Tautan-tautan Akses

Keluh Kesah Pekerja Migran Singapura di Bawah ‘Lockdown’: 'Seperti di Penjara'


Para pekerja mingran beristirahat di fasilitas isolasi tes usap virus corona (Covid-19) sambil menunggu hasil tes di Singapura, 15 Mei 2020. (Foto: Reuters)
Para pekerja mingran beristirahat di fasilitas isolasi tes usap virus corona (Covid-19) sambil menunggu hasil tes di Singapura, 15 Mei 2020. (Foto: Reuters)

Pekerja migran asal Bangladesh, MD Sharif Uddin, biasa menghabiskan hari liburnya bersama teman-teman di luar asramanya yang sempit di Singapura. Namun pembatasan aktivitas akibat virus corona selama 18 bulan membuatnya terjebak di dalam asrama para pekerja migran selama waktu luangnya.

Lebih dari 300.000 pekerja migran, banyak dari mereka dari Asia Selatan, tinggal di negara tersebut. Mereka biasanya ditempatkan di kamar bersama dan tidur di ranjang susun.

Asrama pekerja migran tersebut dilanda COVID-19 dan dikunci pada awal pandemi, sementara pembatasan kegiatan diberlakukan di seluruh negeri untuk jangka waktu tertentu untuk mencegah wabah yang lebih luas.

Pembatasan telah dilonggarkan untuk sebagian besar di Singapura, di mana - meskipun saat ini menghadapi gelombang virus baru - orang yang divaksinasi dapat pergi berbelanja dan ke restoran, dan perbatasan secara bertahap dibuka kembali.

Pekerja migran melihat keluar jendela di asrama, di tengah wabah COVID-19 di Singapura 15 Mei 2020. (Foto: REUTERS/Edgar Su)
Pekerja migran melihat keluar jendela di asrama, di tengah wabah COVID-19 di Singapura 15 Mei 2020. (Foto: REUTERS/Edgar Su)

Namun, itu adalah cerita yang berbeda untuk para migran bergaji rendah, yang tetap tunduk pada pembatasan yang jauh lebih berat. Kebijakan tersebut hanya memungkinkan mereka untuk bepergian terbatas dari tempat mereka menginap menuju tempat bekerja, dan sebaliknya.

"Ini kehidupan yang sangat menyakitkan ... seperti penjara," kata pekerja konstruksi Uddin, menambahkan bahwa sebelum pandemi ia biasa bertemu teman-teman di akhir pekan untuk minum kopi, membaca puisi dan gosip.

"Kami hanya diperbolehkan pergi bekerja dan pulang, bolak-balik, dan tidak ke mana-mana. Ini seperti hidup di bawah tahanan rumah," tambah pria berusia 43 tahun yang telah bekerja di Singapura selama 13 tahun dan menulis dua buku tentang pengalamannya.

Selain pergi bekerja, para migran sesekali diperbolehkan melakukan perjalanan ke "pusat rekreasi" yang dibangun khusus yang biasanya terdiri dari toko-toko yang terletak di sekitar alun-alun, dan fasilitas olahraga.

Para pekerja migran di layanan-layanan penting menyeberang sebuah jalan di kawasan Orchard Road di tengah wabah virus corona di Singapura, 27 Mei 2020. (Foto: Reuters)
Para pekerja migran di layanan-layanan penting menyeberang sebuah jalan di kawasan Orchard Road di tengah wabah virus corona di Singapura, 27 Mei 2020. (Foto: Reuters)

Komoditas Ekonomi

Ketika asrama pekerja migran yang biasa terletak menyendiri dan berada di bagian terpencil Singapura menjadi pusat gelombang COVID-19 pertama di negara itu, hal itu menjadi suatu yang direnungkan.

Seruan meningkat untuk meningkatkan kondisi kehidupan para migran yang telah melakukan pekerjaan berat membangun gedung pencakar langit yang berkilauan di pusat bisnis dari negara tersebut, juga melakukan pekerjaan membersihkan perumahan dan memelihara transportasi umum dalam beberapa dekade terakhir.

Pemerintah berjanji akan mengambil langkah-langkah seperti membangun asrama baru dengan fasilitas yang lebih modern dan lebih banyak ruang bagi penghuni.

Namun kritikus mengatakan pembatasan terus-menerus yang dihadapi oleh para pekerja - yang biasanya berpenghasilan dari Sg $500 hingga $1.000 atau setara dengan Rp5,3 juta-Rp10,5 juta per bulan di salah satu kota termahal di dunia - menyoroti betapa sedikit perubahan yang sesungguhnya terjadi.

"Pemerintah kami tidak melihat mereka sebagai manusia seutuhnya," Alex Au, Wakil Presiden Kelompok Hak Migran Transient Workers Count Too, kepada AFP.

Pihak berwenang memperlakukan para migran seperti "komoditas ekonomi", dan gagal "memberikan hak yang sama kepada mereka, kebebasan yang sama yang dimiliki warga kita," katanya.

Ketika kritik meningkat, pihak berwenang di negara-kota berpenduduk 5,5 juta itu memulai skema yang memungkinkan sejumlah kecil orang melakukan perjalanan terorganisir ke daerah-daerah yang ditentukan.

Sekitar 700 orang berpartisipasi dalam bulan pertama program itu dijalankan pada September, dan diperluas pada akhir bulan lalu untuk memungkinkan hingga 3.000 pekerja seminggu dari asrama untuk berpartisipasi.

Namun ini masih hanya mewakili sebagian kecil dari pekerja.

Para pekerja migran yang tinggal di asrama milik pabrik mengambil makanan yang didonasikan oleh sejumlah badan amal untuk Idul Fitri di tengah wabah virus corona di Singapura, 24 Mei 2020. (Foto: Reuters)
Para pekerja migran yang tinggal di asrama milik pabrik mengambil makanan yang didonasikan oleh sejumlah badan amal untuk Idul Fitri di tengah wabah virus corona di Singapura, 24 Mei 2020. (Foto: Reuters)

Masalah Psikologis

Pemerintah menyatakan bahwa pembatasan berkelanjutan pada migran - yang datang dari negara-negara termasuk Bangladesh, India dan China - diperlukan karena ada risiko penularan virus yang lebih tinggi karena kondisi kehidupan mereka.

Pembatasan itu terlepas dari fakta bahwa 98 persen penghuni asrama telah divaksinasi lengkap, lebih tinggi dari tingkat keseluruhan negara-kota sebesar 85 persen.

"Setiap pelonggaran pembatasan pergerakan perlu dilakukan secara hati-hati dan terkalibrasi," kata Menteri Tenaga Kerja Tan See Leng kepada parlemen pekan lalu.

Dia juga mengatakan pihak berwenang telah meningkatkan akses ke layanan kesehatan mental.

Bagi Uddin, perubahan tidak bisa segera terjadi bagi para pekerja migran yang merasakan semakin stres.

"Kami menghadapi masalah psikologis," katanya, seraya menambahkan "hak-hak dasar mereka sebagai pekerja dan manusia" telah dilanggar.

"Gaya hidup terpenjara ini tidak akan membiarkan seseorang menjalani hidup yang sehat,” ujar Uddin. [ah/au/rs]

Recommended

XS
SM
MD
LG