Bagi mantan wartawan Radio Free Asia (RFA) Yeang Sothearin, hidupnya berubah drastis ketika polisi Kamboja menangkapnya dan kawannya, Uon Chhin, pada November 2017 lalu. Ia dituduh berkonspirasi dengan kekuatan asing, tuduhan yang mereka bantah.
“Putra saya baru berusia 10 tahun dan putri saya delapan tahun ketika saya dipenjara. Saya berupaya menyembunyikan dari mereka. Saya katakan, saya sedang menempuh pendidikan untuk meraih gelar doktoral di Prey Sar. Mereka tidak tahu bahwa itu adalah nama penjara di mana saya ditahan,” ujar Sothearin.
“Mereka sangat merindukan saya. Mereka mengatakan oh Papa, kamu harusnya berhenti sekolah, pulang lah!” Tetapi saya berupaya meyakinkan mereka dan mengatakan harus melanjutkan sekolah hingga lulus ujian, dan mungkin akan kembali.
Anak-anak Sothearin mengetahui fakta sebenarnya lewat media sosial.
Meskipun kedua wartawan itu akhirnya dibebaskan Agustus lalu dan berkumpul kembali dengan keluarganya, tuduhan terhadap mereka tidak dicabut. Sebulan lalu, seorang hakim mengajukan kasus itu untuk diadili.
Sothearin menyangkal semua tuduhan dan yakin penangkapannya merupakan tanggapan terhadap laporan kritis yang diberitakannya di RFA dan sekaligus upaya “membungkam wartawan independen yang berani menulis apapun yang dinilai negatif oleh pemerintah.”
Laporan “A Cycle of Fear” Soroti Kekejaman terhadap Wartawan di Kamboja
Kasus Sothearin dan Unon Chhin telah dikecam luas oleh Reporters Without Borders (RSF), yang mengkritisi “tindakan kejam” terhadap wartawan di Kamboja.
Dalam sebuah laporan berjudul “A Cycle of Fear” yang diterbitkan baru-baru ini menjelang Hari Kebebasan Pers Sedunia 3 Mei, RSF mengatakan sensor “telah menjadi norma” di Kamboja.
Pemeringkatan kebebasan pers yang dilakukan RSF tahun ini menempatkan Kamboja satu tingkat lebih rendah dibanding tahun lalu, dari 142 menjadi 143 dari 180 negara. Tahun lalu peringkat Kamboja bahkan anjlok 10 tingkat.
Selama dua tahun terakhir, surat kabar independen Cambodia Daily terpaksa ditutup, Radio Free Asia juga menutup kantornya di negara itu, dan lebih dari 30 ijin stasiun radio dicabut.
Hanya beberapa hari setelah laporan Reporters Without Borders dirilis tahun lalu, “benteng terakhir pers independen, yaitu Phnom Penh Post, dibeli seorang pengusaha Malaysia yang memiliki hubungan dengan pemerintah Kamboja,” tulis laporan itu tahun ini.
“Wartawan yang masih berani melakukan kajian mendalam atau in-depth reporting atas subyek-subyek yang tidak disukai rejim pemerintah, seperti pelacur anak, dijatuhi hukuman penjara,” tambah laporan itu.
Menteri Dalam Negeri Kamboja Sar Kheng mengatakan pemerintahnya berkomitmen untuk memperkuat demokrasi.
Tetapi Sothearin, yang kini bekerja di LSM, mengatakan ia tidak lagi dapat bekerja sebagai wartawan karena ia masih berada dalam pengawasan pengadilan. “Ketika saya menulis artikel yang mungkin membuat seseorang tidak gembira, mereka mungkin mengambil tindakan terhadap saya,” ujarnya.
Pejabat pemerintah Huy Vannak mengatakan kekhawatiran Sothearin tidak berdasar. Vannak, yang juga berperan sebagai wakil menteri dalam negeri dan kepala Federasi Serikat Wartawan Kamboja, mengatakan laporan wartawan di Kamboja bukan tidak bebas, tapi tidak berkualitas. “Anda harus berani menantang. Saya tidak melihat seorang pun dipenjara karena tulisan yang dibuat. Tetapi karena kesalahan semata.”
Bagi Sothearin, menantang pemerintah merupakan bagian dari pekerjaannya. Ia masih menunggu bukti yang akan disampaikan pemerintah dalam kasus dirinya dan rekannya.
Sementara itu kedua anaknya terus mempertanyakan apakah ia akan kembali dipenjara, dan Sothearin tidak punya jawabannya. Paspornya masih disita sehingga ia tidak dapat meninggalkan negara itu, bahkan untuk sekedar menjenguk orang tuanya di daerah yang sekarang ini merupakan bagian dari Vietnam.
Sejumlah wartawan di Kamboja mengatakan mereka sekarang menyensor sendiri tulisan yang dibuat, menjauh topik-topik yang tidak diinginkan atau yang dapat membuat mereka berurusan dengan aparat keamanan. (em)