Keluarga aktivis HAM Martin Luther King Jr. memimpin “Pawai Perdamaian” hari Senin (17/1) melintasi jembatan Frederick Douglass di Washington, DC, sambil menyerukan pengesahan undang-undang reformasi hak pilih yang menemui jalan buntu di Senat AS.
Putra tertua King, Martin Luther King III, dan istrinya, Arndrea Waters King, bergabung dengan para pemimpin hak-hak sipil lain dan pengunjuk rasa untuk mendesak Senat agar mengambil tindakan terkait isu hak pilih di AS.
Martin Luther King III mengatakan, “Ibu saya selalu berkata bahwa hari Martin Luther King Jr. seharusnya merupakan hari kerja, bukan hari libur. Tragisnya adalah kini kita sekali lagi berjuang memperbaiki (isu-isu) hak pilih secara permanen. Karena selagi kita berdiri di sini hari ini, di seantero negeri kita terdapat 19 negara bagian yang telah mengesahkan undang-undang yang mempersulit penggunaan hak pilih. Sementara ayah saya, John Lewis dan banyak lainnya membukakan pintu-pintu itu bertahun-tahun lalu. Tapi hari ini kita di sini untuk berpawai melintasi Jembatan Frederick Douglass untuk mengatakan kepada presiden dan Senat AS bahwa, ya, Anda sukses dengan agenda infrastruktur, dan itu bagus, tapi kami butuh Anda untuk menggunakan kekuatan yang sama untuk memastikan seluruh warga AS memiliki hak pilih yang mudah diamalkan.”
Pekan lalu, dua hari setelah pidato Presiden AS Joe Biden di Atlanta yang mengungkit kembali hari-hari terkelam segregasi demi mendorong pengesahan RUU reformasi hak pilih, RUU itu kandas setelah senator dari partainya sendiri, Krysten Sinema dari Arizona, menyatakan penentangannya terhadap upaya pengubahan aturan Senat yang dapat memungkinkan pengesahan RUU itu dengan perolehan suara mayoritas yang sederhana.
Senin, 17 Januari 2022, merupakan hari ulang tahun Pendeta Martin Luther King Jr. yang ke-93. King sendiri tewas dibunuh ketika berusia 39 tahun ketika membantu para petugas kebersihan berunjuk rasa menuntut upah dan lingkungan kerja yang lebih baik di Memphis, Tennessee.
King, yang menyampaikan pidato bersejarah berjudul “Saya Memiliki Sebuah Mimpi” saat memimpin March on Washington pada 1963 dan dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada 1964, menilai kesetaraan ras tidak dapat dipisahkan dari pengentasan kemiskinan dan penghentian perang. Desakannya agar protes dilakukan tanpa kekerasan terus memengaruhi para aktivis yang memperjuangkan hak-hak sipil dan menuntut perubahan sosial. [rd/jm]