatakan bahwa kemajuan REDD lambat karena melibatkan terlalu banyak faktor selain mencegah kebakaran hutan.
“Kita berbicara mengenai mengubah ekonomi global, paradigma nilai hutan, menyadari kepentingannya dalam menjawab tantangan iklim. Dan transformasi tersebut kompleks. Perlu waktu. Perlu banyak investasi keuangan dan intelektual,” ujar Boltz.
Supaya berhasil, menurutnya, REDD perlu penegakan yang lebih baik, insentif lebih besar supaya dunia usaha mau berpartisipasi, dan lebih banyak dana dibandingkan $10 miliar yang dijanjikan. Para aktivis lingkungan mengatakan baik perusahaan besar dan petani miskin perlu bantuan untuk memenuhi kebutuhan dunia yang meningkat akan makanan, bahan bakar dan mineral tanpa membabat hutan.
Namun Boltz mengatakan ada konsensus global bahwa langkah kuat harus diambil untuk mengurangi penebangan hutan, yang menghasilka lebih banyak emisi gas rumah kaca dibadingkan mobil, truk dan pesawat di dunia, untuk mencegah bencana pemanasan global.
“Pembabatan hutan merupakan seperenam masalah kita. Jika kita tidak menyelesaikan keseluruhan masalah, kita akan kalah. Harus ada kemauan politik dan kesadaran akan pentingnya dan mendesaknya penyelesaian REDD,” ujarnya.
Boltz mengatakan pada Konferensi Iklim di Doha, ia berharap ada kemajuan dalam menghubungkan peraturan yang efektif pada pendanaan yang meningkat untuk konservasi.