Tautan-tautan Akses

Keluarga Pria yang Ditembak Polisi di Atlanta: Kapan Ini Berakhir?


Para pengunjuk rasa memblokir lalu lintas di jalan raya, Sabtu, 13 Juni 2020, dekat restoran cepat saji di mana pria kulit hitam, Rayshard Brooks, ditembak mati oleh polisi. (Foto: AP)
Para pengunjuk rasa memblokir lalu lintas di jalan raya, Sabtu, 13 Juni 2020, dekat restoran cepat saji di mana pria kulit hitam, Rayshard Brooks, ditembak mati oleh polisi. (Foto: AP)

Dengan berlinang air mata, keluarga seorang laki-laki kulit hitam yang tewas ditembak polisi di luar sebuah restoran di Atlanta pekan lalu, menuntut perubahan sistem peradilan pidana. Mereka juga meminta demonstran untuk menahan diri agar tidak melakukan kekerasan di tengah meningkatnya ketegangan di Amerika tiga minggu terakhir ini, pasca kematian George Floyd di Minneapolis.

Autopsi mendapati bahwa Rayshard Brooks yang berusia 27 tahun ditembak dua kali dari belakang pada Jumat (12/6) malam oleh seorang polisi kulit putih yang berupaya menahannya di sebuah restoran cepat saji karena mengemudi dalam keadaan mabuk. Brooks berupaya melarikan diri setelah melawan kedua polisi dan merebut taser atau piranti kejut, dari salah seorang polisi.

“Tidak ada keadilan yang dapat membuat saya gembira dengan apa yang telah terjadi. Saya tidak akan pernah mendapatkan suami saya kembali. Saya tidak akan pernah mendapatkan sahabat baik saya lagi," kata Tomika Miller, istri Brooks.

"Saya tidak akan pernah dapat mengatakan pada anak perempuan, 'hei, ayah datang untuk mengajak kami bermain seluncur es, atau belajar berenang.' Akan membutuhkan waktu sangat lama sebelum saya pulih kembali. Akan membutuhkan waktu sangat lama sebelum keluarga ini pulih kembali," tuturnya.

Chassidy Evans, keponakan Brooks, mengatakan “Kami tidak saja terluka, kami marah.”

“Kapan ini akan berakhir? Kami tidak hanya menuntut keadilan. Kami menuntut perubahan,” tegasnya.

Mantan petugas Kepolisian Georgia, Atlanta, Garrett Rolfe, sedang memeriksa Rayshard Brooks di sebuah restoran cepat saji dalam tangkapan layar video, sesaat sebelum penembakan, 12 Juni 2020. (Foto: Reuters)
Mantan petugas Kepolisian Georgia, Atlanta, Garrett Rolfe, sedang memeriksa Rayshard Brooks di sebuah restoran cepat saji dalam tangkapan layar video, sesaat sebelum penembakan, 12 Juni 2020. (Foto: Reuters)

Sekitar 20 orang anggota keluarga Brooks yang terdiri dari anak-anak, sepupu, keponakan dan anggota keluarga lainnya, tak kuasa menahan air mata dalam konferensi pers pada Senin (15/6), sementara lebih dari 1.000 orang melakukan demonstrasi di luar gedung Kongres negara bagian Georgia itu.

Demonstrasi itu dipimpin oleh organisasi HAM, The National Association for the Advancement of Colored People (NAACP). Demonstrasi berlangsung pada saat yang sama ketika para anggota Kongres kembali berdinas setelah penghentian seluruh kegiatan selama tiga bulan akibat perebakan virus corona.

Sebagian anggota Partai Demokrat bergabung bersama para demonstran menuntut agar Georgia meloloskan UU anti-kejahatan bernuansa kebencian atau hate-crimes dan reformasi lainnya.

Garrett Rolfe, yang menembak Brooks dua kali dari belakang, telah dipecat. Sementara polisi lain yang ada di lokasi, Devin Brosnan, dikenai sanksi administratif. Kepala Kepolisian Atlanta Erika Shields mengundurkan diri beberapa jam setelah insiden penembakan itu.

Brooks ditembak setelah polisi dipanggil ke lokasi karena keluhan tentang sebuah mobil yang memblokir jalur pembelian makanan cepat saji. Polisi mendapati Brooks tertidur di dalam mobil. Video polisi menunjukkan Brooks selama 40 menit mengikuti perintah polisi hingga tes untuk menentukan kadar alkohol di dalam darahnya menunjukkan tingkat yang jauh melampaui batas yang diperbolehkan untuk mengemudikan kendaraan.

Ketika seorang polisi ingin memborgolnya, Brooks melawan dan berupaya melarikan diri. Kedua polisi sempat melumpuhkannya, tetapi Brooks terus melawan dan merebut taser atau piranti kejut polisi, dan ia pun ditembak. Rolfe mengatakan kepada otoritas yang menyelidiki insiden ini bahwa Brooks menembakkan taser kepadanya.

Pemimpin minoritas DPR di Kongres di Georgia, Bob Trammel, mengatakan “menutup telinga atas tangisan yang terjadi di seluruh Georgia dan seluruh negara merupakan hal tragis bagi Majelis Umum [Kongres] karena kehilangan kesempatan dan lalai dari tanggung jawab.” [em/pp]

XS
SM
MD
LG